Semasih
duduk di bangku SMA, aku adalah seorang siswa yang bandel. Aku selalu tertarik
bertingkah tak patuh kepada guru. Mencari pujian dari perilaku tak terpuji.
Haus eksistensi. Aku akan merasa puas jika hari-hari kulewatkan dengan sejuta
sensasi. Membuat diriku bak idola di sekolah, terutama di mata para perempuan.
Di
sekolahku, bisa kupastikan, aku layak masuk daftar anak-anak yang terkenal
karena kenakalannya. Bahkan, aku mungkin jadi juaranya. Aku tak sungkan
menentang guru dengan cara-cara yang tak sopan. Tak peduli guru mana pun, aku tak
takut berulah. Seperti tak ada lagi rasa hormatku pada seorang guru.
Dari
begitu banyak tingkah liarku, ada satu momen yang tak mungkin kulupakan. Sampai kapanpun, akan selalu menancap di benakku. Ceritanya, pada suatu
hari, Pak Karman, seorang guru pendidikan kewarganegaraan yang terkenal sabar
dan lemah-lembut, jadi begitu geram padaku.
“Ardin,
jangan main HP saat jam pelajaran, Nak. Belajarlah dengan baik. Yang paling
penting, kau harus menghormati gurumu,” katanya.
Karena
yakin ia tak mungkin marah, jelas saja aku tergelitik untuk mendebatnya dengan
sadis. “Bapak bicara hak asasi manusia di pelajaran ini, tapi kok hak saya
untuk main HP dilarang sih. HP ini kan, aku juga yang punya,” balasku, sambil
tertawa kecil. “Salah bapak sendiri sih betah jadi guru honor yang kere, sampai tak punya HP modern seperti
ini.”
Mendengar
balasanku, mimiknya berubah jadi garang. Tak pernah kulihat raut
wajahnya semenakutkan itu.
Tanpa
basa-basi, ia pun menghampiriku. Kemudian, membentakku untuk segera berdiri di
samping bangku. Tanpa aba-aba, ia pun mendaratkan mistar di betisku dengan pukulan
yang sangat keras. Sakit sekali. Bahkan, meninggalkan bekas lebam beberapa
hari.
Sepanjang
yang kutahu, hanya sekali itu saja ia menghardik dan memukul seorang siswa.
Dan,
kehidupan memang tak bisa ditebak ke mana arahnya. Kini, aku telah menjadi seorang
guru SMA negeri di kota yang jauh dari kampungku. Pekerjaan yang menguras emosi
tentunya. Tapi aku tak merisaukannya. Yang penting, gaji sebagai guru pegawai
negeri, menjamin untuk kehidupanku sekeluarga.
Takdirku sebagai guru kurasa seperti karma atas aksi kurang ajarku dahulu. Kusadari
sudah, ternyata menjadi seorang guru, butuh mental baja. Apalagi kala
menghadapi anak-anak labil yang gemar mencari perhatian tanpa peduli
sopan-santun. Keadaan semacam itu, kadang membuat emosiku terpancing. Namun aku
selalu ingat kesabaran Pak Karman. Aku berusaha sepertinya.
Kalaupun
aku tak tahan mental menghadapi olok-olokan, aku tak akan berlaku keras. Aku
bisa dapat sanksi jika para siswa melapor kepada orang tuanya. Untuk itu, aku akan
memilih meninggalkan jam pelajaran. Cara itu lebih aman.
Seperti hari
ini, aku berada kampung halaman. Rencananya, aku tak masuk mengajar barang tiga
hari. Bersua dengan orang tua, sekaligus melepas penat. Aku telah meminta izin
kepada kepala sekolah dengan alasan yang masuk akal.
Sepulang
mencuci mobil baruku di sungai desa samping sekolah, aku melihat Pak Karman
tengah duduk di teras sekolah, menunggu jam istirahat selesai. Jelas saja, aku
merasa berdosa jika pulang ke kota tanpa sekali pun menyapanya. Maka, dengan
agak segan, aku pun menghampirinya.
“Bapak
masih ingat aku,” tuturku, sambil menyalaminya. “Aku siswa bapak dahulu.”
Ia tampak berusaha mengingat momen-momen di masa lalu. “Maaf. Aku lupa, Nak.”
Aku
tersenyum melihat raut wajahnya yang masih tenang seperti dulu. “Wajarlah.
Bertahun-tahun kita sudah tak pernah berjumpa, Pak. Aku Ardin, siswa Bapak yang
bandel.”
“Oh,
kamu!” tegasnya. Ia tampak sangat senang. “Kamu sibuk apa sekarang, Nak?”
“Aku
sekarang seperti Bapak. Jadi seorang guru,” ungkapku, agak segan. “Aku
berterima kasih, karena Bapak telah mendidikku dahulu. Aku tak akan lupa
hardikan Bapak karena kebandelanku. Mungkin karena itu juga, aku sekarang jadi
guru.”
Pak
Karman menetapku lekat-lekat, sambil merekahkan senyumannya yang tampak begitu
tulus. “Ah, syukurlah kau jadi guru, Nak. Semoga jadi guru yang baik,” katanya.
“Oh iya, aku juga ingat betul peristiwa yang kau maksud. Maaf jika tindakanku
itu, kurang berkenan di hatimu.”
“Aku
yang harusnya minta maaf atas sikapku yang kurang ajar, Pak,” akuku.
Pak
Karman lalu menepuk-nepuk lenganku. “Kau tahu, kenapa emosiku melunjak waktu
itu, Nak?”
Aku
menggeleng, tanda tak tahu.
“Karena
kau telah menghina esensi dari seorang guru,” sambungnya.
“Maksud
Bapak?” Aku jadi penarasan.
“Guru
adalah kerja-kerja pengabdian. Menjadi seorang guru, bukan untuk mencari
kekayaan, apalagi menumpuk harta. Tujuan guru adalah mendidik anak-anak.
Memanusiakan manusia. Karena itu, menjadi seorang guru, harus rela miskin.
Harus ikhlas mengabdi, meski tanpa tanda jasa,” tuturnya dengan lemah lembut.
Pemaknaannya
tentang pekerjaan seorang guru, membuatku seperti tertampar. Bagaimana tidak,
meski hanya berstatus sebagai guru honor, ia tetap mengajar dengan penuh
kasih-sayang. Penuh pengabdian demi akan bangsa.
Di
sisi lain, aku, guru yang berstatus pegawai negeri, tak segan-segan melalaikan
kewajiban. Dan tanpa rasa berdosa, menuntut dan mengambil hak sepenuhnya.
Menjadi seorang guru hanya untuk mengumpulkan harta. Sampai akhirnya aku bisa
membeli mobil baru dari tabungan gajiku, beserta bonus-bonus yang tak terduga
asal dan jenisnya.
Aku
merasa belum pantas disebut guru.
“Kau
tak masuk mengajar hari ini, Nak?” tanyanya Pak Karman lagi.
Aku
jadi bingung harus menjawab apa. Aku jelas meninggalkan kewajibanku untuk
kesekian kalinya. “Aku sudah minta izin pada kepala sekolah untuk bertemu
ibuku, Pak. Dia kurang enak badan katanya,” karangku.
“Oh
begitu. Aku pesankan, jadi guru itu, jangan terlalu banyak izinnya, Nak.
Apalagi, kalau sengaja tak masuk mengajar tanpa alasan yang jelas. Kalau tak
ada halangan berarti, ya, laksanakanlah kewajiban sebagai guru dengan
sebaik-baiknya,” pesannya, sembari tersenyum.
Sekarang,
aku jadi malu pada diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar