Selasa, 25 Oktober 2016

Ulang Tahun Pernikahan

Gita merisaukan keadaan rumah tangganya. Meski usia pernikahannya baru tepat setahun, tanda-tanda keretakan, mulai terasa. Jika ia tak pintar dan sabar menanggapi masalah, mungkin beberapa kali sudah persoalan sepele menyulut percekcokan. Pemicunya beragam. Mulai dari  sangkaan pengabaian tanggung jawab sebagai istri, sampai adanya indikasi perselingkungan. 

Hari ini, ia bertekad meredam kekisruhan batin yang nyaris meledak. Tugasnya sebagai ibu rumah tangga, akan ia tunaikan dengan sempurna. Rencananya, seusai membersihkan dan merapikan rumah, ia akan memasak makanan favorit sang suami. Namun, belum apa-apa, sebuah pertanda tak terduga, dijumpainya. Sepulang dari pasar, ia terkejut melihat sebuah kertas di atas keset bertuliskan: Selamat pagi sayang.

Pesan mesra yang ia diduga dari sang suami, membuat kekalutannya tiba-tiba menghilang. Keretakan rumah tangga pun, dinilainya sebagai kesimpulan sesat semata. Ia merasa lega, sebab tiga kata di secarik kertas, membuktikan kalau cinta dan kasih-sayang suaminya, masih terjaga. Keyakinannya mengatakan kalau ucapan itu hanyalah awal dari kejutan yang lebih besar. Sebuah rangkaian romantis sebagai peringatan hari ulang tahun pernikahan mereka. 

Segera juga, ia menyibak pintu dengan penuh gairah. Kemudian, tampaklah sejumlah tanda-tanda yang membuatnya berkesimpulan, bahwa sang suami sedang merancang sebuah kejutan dengan ending yang tak terduga. Tanpa pikir panjang, ia pun mengikuti arti gambar anak panah, simbol penunjuk arah, yang terpampang di dinding rumah. Ia terus melangkah, beserta perasaan yang menggebu.

Sampai akhirnya, ia selesai menunaikan penunjuk arah yang kelima, yang terakhir. Serangkaian istruksi itu, membawa dirinya ke lantai III rumah, tepat di depan ruang penyimpanan barang bekas. Sebuah ruang berukuran kecil yang tak pernah dihiraukannya selama ini, kecuali untuk menumpuk barang yang tak terpakai lagi. 

Nafsu Gita untuk segera menyingkap tabir, harus tertahan kembali. Pada gagang pintu, tergantung sebuah kain berwarna hitam. Dan di depan pintu, menempel secarik kertas berisi pesan: Masuklah ke ruangan ini dengan mata yang tertutup kain. Pastikan untuk tidak mengintip. Yakinlah, kau pasti tak mengira apa yang akan kau lihat. Sebuah kejutan sayang! 

Tanpa ada keengganan atau ketakutan sedikit pun, ia menurut saja. Rasa penarasan dan kecurigaannya, teredam oleh keyakinan bahwa semua akan berujung pada kejutan yang luar biasa. Sebagaimana dahulu sebelum menikah, sang suami begitu lihai memberikan hadiah dengan cara yang mengesankan. Tak pernah mengecewakan.

“Sayang, aku sudah menuruti semua perintahmu. Apa aku sudah boleh melihat kejutannya sekarang?” tanya Gita yang tak sabar menanti. “Aku jadi penasaran, sayang. Cepat dong. Jangan-jangan nanti aku malah jadi bosan dan kejutannya tak asyik lagi.”

Tak ada respons apa-apa.

Di halaman, Riko, suaminya, datang dari kantor. Di jam istirahat kali ini, ia pulang untuk mengambil berkas yang terlupa. Dan seketika, langkah kakinya berhenti setelah memasuki rumah. Pandangannya terpaku pada simbol penunjuk arah yang tertempel di dinding rumah. Ia pun yakin, istrinya sedang merancang sebuah kejutan untuk memperingati hari ulang tahun pernikahan mereka.

Dalam sekejap, kecurigaannya bahwa sang istri tak lagi mencintainya, buyar seketika. Pesan singkat dari pengirim misterius yang masuk telepon genggamnya, yang mengatakan kalau istrinya bermain serong, juga tak ia risaukan lagi. Bahkan ia tak mengacuhkan lagi anggapan yang membebaninya sendiri, kalau ia bukanlah penguni pertama di hati istrinya. Kepedulian sang istri untuk memperingati hari ulang tahun pernikahan mereka, dinilainya sebagai bukti atas cinta yang tak lekang oleh apa pun.

Bersama rasa cintanya yang menggebu, seperti pada kali pertama menatap sang istri, ia mengikuti isyarat di lembaran kertas tanpa keraguan dan kecurigaan sedikit pun. Hingga akhirnya, ia menyelesaikan penunjuk arah yang terakhir. Namun, tak ada tanda apa-apa. Ia pun hanya berdiri dan menoleh ke segala arah. Menunggu sang istri tiba-tiba muncul beserta sebuah kejutan.

Beberapa detik dalam penantian, ia mendengar rintihan dari dalam gudang yang berada tepat di depannya.

“Sayang, jangan dramatis begitu dong. Untuk apa pakai adegan menangis segala?” singgungnya.

Tak ada balasan apa-apa. Dan seketika, suara tangisan itu, berhenti.

Kemudian, terdengar desisan dan suara entakan dari ruang yang sama.

“Sayang, sudahlah. Itu tidak lucu!” tuturnya lagi.

Suara dari dalam gudang, terdengar semakin gaduh.

“Sayang?” sapanya.

Tanpa pikir panjang lagi, ia pun mendobrak pintu. Setelah tersibak, tampaklah olehnya seorang lelaki bertopeng tengah berdiri di samping kursi, tempat sang istri duduk tersekap. Lelaki bertubuh kekar nan misterius itu, melintangkan pisau tepat di leher istrinya yang tak berdaya. 

“Siapa kau?” tanya Riko dengan membentak.

Lelaki bertopeng itu, membalas dengan tawa. “Selamat datang di momen spesial ini Riko. Lelaki biadab! Kau tahu, harusnya akulah yang berbahagia bersama si cantik di hari ini.”

Dengan mulut yang tersumpal, Gita tak berhenti menangis dan meronta. Riko dengan posisi siaga, masih bingung harus memulai aksinya dari mana.

“Harusnya Gita menikah denganku dahulu. Bukan denganmu, bangsat!” bentak si lelaki misterius. 

Mendengar ancaman itu, pikiran Riko melayang jauh, menjelajah kenangannya. Sampailah ia pada masa-masa kuliah. Teringatlah olehnya sosok Hengky, lelaki yang dahulu menaksir istrinya lebih dulu. Bahkan dari lelaki berandal itulah, ia mengenal sang istri.

“Heng, aku mohon jangan sakiti dia. Kami adalah suami-istri sekarang. Kau harusnya mengerti,” nasihat Riko. 

“Jadi, kau masih mengenalku rupanya,” tutur lelaki itu sembari tertawa terbahak-bahak, kemudian menyibak topeng kain yang menutupi wajahnya. “Aku tak akan menyakitnya, asalkan kau bisa memutar waktu, sehingga akulah yang jadi suaminya. Bisa?”

Senyap-senyap, ikatan pada tangan Gita, terlepas. Seketika, ia menepis todongan pisau Hengky yang mendatar di depan lehernya. Pisau itu pun terhempas jauh ke arah Riko. 

Riko lalu bergegas ke arah Hengky, kemudian menghujaminya dengan bogem mentah beberapa kali. Pukulannya mendarat tepat di wajah, perut, dan dada hengky. Lelaki pemabuk itu pun tersungkur tak berdaya. 

Keadaan berbalik. Giliran Hengky yang tersekap untuk sementara waktu, sampai akhirnya polisi datang menjemputnya.

“Maafkan aku, jika dahulu, aku adalah lelaki yang berada di antara kau dan dia,” tutur Riko pada sang istri.

“Kamu ini berkata apa sayang. Kau ini suamiku sekarang. Kau adalah cintaku yang sesungguhnya. Percayalah, tak sedikit pun rasa cintaku pada lelaki bejat itu dahulu, juga pada lelaki lain selain dirimu. Aku sengaja mendekatinya, hanya untuk mencari kemungkinan dekat denganmu. Sungguh!” tutur Gita, sambil merebahkan badannya di pelukan suaminya.

Kini, mereka pun damai dalam cinta, sebab rahasia tentang awal kebersamaan mereka yang tak pernah dipertanyakan, kini terkuak sudah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar