Kamis, 30 November 2023

Satu Derita

Betapa terkejutnya aku setelah membuka pintu rumahku dan mendapati seorang wanita tampak tertidur pulas di sofa, di ruang tamu. Aku jelas tak menitipkan kunci serepku dan tak menugaskan siapa-siapa untuk menjaga kediamanku selama seminggu aku berada di kampung kelahiranku, di tengah libur kerjaku. 

"He, kamu siapa?" sergahku. 

Ia sontak terjaga dan berdiri dengan raut kalang kabut. 

Secara refleks, aku mengambil sapu ijuk di sampingku dan mengancamkannya. "He, jangan macam-macam! Kau mau apa di sini?"

Ia lekas menegakkan jari telunjuk di depan bibirnya, lalu mendesis. "Tenanglah. Aku tak bermaksud jahat," tuturnya, lantas mengangkat kedua tangannya.

Aku tak percaya dan tetap mengancamnya. "Lalu, kenapa kau ada di dalam rumahku, he?” sidikku, dengan nada tinggi. 

"Tenanglah. Aku mohon!" pintanya, dengan raut memelas. "Aku bisa menjelaskannya, tetapi tenanglah."

Dengan begitu saja, ketakutanku mereda melihat rupa wajahnya yang menyiratkan kekalutan, juga sikap tubuhnya yang sama sekali tak membahayakan. “Jelaskanlah!”

"Aku kabur dari pencarian pacarku. Ia seorang lelaki yang manulatif, arogan, dan ringan tangan. Sampai akhirnya, tiga hari yang lalu, aku menemukan rumahmu yang tampak kosong ini. Aku pun memutuskan untuk masuk dan bersembunyi di sini," jelasnya, dengan raut pilu.

Seketika pula, aku tersentuh mendengar keterangannya. Apalagi, aku bisa melihat dengan jelas bekas luka goresan yang telah mengering di pipi kanan dan dahinya. 

Akhirnya, dengan perasaan iba, aku lalu meletakkan sapu ijuk di tanganku, kemudian mendekatinya dan menggenggam tangannya. "Aku percaya padaku." 

"Terima kasih," balasnya, kemudian meneteskan air mata.

Aku mengangguk dan jadi makin kasihan. "Tenanglah. Kau akan baik-baik saja di sini."

Ia pun tersenyum simpul, lantas menyeka air matanya.

"Oh, ya, aku bawa roti dan kue.” Aku kemudian membuka sebuah kantong belanjaanku, lalu mengajukan kepadanya. “Makanlah. Kau pasti kelaparan," tawarku, atas kesadaran bahwa aku hanya menyimpan sedikit persediaan makanan di kulkas. 

Ia pun tersenyum kecil. "Terima kasih," tanggapnya, lantas mengambil penganan yang kusodorkan. "Oh, ya, aku minta maaf karena aku telah menyantap persediaan makanmu di sini. Aku bahkan telah menghabiskan air minummu."

"Tidak apa-apa. Nanti aku beli lagi," kataku, lalu balas tersenyum.

Dengan ruat yang tampak tenang, ia kemudian duduk dan menyantap penganan pemberianku. 

"Tenangkanlah dirimu di sini. Aku mau keluar untuk membeli makanan dan minuman untuk kita," kataku.

Ia mengangguk-angguk saja, sembari mengunyah roti.

Akhirnya, aku melangkah keluar rumah, menuju ke warung makan dan toko kelontong yang tak jauh rumahku.

Tanpa kekhawatiran, aku memang telah memercayainya sepenuh hati. Itu karena aku memahami keadaannya berdasarkan pengalamanku sendiri, bahwa betapa menyeramkannya hidup di dalam hubungan yang toksik. Pasalnya, dahulu, aku pun pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang posesif dan suka berlaku kasar. 

Kisah kelamku berawal pada satu malam, enam bulan yang lalu, di sebuah kafe. Seusai aku merampungkan urusan kerja akuntanku pada laptop, seorang lelaki yang duduk di meja depanku, tiba-tiba beralih ke kursi depanku, kemudian mengajakku berkenalan. Aku pun meresponsnya. Dan setelahnya, karena pembawaannya asyik, kami lalu mengobrol panjang, hingga ia mengaku sebagai pengacara dari kota seberang dan sedang ada pekara di kotaku. 

Setelah aku mengungkapkan kehendakku untuk pergi, dengan sikap perhatian, ia pun menanggung perongkosanku. Ia bahkan sedia menemaniku pulang dengan taksi daring sewaannya. Karena itu, aku jadi sangat terkesan. Maka sebelum aku sampai di rumahku dan ia melanjutkan perjalanan ke tempatnya menginap, kami pun bertukar nomor kontak.

Setelah momen pertemuan dan perkenalan itu, kami pun terus menjaga komunikasi lewat ponsel. Kalau ia mengaku sedang berada di kotaku di tengah mobilitasnya, dan kami sama-sama punya waktu lowong, kami akan bertemu di kafe atau restoran untuk mengobrolkan apa saja. Bahkan sesekali, kami jalan-jalan di mal dengan kesediannya untuk membayarkan belanjaanku.

Pada waktu kemudian, atas keakraban kami yang makin lekat, kami makin saling percaya. Kami jadi tak hitung-hitungan lagi, seolah-olah milikku adalah miliknya juga. Begitu pun sebaliknya. Karena itu, ia kerap membalanjaiku, dan aku juga sering membelanjainya, terutama kalau ia mengaku belum mendapatkan honornya dalam pengurusan sebuah kasus, sedang uang pegangannya terkuras setelah ia kirimkan untuk kebutuhan adik dan ibunya.

Dengan hubungan yang lekat, kami seolah telah menjadi sepasang kekasih, meski tanpa kata perikatan yang tegas. Kami mulai merasa punya hak terhadap satu sama lain. Ia pun jadi sering bertandang dan nongkrong di rumahku untuk beragam persoalan. Dan pada tahap itulah, aku mulai membaca sifatnya yang pencemburu dan temperamental. Buktinya, ia pernah menghardikku dan menghajarku hanya karena aku melakukan obrolan video dengan teman kantorku untuk urusan pekerjaan, atau juga karena aku pulang dengan pengantaran teman kantorku yang lain. 

Namun setiap kali setelah ia menyakitiku dan membuatku menangis, ia akan bersimpuh di hadapanku dan meminta maaf. Dan selalu saja, aku akan bersedia memaafkannya dan mempertahankan hubungan kami. Aku merasa tak kuasa mencampakkannya, sebab ia pasti akan membuatku khawatir dengan mengancam akan melukai dirinnya sendiri. Ia bahkan pernah mengiris telapak tangannya di hadapanku sebagai bukti penyesalannya karena telah menamparku. 

Tetapi untuk satu kejadian, tiga bulan yang lalu, aku mengambil keputusan yang tegas untuk tidak memedulikannya lagi. Pada satu malam, ia datang ke rumahku dalam keadaan mabuk. Pada malam itu juga, ia membujukku untuk melakukan hubungan badan. Aku sontak menolak. 

Seketika pula, emosinya melonjak. Ia pun menamparku, lalu menindihku, kemudian mencoba memerkosaku. Dengan sekuat tenaga, aku memberontak keras. Akhirnya, ia meninju hidungku, hingga berdarah. Tetapi di tengah ketidakberdayaan, aku sempat juga menggapai vas bunga di meja, di sisi sampingku, dan menghantamkannya ke pelipisnya. hingga ia rebah lunglai.

Aku kemudian bergegas keluar rumah dan meminta pertolongan kepada tetanggaku. Beberapa orang kemudian meringkusnya dan membawanya ke rumah ketua RT. Dan lagi-lagi, di sana, aku memilih untuk tidak memerkarakannya. Selain karena aku khawatir kalau-kalau ia makin kesetanan dan menyimpan dendam terhadapku, juga karena aku tak ingin merepotkan diriku dengan persoalan hukum, apalagi melawan dirinya yang mengaku seorang pengacara. 

Akhirnya, yang kuminta hanyalah kesediannya untuk menandatangani surat perjanjian bahwa ia tidak akan lagi mengganguku, apalagi datang ke rumahku. Kalau ia melanggar, maka perkara penganiayaan dan percobaan pemerkosaannya terhadap diriku, akan dilimpahkan ke jalur hukum. Beruntung, ia menyanggupi, hingga aku tak pernah lagi melihatnya, sampai saat ini.

Setelah kejadian menakutkan itu, aku lalu mencari informasi tentang dirinya di intenet. Aku melakukan penelusuran dengan kata kunci namanya, sebagaimana yang tercantum pada kartu nama advokatnya. Tetapi sayang, aku tak menemukan artikel ataupun akun media sosial yang menampilkan wajahnya atau identitas dirinya sesuai dengan apa yang ia sampaikan kepadaku. 

Karena penasaran, aku lantas menelusuri situs web sebuah kantor hukum yang ia akui sebagai tempatnya berkerja. Aku pun menemukan nama yang sama dengan nama yang ia sebutkan sebagai namanya, tetapi dengan foto sertaan yang bukankah foto wajahnya. Aku kemudian mengirimkan pertanyaan beserta foto wajahnya ke alamat email kantor itu, dan aku mendapatkan balasan bahwa pihak kantor tidak pernah memperkerjakan lelaki dengan wajah yang serupa dengan lelaki tersebut. 

Akhirnya, aku sadar telah terjebak dalam hubungan toksik yang penuh dusta. 

Hari demi hari, aku terus berupaya untuk kembali hidup tenang. Aku ingin terlepas dari bayangan kelam masa laluku yang membuatku belum sanggup membuka hatiku untuk lelaki yang lain. Karena itulah, di tengah kesendirianku, setiap kali cuti atau libur kantor, aku hanya akan pulang ke kampungku untuk membersamai ibuku yang cuma tinggal sendiri. 

Tetapi kini, dengan begitu saja, aku kedatangan seorang teman baru yang senasib denganku dalam persoalan cinta. Aku pun berharap ia mampu mengatasi rasa traumanya atas hubungan spesialnya yang menyeramkan. 

Dan saat ini, setelah membeli nasi kotak, minuman, serta camilan, aku kembali berada di rumahku. Dengan sikap ramah, aku lalu menghidangkan sajian itu di atas meja, dan kami pun menyantapnya bersama-sama.

Setelah bersantap, aku lalu menyelisikinya soal kisah asmaranya yang buruk itu. Perlahan-lahan, atas penuturannya, aku pun merasa seolah menyusuri kembali kisah asmaraku sendiri. Apalagi, ia juga mengakhiri hubungan toksiknya tersebut setelah kekasihnya mencoba memerkosanya. 

"Ternyata, kita senasib. Cerita kita serupa," timpalku, setelah mendengar ceritanya yang memilukan. 

Ia pun mengangguk-angguk. "Aku tahu."

Seketika, aku merasa aneh, sebab aku belum mengungkapkan apa-apa perihal kisahku. "Maksudmu?" sidikku.

Ia lalu membuka sebuah dompet dan mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalamnya. Ia lantas memperlihatkanku satu foto yang merupakan fotoku di profil akun Instagram-ku. Ia kemudian membalik foto itu dan menampakkan tulisan alamat lengkap rumahku, juga tulisan data waktu saat kami berkenalan dan saat kami berpisah. "Kita adalah korban dari lelaki yang sama. Ini dompet lelaki bajingan itu," terangnya, lantas menyodorkan lembaran-lembaran foto yang lain. "Selain kita, kuyakin, perempuan-perempuan di foto itu, juga telah menjadi korbannya. Kukira, ia adalah predator seksual yang mencari korbannya secara acak di media sosial."

Aku sontak terenyuh. "Jadi, karena petunjuk fotoku ini, kau akhirnya sampai di rumahku?"

Ia pun mengangguk. "Kurasa, aku akan aman di sini. Kukira, pasti sudah ada perkara besar yang membuat ia pergi darimu dan menjadikan aku sebagai target barunya, Karena itu, kupikir, ia tak akan ke sini lagi. Ya, kalau pun ia ke sini, kita bisa menghadapinya bersama-sama."

Akhirnya, aku jadi paham perihal alur kedatangannya.

"Kupikir, kita harus menemui semua perempuan yang telah menjadi korbannya ini. Kita mesti mengambil tindakan bersama-sama untuk memperkarakannya di jalur hukum, sebelum ada korban lagi," sarannya. 

Aku mengangguk saja.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar