Aku
beruntung menjadi seorang satpam di sebuah perusahaan besar. Sebuah perusahaan
milik negara. Kerjaanku tak perlu tenaga yang berlebih, seperti kala bekerja di
kebun dahulu. Yang dibutuhkan hanyalah kesabaran dan keberanian. Sabar dari
rutinitas pekerjaaan yang itu-itu saja, dan berani menghadapi para penjahat
yang nekat berulah kapan saja.
Setiap
pagi, aku harus siaga di pos gerbang perusahaan dengan setelan yang rapi.
Berjaga sambil bersiap-siap menyibak pintu pagar, menyambut kala bosku datang. Siap
menghambakan diri. Setidaknya membungkuk setengah badan, tersenyum, memberi
hormat, serta mengucapkan salam padanya. Sekadar begitu yang kukerjakan setiap
hari, dan aku diganjar dengan gaji yang memuaskan.
Seperti
lazimnya, kala tengah berjaga-jaga, seusai meneguk kopi hitam dan membaca koran
secara sepintas, aku akan melangkah beberapa jauh untuk memerhatikan kadaan di
sekitar lingkungan perusahaan. Siap siaga, kalau-kalau ada seseorang yang
meminta pertolongan. Juga mawas jika suatu waktu, ada gerak-gerik yang
mencurigakan.
Seketika,
perhatianku tertuju pada seseorang yang kuduga punya niat jahat. Dia tampak
urakan. Rambutnya gondrong, mengenakan kaos oblong dan celanan jins yang telah terpangkas selutut, juga tampak beberapa bekas luka di wajahnya. Beberapa kali sudah ia mengintip
melalui terali pagar dengan cara yang mencurigakan. Seakan-akan ada sesuatu yang ia cari.
Aku
jelas curiga dibuatnya. Kupastikan, ia tak ada kepentingan dengan perusahaan,
semisal hendak bertanya perihal lowongan pekerjaan. Penampilannya bobrok. Yang paling
mungkin, ia menyusun rencana jahat. Bisa jadi mencuri, merusak fasilitas
perusahaan, ataukah sekadar memata-matai untuk kepentingan yang tak halal.
“Hei,
apa yang kau lakukan? Jangan macam-macam kamu,” ujarku, setengah membentak.
Ia
menoleh padaku dengan raut wajah yang kalap. “Tidak Pak. Aku tak bermaksud macam-macam,”
tuturnya. Ia tampak ketakutan. “Begini Pak. Aku hendak menayakan sesuatu.”
“Tanya,
ya tanya saja. Jangan celangak-celinguk ke sana-sini seperti maling,” kesalku.
“Kau mau tanya apa?”
“Begini
Pak, aku dari kampung. Kebetulan, aku dapat berkas dan dompet yang tercecer di
tempat wisata kampungku. Kata orang-orang yang aku tanya, alamat pemiliknya di
sini,” tuturnya. Ia mulai terlihat tenang. “Sebenarnya, aku ingin menitipnya
pada seseorang. Tapi aku takut jika tak sampai pada pemiliknya.”
Emosiku
seketika merendah, kemudian menerima sodoran berkas berisi dokumen perusahaan
dan dompet yang berisi sejumlah uang serta kartu-kartu penting. Itu adalah
milik bosku yang hilang beberapa bulan lalu.
Sekarang,
aku benar-benar menyesal telah berlaku kasar padanya. “Ya, benar. Alamatnya
memang di sini. Terima kasih. Biar aku yang sampaikan kepada pemiliknya.”
“Sama-sama,
Pak,” tuturnya, lalu beranjak pergi.
Dan,
tiba-tiba, rasa iba menyerangku. Aku jadi tak kuasa membiarkannya berlalu
begitu saja. Apalagi kuduga, kedatangannya ke kota hanya untuk mengembalikan
berkas dan dompet itu. Aku pun berbalik, dan hendak menghampirinya lagi. Aku
ingin memberikan sejumlah uang padanya, untuk biaya transportasi. Tapi terlambat.
Ia telah pergi. Lenyap dari pandanganku.
Dengan
begitu menyesal, aku pun melangkah ke posku.
“Bos
kok tak datang hari ini?” tanyaku pada seorang rekan kerja.
“Kau
tak dengar atau belum baca kabarnya?” Ia balik bertanya.
“Apa
bos sakit?” tanyaku lagi.
“Aduh,
dasar kudet. Makanya jangan nonton
sinetron terus. Atau kalau baca koran, jangan cuma lihat gambarnya,” ledeknya.
“Jadi kau benar-benar belum tahu?”
Aku
menggeleng.
“Kemarin
malam, bos ditangkap polisi. Kabarnya sih, si bos mencuri dan menggelapkan uang
perusahaan tempat kita bekerja ini. Ya, kalau bahasa kekiniannya sih, korupsi
dan money laundering,” jelasnya.
Aku
benar-benar tersentak. Tak kuduga, bosku yang selama ini berwibawa dengan
penampilannya yang bermartabat, termasuk golongan orang bejat. Penghancur
bangsa dan negara. Sungguh tak kuduga.
Seketika
juga, aku terilhami sebuah pelajaran berharga dari perilaku lelaki yang tampak
urakan, dan bosku yang berdasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar