Minggu, 09 Oktober 2016

Demokrasi dan Negara Hukum

Istilah demokrasi tersusun dari kata bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Secara sederhana, demokrasi dapat diartikan sebagai konsep pemerintahan yang mendudukkan kesatuan rakyat sebagai pihak yang berdaulat menentukan jalannya kehidupan bernegara. 

Demokrasi meniscayakan keputusan pemerintahan diambil dengan melibatkan peran serta setiap individu rakyat. Pelibatan rakyat meliputi keseluruhan proses pemerintahan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pada capaian tujuan. Tak salah jika disimpulkan bahwa demokrasi berarti pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Secara esensial, demokrasi adalah konsep pelaksanaan pemerintahan pada suatu negara, yang menempatkan semua warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan dalam menjalankan kehidupannya maupun berpartisipasi dalam kekuasaan negara. Rakyat berhak ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan negara, baik secara langsung melalui ruang-ruang publik, maupun melalui wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur. Sistem pemerintahan demokrasi ini, dipakai sebagai lawan dari sistem pemerintahan tirani, otokrasi, despotisme, totalitarisme, aristokrasi, oligarki, dan teokrasi.[1]

Joseph Schmeter mengartikan demokrasi sebagai suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu putusan politik, di mana para individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sedangkan Sidney Hook menyatakan demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan, di mana putusan-putusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[2]

Pada tataran praktis, penerapan konsep demokrasi dalam penentuan keputusan dan kebijakan pemrintahan, dapat terwujud melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat ataupun pemungutan suara (voting) untuk menetapkan pilihan berdasarkan suara terbanyak. Terkait pada mana demokrasi dititikberatkan, demokrasi dapat berupa demokrasi langsung ataupun demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung berarti rakyat menentukan sendiri setiap keputusan yang menyangkut kepentingannya, sedangkan demokrasi perwakilan berarti rakyat memilih beberapa orang untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingannya. Meski berbeda, mekanisme tersebut, tetap dapat dianggap demokratis, karena sama-sama mendudukkan segenap individu rakyat sebagai unsur penentu dalam pengambilan keputusan.

Penerapan konsep demokrasi dalam kehidupan bernegara, yang menempatkan individu sebagai penentu jalannya pemerintahan, memerlukan jaminan dan kepastian. Untuk itulah, perlindungan hukum terhadap demokrasi, harus diadakan dan ditegakkan. Hukum harus hadir bukan sebagai pengekang atau “pembunuh” demokrasi, tetapi sebagai pelindung demokrasi. Perlindungan itu mencakup pemeliharaan demokrasi dari kebebasan yang kebablasan, ataupun dari kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan. Hukum hadir tiada lain untuk menjamin terwujudnya nilai-nilai demokrasi. 

Kedudukan hukum sebagai penjaga demokrasi akhirnya memunculkan konsep negara hukum yang biasa diistilahkan nomokrasi. Nomokrasi sendiri berasal dari kata nomos yang berarti nilai atau norma, dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Itu berarti nomokrasi adalah permerintahan negara oleh hukum. Nomokrasi mengandaikan hukum sebagai dasar menjalankan kekuasaan. Hukumlah yang tertinggi, yang berdaulat mengendalikan siapa pun juga yang diamanahkan memegang kekuasaan negara melalui konsep demokrasi. Dengan demikian, nomokrasi berusaha menjamin bahwa proses dan capaian pemerintahan negara, semata-mata ditujukan untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi.

Dalam konsep demokrasi sendiri, terdapat sejumlah nilai yang selayaknya menjadi objek yang harus dilindungi dan diwujudkan oleh hukum, yaitu nilai kesetaraan (egalitarisme), nilai penghargaan terhadap hak-hak asasi, nilai perlindungan (protection), nilai keberagaman (pluralisme), nilai keadilan, nilai torelansi, nilai kemanusiaan, nilai ketertiban, nilai penghormatan terhadap orang lain, nilai kebebasan, nilai penghargaan terhadap kepemilikan, nilai tanggung jawab, nilai kebersamaan, dan nilai kemakmuran.[3]

Prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat  (demokrasi) harus dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian disebuat sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy. Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat).[4]

Konsep demokrasi berdasar negara hukum ini, merupakan perpaduan yang berusaha menghindari monopoli kekuasaan oleh seseorang, sebab rentan berujung pada tirani. Di sisi lain, konsep ini juga berusaha menghindari kebebasan tanpa batas oleh individu rakyat berdasarkan paradigma individualistis, sebab dapat berujung pada anarkisme. Dengan demikian, negara hukum yang demokratis berusaha menyeimbangkan serta melindungi kepentingan individu (demokrasi) dan sosial (negara) secara bersama-sama.

Terkait indikator tegaknya negara hukum yang demokratis, maka dalam persperktif yang bersifat horizontal, gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) mengandung empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama, (ii) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan dan pluralitas, (iii) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama, (iv) adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama itu.[5]

Pada konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antara institusi negara dan warga negara, keempat prinsip pokok di atas lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi): (v) pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, (vi) pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan, disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antarlembaga negara, baik secara vertical maupun horizontal, (vii) adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak, (viii) dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara), (ix) adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun oleh lembaga eksekutif, (x) dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip tersebut, (xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.[6]

Dalam konteks negara Indonesia, konsep demokrasi dan negara hukum, jelas menjadi dasar dalam menjalankan pemerintahan negara. Hal itu jelas terlihat dari perpaduan substansi Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dengan Pasal 1 ayat (3) yang menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pada tataran praktis, perwujudan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, juga dapat dilihat dari berbagai indikator yang menunjukkan bahwa pemerintahan negara dilaksanakan secara demokratis berdasarkan hukum, meskipun dalam kenyataannya, masih perlu dilakukan pembenahan di sana-sini.


[1] Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 2
[2] Ibid., hlm. 2-3.
[3] Ibid., hlm. 16-17.
[4] Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 132.
[5] Ibid., hlm. 297-298.
[6] Ibid., hlm. 298.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar