Senin, 31 Oktober 2016

Jessica dan Objektivitas Hakim

Pada hari Kamis, 20 Oktober 2016, drama kopi bersianida, berakhir sudah. Tepat di sidang ke-32, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dipimpin Kisworo, akhirnya memvonis Jessica bersalah. Ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas tindakan pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Putusan hakim itu, selaras dengan dakwaan penuntut umum.
 
Majelis hakim menilai Jessica, perempuan yang masih berusia 27 tahun, terbukti membunuh sahabatnya sendiri, Wayan Mirna Salihin, secara berencana. Ia diyakini membubuhkan sianida ke dalam secangkir es kopi Vietnam yang diteguk mirna, saat mereka temu kangen di Kafe Olivier. Motifnya diduga kuat karena Jessica memendam sakit setelah sahabatnya itu, menasihati ia agar meninggalkan pacarnya, Patrick, yang berperilaku bobrok.

Vonis bersalah terhadap Jessica, belakangan menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian menilai jessica harusnya dibebaskan karena lemahnya bukti-bukti. Beberapa alasannya adalah tidak dilakukannya otopsi yang akhirnya menimbulkan keraguan bahwa Mirna meninggal karena sianida, rekaman CCTV yang dinilai bukan barang bukti, serta tidak jelasnya motif pembunuhan yang dinilai penting sebagai penguat terpenuhinya unsur “sengaja” dalam Pasal 340 KUHP.

Di sisi lain, sebagian pihak menilai vonis terhadap Jessica sudah tepat. Fakta-fakta persidangan dianggap telah meyakinkan hakim dan memenuhi prayarat minimum alat bukti untuk menjatuhkan hukuman. Hal itu jelas terlihat dari amar putusan majelis hakim yang membenarkan bukti-bukti dalam dakwaan penuntut umum, terutama alat bukti keterangan ahli. Akhirnya, Otto Hasibuan, penasihat hukum Jessica, menyatakan penyesalannya kepada majelis hakim yang ia nilai tidak mempertimbangkan pembelaannya.

Pascavonis, pendapat masyarakat terkait proses persidangan, tak berarti apa-apa. Persidangan yang sarat dengan perdebatan keilmuan itu, telah menemukan kepastiannya di bawah ketukan palu sidang hakim. Semua pihak pun, mau tak mau, harus menerima. Akhirnya, muncul pertanyaan, sejauh mana objektivitas hakim dalam sebuah persidangan, terutama dalam mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang diajukan oleh penuntut umum dan penesehat hukum. Inilah yang akan penulis ulas, tanpa mau terjebak pada pilihan suka atau tidak suka atas vonis tersebut.

Kemerdekaan Hakim

Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bersifat merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Ini berarti, hakim independen dalam menjalankan tugasnya. Meski begitu, dinyatakan juga bahwa kemerdekaan hakim harus semata-mata untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ini berarti, seorang hakim bukan sekadar terompet aturan, tetapi pribadi ahli yang wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana ditegaskan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Jelas sudah bahwa hakim sebagai profesi pelaksana fungsi peradilan, wajib mendasarkan putusannya pada nilai-nilai keadilan. Menjadi pemutus akhir sebuah perkara, menuntut hakim untuk menjadi penengah yang adil di antara kepentingan semua pihak, baik korban, pelaku, maupun masyarakat secara umum. Semua fakta-fakta hukum yang mencuat dalam persidangan, harus dipertimbangkan oleh hakim, baik yang disodorkan oleh penuntut umum, maupun penasihat hukum.

Dalam memutus sebuah perkara, hakim pun tak boleh sewenang-wenang, tetapi harus berpatokan pada sistem pembuktian yang ada. Pada perkara pidana, Pasal 183 KUHAP jelas menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa. Hal itu sejalan dengan Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ini berarti bahwa, terpenuhinya dua alat bukti yang sah belum cukup untuk memvonis seseorang bersalah, tetapi hakim berdasarkan rasio dan rasanya, harus meyakini adanya keterhubungan antara alat bukti dan peristiwa pidana yang ada.

Pada kasus Jessica, hakim menilai barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum, telah mencukupi untuk terpenuhinya minimum alat bukti yang sah, serta telah meyakinkan. Pada dua hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimana jika terpenuhinya alat bukti menurut hakim, hanya merujuk pada bukti dan argumentasi penuntut umum, lalu mengesampingkan pembelaan penasihat hukum? Pertanyaannya yang lebih pelik adalah, bagaimana mengukur bahwa alat bukti benar-benar telah meyakinkan hakim?

Bisa dipastikan, kecenderungan hakim, entah pada argumentasi pihak penuntut umum atau penasihat hukum, akan mengarahkan keyakinannya. Hakim yang tak jeli, ataukah menetapkan keberpihakannya sebelum bukti-bukti dari kedua belah pihak digelar secara tuntas, rentan menjatuhkan vonis yang tak adil. Ia bisa jadi, tanpa sadar, mengesampingkan fakta-fakta hukum yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan dalam persidangan. Untuk itu, hakim harus aktif dalam membentuk keyakinannya sendiri, yaitu menggali kesaksian dari semua pihak secara adil, tidak sekadar pasif untuk disuguhi argumentasi yang bisa saja dikarang-karang oleh pihak tertentu.

Objektivitas Hakim

Diterima atau tidak, hasil akhir dari sebuah persidangan, mungkin hanya cerminan dari pertimbangan hakim secara merdeka, kalau tidak mau dibilang subjektivitas hakim. Kemerdekaan hakim dalam memutus sebuah perkara berdasarkan kayakinannya, bak buah simalakama. Atas “kebebasan” hakim itu, putusan bisa saja sewenang-wenang, karena tak ada yang benar-benar tahu keyakinan hakim kecuali dirinya sendiri dan Tuhan. Tapi bisa juga menjadi sangat adil, karena hakim bisa keluar dari kungkungan formalitas dan aturan secara tekstual, sehingga leluasa menggali nilai-nilai keadilan. 

Mempertaruhkan keadilan pada rasa hakim, jelas kenyataan yang tak bisa dihindari. Hakimlah yang diserahi kekuasaan untuk memutus sebuah perkara dengan seadil-adilnya. Di palu hakimlah, tujuan hukum berupa kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, dipasrahkan. Selogis apa pun sebuah argumentasi hukum dipaparkan dalam sebuah persidangan, tak akan berarti apa-apa jika hakim menilainya tak valid ataukah tidak dapat menggugah keyakinannya. 

Bukti bahwa hakim tak bisa lepas dari pertimbangan pribadinya, dapat dilihat dari adanya beda pendapat (dissenting opinion) di antara hakim dalam memutus sebuah perkara. Atas kemerdekaannya, seorang hakim bisa tak sependapat dengan hakim yang lain. Putusan pun akhirnya diambil berdasarkan suara terbanyak dari anggota mejelis hakim. Dalam sistem peradilan Indonesia, beda pendapat antarhakim, jelas diakui, bahkan dijamin berdasarkan Pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Mengatasi potensi penyelewengan kemerdekaan hakim, maka ke depan, seyogianya hakim mendasarkan putusannya pada kebenaran intersubjektif. Kebenaran dan keadilan hukum seyogianya tidak menjadi monopoli hakim belaka, tetapi harus digali dari argumentasi rasional segenap pihak, sehingga semua merasa mendapatkan keadilan. Kepentingan masyarakat secara umum pun, tak boleh dikesampingkan. Di luar itu, para pihak harus tunduk dan berserah pada wewenang hakim untuk memutus (Widodo Dwi Putro, 2011: 254). Maka, untuk mendamaikan semua kepentingan yang ada, putusan hakim tidak boleh sekadar demi kepastian hukum, tetapi juga demi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Upaya lain yang juga penting dilakukan demi menjaga dan meningkatkan kualitas putusan hakim adalah menata dan mengoptimalkan kembali yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dapat digunakan hakim dalam memutus perkara. Ini penting untuk menghindari disparitas putusan untuk kasus serupa, yang malah menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat dengan istilah: keadilan tergantung hakimnya. Di samping itu, masyarakat harus dilibatkan dalam melakukan pengawasan terhadap proses peradilan. Masyarakat harus aktif mengadu ke pihak yang berwenang, jika mendapati penyelewengan atas “kemerdekaan” hakim. Tak kalah pentingnya, pendidikan untuk meningkatkan profesionalitas dan intergritas hakim, juga harus dilakukan. Hakim tidak boleh hanya tahu aturan untuk sekadar memvonis, namun menjadi tak progresif dan abai terhadap “roh” dari aturan itu sendiri (baca: keadilan dan kemanfaatan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar