Gita
merisaukan keadaan rumah tangganya. Meski usia pernikahannya baru tepat
setahun, tanda-tanda keretakan, mulai terasa. Jika ia tak pintar dan sabar
menanggapi masalah, mungkin beberapa kali sudah persoalan sepele menyulut percekcokan.
Pemicunya beragam. Mulai dari sangkaan
pengabaian tanggung jawab sebagai istri, sampai adanya indikasi
perselingkungan.
Hari
ini, ia bertekad meredam kekisruhan batin yang nyaris meledak. Tugasnya sebagai
ibu rumah tangga, akan ia tunaikan dengan sempurna. Rencananya, seusai
membersihkan dan merapikan rumah, ia akan memasak makanan favorit sang suami.
Namun, belum apa-apa, sebuah pertanda tak terduga, dijumpainya. Sepulang dari
pasar, ia terkejut melihat sebuah kertas di atas keset bertuliskan: Selamat pagi sayang.
Pesan
mesra yang ia diduga dari sang suami, membuat kekalutannya tiba-tiba
menghilang. Keretakan rumah tangga pun, dinilainya sebagai kesimpulan sesat
semata. Ia merasa lega, sebab tiga kata di secarik kertas, membuktikan kalau cinta
dan kasih-sayang suaminya, masih terjaga. Keyakinannya mengatakan kalau ucapan itu
hanyalah awal dari kejutan yang lebih besar. Sebuah rangkaian romantis sebagai
peringatan hari ulang tahun pernikahan mereka.
Segera
juga, ia menyibak pintu dengan penuh gairah. Kemudian, tampaklah sejumlah
tanda-tanda yang membuatnya berkesimpulan, bahwa sang suami sedang merancang
sebuah kejutan dengan ending yang tak
terduga. Tanpa pikir panjang, ia pun mengikuti arti gambar anak panah, simbol
penunjuk arah, yang terpampang di dinding rumah. Ia terus melangkah, beserta
perasaan yang menggebu.
Sampai
akhirnya, ia selesai menunaikan penunjuk arah yang kelima, yang terakhir.
Serangkaian istruksi itu, membawa dirinya ke lantai III rumah, tepat di depan
ruang penyimpanan barang bekas. Sebuah ruang berukuran kecil yang tak pernah
dihiraukannya selama ini, kecuali untuk menumpuk barang yang tak terpakai lagi.
Nafsu
Gita untuk segera menyingkap tabir, harus tertahan kembali. Pada gagang pintu,
tergantung sebuah kain berwarna hitam. Dan di depan pintu, menempel secarik
kertas berisi pesan: Masuklah ke ruangan
ini dengan mata yang tertutup kain. Pastikan untuk tidak mengintip. Yakinlah,
kau pasti tak mengira apa yang akan kau lihat. Sebuah kejutan sayang!
Tanpa
ada keengganan atau ketakutan sedikit pun, ia menurut saja. Rasa penarasan dan
kecurigaannya, teredam oleh keyakinan bahwa semua akan berujung pada kejutan
yang luar biasa. Sebagaimana dahulu sebelum menikah, sang suami begitu lihai
memberikan hadiah dengan cara yang mengesankan. Tak pernah mengecewakan.
“Sayang,
aku sudah menuruti semua perintahmu. Apa aku sudah boleh melihat kejutannya
sekarang?” tanya Gita yang tak sabar menanti. “Aku jadi penasaran, sayang.
Cepat dong. Jangan-jangan nanti aku malah jadi bosan dan kejutannya tak asyik
lagi.”
Tak
ada respons apa-apa.
Di
halaman, Riko, suaminya, datang dari kantor. Di jam istirahat kali ini, ia
pulang untuk mengambil berkas yang terlupa. Dan seketika, langkah kakinya
berhenti setelah memasuki rumah. Pandangannya terpaku pada simbol penunjuk arah
yang tertempel di dinding rumah. Ia pun yakin, istrinya sedang merancang sebuah
kejutan untuk memperingati hari ulang tahun pernikahan mereka.
Dalam
sekejap, kecurigaannya bahwa sang istri tak lagi mencintainya, buyar seketika. Pesan
singkat dari pengirim misterius yang masuk telepon genggamnya, yang mengatakan
kalau istrinya bermain serong, juga tak ia risaukan lagi. Bahkan ia tak
mengacuhkan lagi anggapan yang membebaninya sendiri, kalau ia bukanlah penguni
pertama di hati istrinya. Kepedulian sang istri untuk memperingati hari ulang
tahun pernikahan mereka, dinilainya sebagai bukti atas cinta yang tak lekang
oleh apa pun.
Bersama
rasa cintanya yang menggebu, seperti pada kali pertama menatap sang istri, ia
mengikuti isyarat di lembaran kertas tanpa keraguan dan kecurigaan sedikit pun.
Hingga akhirnya, ia menyelesaikan penunjuk arah yang terakhir. Namun, tak ada
tanda apa-apa. Ia pun hanya berdiri dan menoleh ke segala arah. Menunggu sang
istri tiba-tiba muncul beserta sebuah kejutan.
Beberapa
detik dalam penantian, ia mendengar rintihan dari dalam gudang yang berada
tepat di depannya.
“Sayang,
jangan dramatis begitu dong. Untuk apa pakai adegan menangis segala?” singgungnya.
Tak ada
balasan apa-apa. Dan seketika, suara tangisan itu, berhenti.
Kemudian,
terdengar desisan dan suara entakan dari ruang yang sama.
“Sayang,
sudahlah. Itu tidak lucu!” tuturnya lagi.
Suara
dari dalam gudang, terdengar semakin gaduh.
“Sayang?”
sapanya.
Tanpa
pikir panjang lagi, ia pun mendobrak pintu. Setelah tersibak, tampaklah olehnya
seorang lelaki bertopeng tengah berdiri di samping kursi, tempat sang istri duduk
tersekap. Lelaki bertubuh kekar nan misterius itu, melintangkan pisau tepat di
leher istrinya yang tak berdaya.
“Siapa
kau?” tanya Riko dengan membentak.
Lelaki
bertopeng itu, membalas dengan tawa. “Selamat datang di momen spesial ini Riko.
Lelaki biadab! Kau tahu, harusnya akulah yang berbahagia bersama si cantik di
hari ini.”
Dengan
mulut yang tersumpal, Gita tak berhenti menangis dan meronta. Riko dengan
posisi siaga, masih bingung harus memulai aksinya dari mana.
“Harusnya
Gita menikah denganku dahulu. Bukan denganmu, bangsat!” bentak si lelaki
misterius.
Mendengar
ancaman itu, pikiran Riko melayang jauh, menjelajah kenangannya. Sampailah ia
pada masa-masa kuliah. Teringatlah olehnya sosok Hengky, lelaki yang dahulu
menaksir istrinya lebih dulu. Bahkan dari lelaki berandal itulah, ia mengenal
sang istri.
“Heng,
aku mohon jangan sakiti dia. Kami adalah suami-istri sekarang. Kau harusnya
mengerti,” nasihat Riko.
“Jadi,
kau masih mengenalku rupanya,” tutur lelaki itu sembari tertawa terbahak-bahak,
kemudian menyibak topeng kain yang menutupi wajahnya. “Aku tak akan
menyakitnya, asalkan kau bisa memutar waktu, sehingga akulah yang jadi
suaminya. Bisa?”
Senyap-senyap,
ikatan pada tangan Gita, terlepas. Seketika, ia menepis todongan pisau Hengky
yang mendatar di depan lehernya. Pisau itu pun terhempas jauh ke arah Riko.
Riko
lalu bergegas ke arah Hengky, kemudian menghujaminya dengan bogem mentah
beberapa kali. Pukulannya mendarat tepat di wajah, perut, dan dada hengky. Lelaki
pemabuk itu pun tersungkur tak berdaya.
Keadaan
berbalik. Giliran Hengky yang tersekap untuk sementara waktu, sampai akhirnya polisi
datang menjemputnya.
“Maafkan
aku, jika dahulu, aku adalah lelaki yang berada di antara kau dan dia,” tutur
Riko pada sang istri.
“Kamu
ini berkata apa sayang. Kau ini suamiku sekarang. Kau adalah cintaku yang sesungguhnya.
Percayalah, tak sedikit pun rasa cintaku pada lelaki bejat itu dahulu, juga
pada lelaki lain selain dirimu. Aku sengaja mendekatinya, hanya untuk mencari
kemungkinan dekat denganmu. Sungguh!” tutur Gita, sambil merebahkan badannya di
pelukan suaminya.
Kini,
mereka pun damai dalam cinta, sebab rahasia tentang awal kebersamaan mereka yang
tak pernah dipertanyakan, kini terkuak sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar