Senin, 17 Oktober 2016

Coretan di Dinding


Sabian tertunduk lesu dalam selnya. Ia tidak sedang dipidana dan meratapi dosa-dosa atas laku jahat. Jiwanyalah yang terpenjara. Terpasung rahasianya sendiri. Hanya menghabiskan waktu dalam menungan tak jelas. Kadang senang, kemudian tiba-tiba berlaku kasar. Karena laku anehnya itu, ia dicap gila. 

Di luar sel, ayahnya selama ini, Pardi, tengah berbincang-bincang dengan Sunaryo, seorang psikiater rumah sakit jiwa tempatnya menetap.

“Kondisi anak Anda semakin parah. Kami butuh informasi yang sebenar-benarnya dari Bapak. Jadi, jangan ada yang ditutup-tutupi. Semua itu untuk mencari sebab dan cara penanganan jiwanya,” tutur Sunaryo.

Pardi mengacak-acak rambutnya. Gusar. Tak habis pikir anaknya bisa terperangkap dalam ketidakwarasan. “Aku kan sudah mengatakan semuanya, Pak. Aku tetap yakin, kesedihan mendalam adalah penyebabnya. Ia tak terima kenyataan kalau istriku, ibunya kandung sendiri, meninggal dunia. Apalagi sebab meninggalnya karena bunuh diri.”

Sabian menjerit dan berteriak lagi dari dalam selnya. Tak ada yang mengkhawatirkan. Semua sudah tahu, tak berselang lama, ia akan tertawa, lalu tiba-tiba menangis. Begitu terus berulang. Itu sudah sering terjadi. Apalagi ketika ia mengetahui psikiater khusus untuknya, Sunaryo datang lagi.

Keanehan lain pada Sabian yang mengundang tanda tanya, adalah kebiasaannya menulisi dinding selnya dengan kalimat yang dinilai tak masuk akal. Tampak jelas beberapa rangkaian kata: Aku pembunuh; Dokter penjahat; Aku tidak gila. Seperti itulah caranya melampiaskan emosi.

“Apa benar, tak ada masalah dalam keluarga Bapak yang akhirnya membuat jiwa Sabi tertekan?” tanya Sunaryo lagi.

“Berapa kali sudah aku bilang Pak, keluargaku hidup harmonis!” tegas Pardi. Terlihat tak terima jika keluarganya dicap sebagai biang keladi kegilaan Sabian. “Pertengkaran kecil-kecil, ya pastilah pernah terjadi. Tapi itu kan wajar saja dalam rumah tangga, Pak.”

“Sekecil apa pun itu, bagi anak, bisa menjadi beban besar bagi jiwanya,” sergah Sunaryo.

“Aku juga paham, Pak. Makanya, kalau pun ada masalah rumah tangga yang perlu diselesaikan, kami pasti bertengkar tanpa sepengetahuannya. Bapak juga kan sering bertamu ke rumah semasa istriku masih ada. Tak ada masalah toh?” elak Pardi, berusaha membela diri dan keluarganya. “Aku kira, Bapak sudah mengerti. Kita sudah saling mengenal sejak lama, Pak. Teman sekolah lagi.”

“Ya, aku mengerti. Aku khawatir saja, ada masalah keluarga yang membuatnya kalut. Sepanjang kasus yang saya tangani, perilaku anak semacam itu, sering kali disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam keluarga,” jelas Sunaryo.

Lagi-lagi, Sabian memberontak. Ia terdengar mengentakkan kaki ke lantai dan memukul-mukul dinding. Seperti ingin menyampaikan pesan yang tak kuasa ia ucapkan secara lugas melalui kata-kata.

“Aku sendiri tak mengerti, bagaimana bisa Sabi begitu membenci almarhum ibunya. Padahal, aku yakin, istriku adalah sosok ibu yang bertanggung jawab. Aku tak pernah sekali pun menyaksikan sekali pun tindakannya yang kira-kira melukai jiwa Sabi begitu dalam,” terang Pardi.

“Syukurlah kalau Bapak yakin, keharmonisan keluarga bukanlah penyebabnya,” tanggap Sunaryo dengan senyum yang merekah sempurna. “Tapi yang pasti, Sabi punya masalah yang ia pendam sendiri. Kita hanya tak tahu.”

“Aku duga seperti itu. Semua yang ia katakan, tentang pembunuhan, aku tak pernah percaya. Apalagi waktu ia menuduh Bapak selingkuh dengan istriku. Itu benar-benar tuduhan tak masuk akal,” kata Pardi.

Sekali lagi, Sunaryo merasa menang, sebab Pardi masih memercayai kata-katanya. Ia merasa tenang karena Pardi membantah sendiri anggapan kalau dirinya adalah bagian dari masalah, sebagaimana tuduhan Sabian selama ini.

Dan sore hari pun tiba. Sunaryo dan Pardi mengakhiri obrolan.

“Nak, aku pulang dulu,” tutur Pardi pada Sabian.

Seperti biasa, Sabian dengan mimik yang datar akan melangkah ke arah Pardi, lalu memeluknya, tanpa berkata apa-apa. Tak lupa sebelum pergi, Pardi memberikan spidol dan pulpen padanya. Perkakas itulah yang selalu diminta Sabian, dan akan digunakannya untuk menumpahkan isi hati di dinding sel.

Tak berselang lama, Sunaryo pun menghampiri pasiennya, Sabian, “Bagaimana kabarmu, Nak?” tanya Sunaryo sambil tertawa, seperti sengaja meledek.

Mendengar suara Sunaryo, ingatan Sabian melayang jauh di waktu silam, kala suara berat itu, mendekap mesra ibunya diam-diam. Kenyataan yang tak pernah dipercaya Pardi itu, tak akan pernah dilupakannya. Itulah yang membuat ia dendam pada Ibunya dan Sunaryo, sampai tega meracuni mereka. Tapi, Sunaryo selamat dari maut.

Kebencian dan dendam Sabian semakin membara, kala mengingat, di sela-sela perbincangan mesra kedua anak manusia penghianat cinta itu dahulu, ia pernah mendengar Sunaryo berucap pada ibunya: Apa kau yakin, Sabi adalah hasil hubunganmu dengan Pardi? Pardi kan mandul!

Dengan semua kecamuk batin dan pikirannya, Sabian mendekat kearah Sunaryo. Dan diam-diam, tanpa aba-aba, Sabian melecutkan ludahnya tepat di wajah Sunaryo. “Manusia setan!” Gertaknya dengan suara parau yang seperti berbisik. “Aku bukan anakmu!”

Sunaryo menanggapinya santai. Ia menyeka lelehan ludah di wajahnya, kemudian berlalu dengan tawa kecilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar