Di
malam yang gelap gulita, Tomi hendak berangkat ke kebun lagi, di seberang
sungai. Seperti biasa, tugasnya untuk menjaga tanaman jagung dari keberingasan
kawanan babi hutan.
“Kau
tak makan dulu?” tanya ibunya, sambil menata hidangan di atas meja makan.
“Tak
usah, Bu. Aku masih kenyang. Biar kukemas saja porsi makan malamku. Nanti, di
kebun saja aku makan,” balasnya, sambil mengelus perutnya yang
dikembung-kembungkan.
“Terserah
kau saja,” tanggap ibunya, tak berhasrat memaksa.
Tomi
pun segera mengemas bekalnya ke dalam kotak makan. Kali ini, ia hendak mengambil
porsi ikan asin lebih banyak. Tapi ia harus kecewa, sebab menu lauk malam ini
hanya tahu dan tempe.
“Ikan habis, Bu?” tanya Tomi.
“Masih
ada di dalam lemari. Sisa sedikit. Aku tak ingin menggorengnya. Semalam, kucing
sepertinya masuk lagi ke dalam rumah dan memakan ikan goreng di meja? Akhir-akhir
ini, ikan yang dimakan kucing sepertinya lebih banyak daripada yang kita
makan,” gerutu ibunya. “Kucing tetangga memang kurang ajar. Untung kita tak
punya kucing.”
Tomi
sedikit tersinggung mendengar penuturan ibunya. Lebih dari itu, ia juga takut kalau
ibunya tahu yang sesungguhnya, ataukah mendapati kucing yang sebenarnya memakan
ikan belakangan ini. Itu adalah mimpi buruk.
Dan,
demi mewujudkan rasa kasih-sayang seperti di malam sebelumnya, Tomi
memberanikan diri melakukan tindakan yang tentu saja ditentang sang ibu jika
ketahuan. Diam-diam, ia menyusup ke dapur, mengambil dua ekor ikan asin mentah,
lalu segera disembunyikannya dalam karung berisi peralatan kebun yang hendak
dipikulnya.
Setelah
itu, ia pun berangkat ke kebun. Penuh semangat. Senang tak terkira. Rindunya
akan segera terpuaskan.
Beberapa
hari ini, Tomi memang berubah jadi sangat rajin. Ia selalu memaksa agar ayahnya
tinggal dan beristirahat di rumah. Penjagaan kebun jagung, diterimanya sebagai
tangung jawab tanpa beban. Ia tak peduli bagaimana sepi dan horornya berada di
rumah kebun seorang diri. Berangkat di awal malam, dan baru kembali subuh hari.
Perubahan
sikap Tomi, sebenarnya bukan tanpa alasan. Sejujurnya, ia memiliki teman baru
di rumah kebun. Ada seekor induk kucing dengan tiga ekor anak yang menantinya
setiap saat. Jiwa yang terbuang itu, selalu menanti dirinya datang membawa
makanan.
Itu
masih dirahasiakannya dari sang ibu.
Akhirnya,
pagi-pagi sekali, ibunya gusar lagi. Ia yakin dua ekor ikan asin telah hilang
di dalam lemari.
“Pasti
bukan kucing, Bu. Mana bisa binatang sebesar kucing masuk lemari melalui celah
yang sangat kecil. Paling mungkin, tikus,” tutur Tomi.
“Tikus
kurang ajar!” timpal ibunya segera.
“Itulah,
Bu, mungkin saran Tomi agar kita memelihara kucing, perlu juga
dipertimbangkan,” ujar ayahnya, sambil menoleh dan tersenyum pada Tomi. Ia tahu
perkara hilangnya ikan adalah ulah anak semata wayangnya. Ia sendiri mengendus
jejak ikan asin di rumah kebun siang kemarin. “Kucing kan tak selamanya kurang
ajar, Bu. Kalau kita biasakan mereka untuk manut, pasti jadi kucing baik.”
“Betul
itu, Bu. Aku sepakat dengan Ayah!” tutur Tomi. Tampak semringah, sebab ada kemungkinan,
keluarga kecilnya akan mengadopsi kucing yang terbuang di kebun seberang sungai.
Ibunya
terdiam. Tak menolak, juga tak mengiyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar