Minggu, 02 Oktober 2016

Jiwa yang Terbuang

Di malam yang gelap gulita, Tomi hendak berangkat ke kebun lagi, di seberang sungai. Seperti biasa, tugasnya untuk menjaga tanaman jagung dari keberingasan kawanan babi hutan.
 
“Kau tak makan dulu?” tanya ibunya, sambil menata hidangan di atas meja makan.

“Tak usah, Bu. Aku masih kenyang. Biar kukemas saja porsi makan malamku. Nanti, di kebun saja aku makan,” balasnya, sambil mengelus perutnya yang dikembung-kembungkan.

“Terserah kau saja,” tanggap ibunya, tak berhasrat memaksa.

Tomi pun segera mengemas bekalnya ke dalam kotak makan. Kali ini, ia hendak mengambil porsi ikan asin lebih banyak. Tapi ia harus kecewa, sebab menu lauk malam ini hanya tahu dan tempe.

 “Ikan habis, Bu?” tanya Tomi.

“Masih ada di dalam lemari. Sisa sedikit. Aku tak ingin menggorengnya. Semalam, kucing sepertinya masuk lagi ke dalam rumah dan memakan ikan goreng di meja? Akhir-akhir ini, ikan yang dimakan kucing sepertinya lebih banyak daripada yang kita makan,” gerutu ibunya. “Kucing tetangga memang kurang ajar. Untung kita tak punya kucing.”

Tomi sedikit tersinggung mendengar penuturan ibunya. Lebih dari itu, ia juga takut kalau ibunya tahu yang sesungguhnya, ataukah mendapati kucing yang sebenarnya memakan ikan belakangan ini. Itu adalah mimpi buruk.

Dan, demi mewujudkan rasa kasih-sayang seperti di malam sebelumnya, Tomi memberanikan diri melakukan tindakan yang tentu saja ditentang sang ibu jika ketahuan. Diam-diam, ia menyusup ke dapur, mengambil dua ekor ikan asin mentah, lalu segera disembunyikannya dalam karung berisi peralatan kebun yang hendak dipikulnya.

Setelah itu, ia pun berangkat ke kebun. Penuh semangat. Senang tak terkira. Rindunya akan segera terpuaskan.

Beberapa hari ini, Tomi memang berubah jadi sangat rajin. Ia selalu memaksa agar ayahnya tinggal dan beristirahat di rumah. Penjagaan kebun jagung, diterimanya sebagai tangung jawab tanpa beban. Ia tak peduli bagaimana sepi dan horornya berada di rumah kebun seorang diri. Berangkat di awal malam, dan baru kembali subuh hari.

Perubahan sikap Tomi, sebenarnya bukan tanpa alasan. Sejujurnya, ia memiliki teman baru di rumah kebun. Ada seekor induk kucing dengan tiga ekor anak yang menantinya setiap saat. Jiwa yang terbuang itu, selalu menanti dirinya datang membawa makanan.

Itu masih dirahasiakannya dari sang ibu.

Akhirnya, pagi-pagi sekali, ibunya gusar lagi. Ia yakin dua ekor ikan asin telah hilang di dalam lemari. 

“Pasti bukan kucing, Bu. Mana bisa binatang sebesar kucing masuk lemari melalui celah yang sangat kecil. Paling mungkin, tikus,” tutur Tomi.

“Tikus kurang ajar!” timpal ibunya segera.

“Itulah, Bu, mungkin saran Tomi agar kita memelihara kucing, perlu juga dipertimbangkan,” ujar ayahnya, sambil menoleh dan tersenyum pada Tomi. Ia tahu perkara hilangnya ikan adalah ulah anak semata wayangnya. Ia sendiri mengendus jejak ikan asin di rumah kebun siang kemarin. “Kucing kan tak selamanya kurang ajar, Bu. Kalau kita biasakan mereka untuk manut, pasti jadi kucing baik.”

“Betul itu, Bu. Aku sepakat dengan Ayah!” tutur Tomi. Tampak semringah, sebab ada kemungkinan, keluarga kecilnya akan mengadopsi kucing yang terbuang di kebun seberang sungai.

Ibunya terdiam. Tak menolak, juga tak mengiyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar