Sabian tertunduk lesu dalam selnya. Ia tidak sedang dipidana
dan meratapi dosa-dosa atas laku jahat. Jiwanyalah yang terpenjara. Terpasung
rahasianya sendiri. Hanya menghabiskan waktu dalam menungan tak jelas. Kadang
senang, kemudian tiba-tiba berlaku kasar. Karena laku anehnya itu, ia dicap
gila.
Di
luar sel, ayahnya selama ini, Pardi, tengah berbincang-bincang dengan Sunaryo, seorang psikiater
rumah sakit jiwa tempatnya menetap.
“Kondisi
anak Anda semakin parah. Kami butuh informasi yang sebenar-benarnya dari Bapak.
Jadi, jangan ada yang ditutup-tutupi. Semua itu untuk mencari sebab dan cara
penanganan jiwanya,” tutur Sunaryo.
Pardi
mengacak-acak rambutnya. Gusar. Tak habis pikir anaknya bisa terperangkap dalam
ketidakwarasan. “Aku kan sudah mengatakan semuanya, Pak. Aku tetap yakin,
kesedihan mendalam adalah penyebabnya. Ia tak terima kenyataan kalau istriku,
ibunya kandung sendiri, meninggal dunia. Apalagi sebab meninggalnya karena
bunuh diri.”
Sabian
menjerit dan berteriak lagi dari dalam selnya. Tak ada yang mengkhawatirkan.
Semua sudah tahu, tak berselang lama, ia akan tertawa, lalu tiba-tiba menangis.
Begitu terus berulang. Itu sudah sering terjadi. Apalagi ketika ia mengetahui psikiater
khusus untuknya, Sunaryo datang lagi.
Keanehan
lain pada Sabian yang mengundang tanda tanya, adalah kebiasaannya menulisi
dinding selnya dengan kalimat yang dinilai tak masuk akal. Tampak jelas
beberapa rangkaian kata: Aku pembunuh;
Dokter penjahat; Aku tidak gila. Seperti itulah caranya melampiaskan emosi.
“Apa
benar, tak ada masalah dalam keluarga Bapak yang akhirnya membuat jiwa Sabi
tertekan?” tanya Sunaryo lagi.
“Berapa
kali sudah aku bilang Pak, keluargaku hidup harmonis!” tegas Pardi. Terlihat
tak terima jika keluarganya dicap sebagai biang keladi kegilaan Sabian.
“Pertengkaran kecil-kecil, ya pastilah pernah terjadi. Tapi itu kan wajar saja
dalam rumah tangga, Pak.”
“Sekecil
apa pun itu, bagi anak, bisa menjadi beban besar bagi jiwanya,” sergah Sunaryo.
“Aku
juga paham, Pak. Makanya, kalau pun ada masalah rumah tangga yang perlu
diselesaikan, kami pasti bertengkar tanpa sepengetahuannya. Bapak juga kan
sering bertamu ke rumah semasa istriku masih ada. Tak ada masalah toh?” elak Pardi,
berusaha membela diri dan keluarganya. “Aku kira, Bapak sudah mengerti. Kita sudah
saling mengenal sejak lama, Pak. Teman sekolah lagi.”
“Ya,
aku mengerti. Aku khawatir saja, ada masalah keluarga yang membuatnya kalut.
Sepanjang kasus yang saya tangani, perilaku anak semacam itu, sering kali
disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam keluarga,” jelas Sunaryo.
Lagi-lagi,
Sabian memberontak. Ia terdengar mengentakkan kaki ke lantai dan memukul-mukul
dinding. Seperti ingin menyampaikan pesan yang tak kuasa ia ucapkan secara
lugas melalui kata-kata.
“Aku
sendiri tak mengerti, bagaimana bisa Sabi begitu membenci almarhum ibunya.
Padahal, aku yakin, istriku adalah sosok ibu yang bertanggung jawab. Aku tak pernah
sekali pun menyaksikan sekali pun tindakannya yang kira-kira melukai jiwa Sabi
begitu dalam,” terang Pardi.
“Syukurlah
kalau Bapak yakin, keharmonisan keluarga bukanlah penyebabnya,” tanggap Sunaryo
dengan senyum yang merekah sempurna. “Tapi yang pasti, Sabi punya masalah yang
ia pendam sendiri. Kita hanya tak tahu.”
“Aku
duga seperti itu. Semua yang ia katakan, tentang pembunuhan, aku tak pernah
percaya. Apalagi waktu ia menuduh Bapak selingkuh dengan istriku. Itu
benar-benar tuduhan tak masuk akal,” kata Pardi.
Sekali
lagi, Sunaryo merasa menang, sebab Pardi masih memercayai kata-katanya. Ia merasa
tenang karena Pardi membantah sendiri anggapan kalau dirinya adalah bagian dari
masalah, sebagaimana tuduhan Sabian selama ini.
Dan
sore hari pun tiba. Sunaryo dan Pardi mengakhiri obrolan.
“Nak,
aku pulang dulu,” tutur Pardi pada Sabian.
Seperti
biasa, Sabian dengan mimik yang datar akan melangkah ke arah Pardi, lalu memeluknya,
tanpa berkata apa-apa. Tak lupa sebelum pergi, Pardi memberikan spidol dan
pulpen padanya. Perkakas itulah yang
selalu diminta Sabian, dan akan digunakannya untuk menumpahkan isi hati di dinding
sel.
Tak
berselang lama, Sunaryo pun menghampiri pasiennya, Sabian, “Bagaimana kabarmu,
Nak?” tanya Sunaryo sambil tertawa, seperti sengaja meledek.
Mendengar
suara Sunaryo, ingatan Sabian melayang jauh di waktu silam, kala suara berat
itu, mendekap mesra ibunya diam-diam. Kenyataan yang tak pernah dipercaya Pardi
itu, tak akan pernah dilupakannya. Itulah yang membuat ia dendam pada Ibunya
dan Sunaryo, sampai tega meracuni mereka. Tapi, Sunaryo selamat dari maut.
Kebencian
dan dendam Sabian semakin membara, kala mengingat, di sela-sela perbincangan
mesra kedua anak manusia penghianat cinta itu dahulu, ia pernah mendengar Sunaryo
berucap pada ibunya: Apa kau yakin, Sabi
adalah hasil hubunganmu dengan Pardi? Pardi kan mandul!
Dengan
semua kecamuk batin dan pikirannya, Sabian mendekat kearah Sunaryo. Dan
diam-diam, tanpa aba-aba, Sabian melecutkan ludahnya tepat di wajah Sunaryo.
“Manusia setan!” Gertaknya dengan suara parau yang seperti berbisik. “Aku bukan
anakmu!”
Sunaryo
menanggapinya santai. Ia menyeka lelehan ludah di wajahnya, kemudian berlalu dengan
tawa kecilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar