Minggu, 09 Oktober 2016

Pedagang Ilmu

Semasih duduk di bangku SMA, aku adalah seorang siswa yang bandel. Aku selalu tertarik bertingkah tak patuh kepada guru. Mencari pujian dari perilaku tak terpuji. Haus eksistensi. Aku akan merasa puas jika hari-hari kulewatkan dengan sejuta sensasi. Membuat diriku bak idola di sekolah, terutama di mata para perempuan. 
 
Di sekolahku, bisa kupastikan, aku layak masuk daftar anak-anak yang terkenal karena kenakalannya. Bahkan, aku mungkin jadi juaranya. Aku tak sungkan menentang guru dengan cara-cara yang tak sopan. Tak peduli guru mana pun, aku tak takut berulah. Seperti tak ada lagi rasa hormatku pada seorang guru.

Dari begitu banyak tingkah liarku, ada satu momen yang tak mungkin kulupakan. Sampai kapanpun, akan selalu menancap di benakku. Ceritanya, pada suatu hari, Pak Karman, seorang guru pendidikan kewarganegaraan yang terkenal sabar dan lemah-lembut, jadi begitu geram padaku. 

“Ardin, jangan main HP saat jam pelajaran, Nak. Belajarlah dengan baik. Yang paling penting, kau harus menghormati gurumu,” katanya.

Karena yakin ia tak mungkin marah, jelas saja aku tergelitik untuk mendebatnya dengan sadis. “Bapak bicara hak asasi manusia di pelajaran ini, tapi kok hak saya untuk main HP dilarang sih. HP ini kan, aku juga yang punya,” balasku, sambil tertawa kecil. “Salah bapak sendiri sih betah jadi guru honor yang kere, sampai tak punya HP modern seperti ini.” 

Mendengar balasanku, mimiknya berubah jadi garang. Tak pernah kulihat raut wajahnya semenakutkan itu. 

Tanpa basa-basi, ia pun menghampiriku. Kemudian, membentakku untuk segera berdiri di samping bangku. Tanpa aba-aba, ia pun mendaratkan mistar di betisku dengan pukulan yang sangat keras. Sakit sekali. Bahkan, meninggalkan bekas lebam beberapa hari.

Sepanjang yang kutahu, hanya sekali itu saja ia menghardik dan memukul seorang siswa.

Dan, kehidupan memang tak bisa ditebak ke mana arahnya. Kini, aku telah menjadi seorang guru SMA negeri di kota yang jauh dari kampungku. Pekerjaan yang menguras emosi tentunya. Tapi aku tak merisaukannya. Yang penting, gaji sebagai guru pegawai negeri, menjamin untuk kehidupanku sekeluarga.

Takdirku sebagai guru kurasa seperti karma atas aksi kurang ajarku dahulu. Kusadari sudah, ternyata menjadi seorang guru, butuh mental baja. Apalagi kala menghadapi anak-anak labil yang gemar mencari perhatian tanpa peduli sopan-santun. Keadaan semacam itu, kadang membuat emosiku terpancing. Namun aku selalu ingat kesabaran Pak Karman. Aku berusaha sepertinya. 

Kalaupun aku tak tahan mental menghadapi olok-olokan, aku tak akan berlaku keras. Aku bisa dapat sanksi jika para siswa melapor kepada orang tuanya. Untuk itu, aku akan memilih meninggalkan jam pelajaran. Cara itu lebih aman. 

Seperti hari ini, aku berada kampung halaman. Rencananya, aku tak masuk mengajar barang tiga hari. Bersua dengan orang tua, sekaligus melepas penat. Aku telah meminta izin kepada kepala sekolah dengan alasan yang masuk akal. 

Sepulang mencuci mobil baruku di sungai desa samping sekolah, aku melihat Pak Karman tengah duduk di teras sekolah, menunggu jam istirahat selesai. Jelas saja, aku merasa berdosa jika pulang ke kota tanpa sekali pun menyapanya. Maka, dengan agak segan, aku pun menghampirinya. 

“Bapak masih ingat aku,” tuturku, sambil menyalaminya. “Aku siswa bapak dahulu.” 

Ia tampak berusaha mengingat momen-momen di masa lalu. “Maaf. Aku lupa, Nak.”

Aku tersenyum melihat raut wajahnya yang masih tenang seperti dulu. “Wajarlah. Bertahun-tahun kita sudah tak pernah berjumpa, Pak. Aku Ardin, siswa Bapak yang bandel.”

“Oh, kamu!” tegasnya. Ia tampak sangat senang. “Kamu sibuk apa sekarang, Nak?”

“Aku sekarang seperti Bapak. Jadi seorang guru,” ungkapku, agak segan. “Aku berterima kasih, karena Bapak telah mendidikku dahulu. Aku tak akan lupa hardikan Bapak karena kebandelanku. Mungkin karena itu juga, aku sekarang jadi guru.”

Pak Karman menetapku lekat-lekat, sambil merekahkan senyumannya yang tampak begitu tulus. “Ah, syukurlah kau jadi guru, Nak. Semoga jadi guru yang baik,” katanya. “Oh iya, aku juga ingat betul peristiwa yang kau maksud. Maaf jika tindakanku itu, kurang berkenan di hatimu.”

“Aku yang harusnya minta maaf atas sikapku yang kurang ajar, Pak,” akuku.

Pak Karman lalu menepuk-nepuk lenganku. “Kau tahu, kenapa emosiku melunjak waktu itu, Nak?”
Aku menggeleng, tanda tak tahu.

“Karena kau telah menghina esensi dari seorang guru,” sambungnya.

“Maksud Bapak?” Aku jadi penarasan.

“Guru adalah kerja-kerja pengabdian. Menjadi seorang guru, bukan untuk mencari kekayaan, apalagi menumpuk harta. Tujuan guru adalah mendidik anak-anak. Memanusiakan manusia. Karena itu, menjadi seorang guru, harus rela miskin. Harus ikhlas mengabdi, meski tanpa tanda jasa,” tuturnya dengan lemah lembut.

Pemaknaannya tentang pekerjaan seorang guru, membuatku seperti tertampar. Bagaimana tidak, meski hanya berstatus sebagai guru honor, ia tetap mengajar dengan penuh kasih-sayang. Penuh pengabdian demi akan bangsa. 

Di sisi lain, aku, guru yang berstatus pegawai negeri, tak segan-segan melalaikan kewajiban. Dan tanpa rasa berdosa, menuntut dan mengambil hak sepenuhnya. Menjadi seorang guru hanya untuk mengumpulkan harta. Sampai akhirnya aku bisa membeli mobil baru dari tabungan gajiku, beserta bonus-bonus yang tak terduga asal dan jenisnya. 

Aku merasa belum pantas disebut guru. 

“Kau tak masuk mengajar hari ini, Nak?” tanyanya Pak Karman lagi.

Aku jadi bingung harus menjawab apa. Aku jelas meninggalkan kewajibanku untuk kesekian kalinya. “Aku sudah minta izin pada kepala sekolah untuk bertemu ibuku, Pak. Dia kurang enak badan katanya,” karangku.

“Oh begitu. Aku pesankan, jadi guru itu, jangan terlalu banyak izinnya, Nak. Apalagi, kalau sengaja tak masuk mengajar tanpa alasan yang jelas. Kalau tak ada halangan berarti, ya, laksanakanlah kewajiban sebagai guru dengan sebaik-baiknya,” pesannya, sembari tersenyum.

Sekarang, aku jadi malu pada diriku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar