Istilah
demokrasi tersusun dari kata bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos
atau cratein yang berarti
pemerintahan. Secara sederhana, demokrasi dapat diartikan sebagai konsep
pemerintahan yang mendudukkan kesatuan rakyat sebagai pihak yang berdaulat menentukan
jalannya kehidupan bernegara.
Demokrasi
meniscayakan keputusan pemerintahan diambil dengan melibatkan peran serta setiap
individu rakyat. Pelibatan rakyat meliputi keseluruhan proses pemerintahan,
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pada capaian tujuan. Tak
salah jika disimpulkan bahwa demokrasi berarti pemerintahan dari, oleh, dan
untuk rakyat.
Secara
esensial, demokrasi adalah konsep pelaksanaan pemerintahan pada suatu negara, yang
menempatkan semua warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan
dalam menjalankan kehidupannya maupun berpartisipasi dalam kekuasaan negara.
Rakyat berhak ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya
kekuasaan negara, baik secara langsung melalui ruang-ruang publik, maupun
melalui wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur. Sistem pemerintahan
demokrasi ini, dipakai sebagai lawan dari sistem pemerintahan tirani, otokrasi,
despotisme, totalitarisme, aristokrasi, oligarki, dan teokrasi.[1]
Joseph
Schmeter mengartikan demokrasi sebagai suatu perencanaan institusional untuk
mencapai suatu putusan politik, di mana para individu memperoleh kekuasaan
untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sedangkan Sidney
Hook menyatakan demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan, di mana
putusan-putusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung,
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
dewasa.[2]
Pada
tataran praktis, penerapan konsep demokrasi dalam penentuan keputusan dan kebijakan
pemrintahan, dapat terwujud melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat ataupun
pemungutan suara (voting) untuk menetapkan
pilihan berdasarkan suara terbanyak. Terkait pada mana demokrasi dititikberatkan,
demokrasi dapat berupa demokrasi langsung ataupun demokrasi perwakilan.
Demokrasi langsung berarti rakyat menentukan sendiri setiap keputusan yang
menyangkut kepentingannya, sedangkan demokrasi perwakilan berarti rakyat memilih
beberapa orang untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingannya. Meski berbeda,
mekanisme tersebut, tetap dapat dianggap demokratis, karena sama-sama
mendudukkan segenap individu rakyat sebagai unsur penentu dalam pengambilan
keputusan.
Penerapan
konsep demokrasi dalam kehidupan bernegara, yang menempatkan individu sebagai
penentu jalannya pemerintahan, memerlukan jaminan dan kepastian. Untuk itulah,
perlindungan hukum terhadap demokrasi, harus diadakan dan ditegakkan. Hukum harus
hadir bukan sebagai pengekang atau “pembunuh” demokrasi, tetapi sebagai
pelindung demokrasi. Perlindungan itu mencakup pemeliharaan demokrasi dari
kebebasan yang kebablasan, ataupun dari kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan.
Hukum hadir tiada lain untuk menjamin terwujudnya nilai-nilai demokrasi.
Kedudukan
hukum sebagai penjaga demokrasi akhirnya memunculkan konsep negara hukum yang
biasa diistilahkan nomokrasi. Nomokrasi sendiri berasal dari kata nomos yang berarti nilai atau norma, dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Itu berarti nomokrasi adalah
permerintahan negara oleh hukum. Nomokrasi mengandaikan hukum sebagai dasar
menjalankan kekuasaan. Hukumlah yang tertinggi, yang berdaulat mengendalikan
siapa pun juga yang diamanahkan memegang kekuasaan negara melalui konsep
demokrasi. Dengan demikian, nomokrasi berusaha menjamin bahwa proses dan
capaian pemerintahan negara, semata-mata ditujukan untuk mewujudkan nilai-nilai
demokrasi.
Dalam
konsep demokrasi sendiri, terdapat sejumlah nilai yang selayaknya menjadi objek
yang harus dilindungi dan diwujudkan oleh hukum, yaitu nilai kesetaraan
(egalitarisme), nilai penghargaan terhadap hak-hak asasi, nilai perlindungan (protection), nilai keberagaman (pluralisme),
nilai keadilan, nilai torelansi, nilai kemanusiaan, nilai ketertiban, nilai
penghormatan terhadap orang lain, nilai kebebasan, nilai penghargaan terhadap
kepemilikan, nilai tanggung jawab, nilai kebersamaan, dan nilai kemakmuran.[3]
Prinsip-prinsip
negara hukum (nomokrasi) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) harus dijalankan secara
beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang
demikian disebuat sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut
constitutional democracy. Hukum
dibangun dan ditegakkan menurut prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan semata (machtsstaat).[4]
Konsep
demokrasi berdasar negara hukum ini, merupakan perpaduan yang berusaha menghindari
monopoli kekuasaan oleh seseorang, sebab rentan berujung pada tirani. Di sisi
lain, konsep ini juga berusaha menghindari kebebasan tanpa batas oleh individu
rakyat berdasarkan paradigma individualistis, sebab dapat berujung pada
anarkisme. Dengan demikian, negara hukum yang demokratis berusaha
menyeimbangkan serta melindungi kepentingan individu (demokrasi) dan sosial (negara)
secara bersama-sama.
Terkait
indikator tegaknya negara hukum yang demokratis, maka dalam persperktif yang
bersifat horizontal, gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) mengandung
empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam
kehidupan bersama, (ii) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan dan
pluralitas, (iii) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan
bersama, (iv) adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan
yang ditaati bersama itu.[5]
Pada
konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan
yang bersifat vertikal antara institusi negara dan warga negara, keempat
prinsip pokok di atas lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip
negara hukum (nomokrasi): (v) pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, (vi) pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian
kekuasaan, disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antarlembaga
negara, baik secara vertical maupun horizontal, (vii) adanya peradilan yang
bersifat independen dan tidak memihak, (viii) dibentuknya lembaga peradilan
yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat
putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara), (ix) adanya
mekanisme judicial review oleh
lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang
ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun oleh lembaga eksekutif, (x) dibuatnya konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip tersebut,
(xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau due
process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.[6]
Dalam
konteks negara Indonesia, konsep demokrasi dan negara hukum, jelas menjadi
dasar dalam menjalankan pemerintahan negara. Hal itu jelas terlihat dari
perpaduan substansi Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dengan Pasal 1 ayat (3) yang
menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pada tataran praktis,
perwujudan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, juga dapat dilihat
dari berbagai indikator yang menunjukkan bahwa pemerintahan negara dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan hukum, meskipun dalam kenyataannya, masih perlu
dilakukan pembenahan di sana-sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar