Pada
hari Kamis, 20 Oktober 2016, drama kopi bersianida, berakhir sudah. Tepat di
sidang ke-32, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dipimpin
Kisworo, akhirnya memvonis Jessica bersalah. Ia dijatuhi hukuman 20 tahun
penjara atas tindakan pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340
KUHP. Putusan hakim itu, selaras dengan dakwaan penuntut umum.
Majelis
hakim menilai Jessica, perempuan yang masih berusia 27 tahun, terbukti membunuh
sahabatnya sendiri, Wayan Mirna Salihin, secara berencana. Ia diyakini membubuhkan
sianida ke dalam secangkir es kopi Vietnam yang diteguk mirna, saat mereka temu
kangen di Kafe Olivier. Motifnya diduga kuat karena Jessica memendam sakit setelah
sahabatnya itu, menasihati ia agar meninggalkan pacarnya, Patrick, yang berperilaku
bobrok.
Vonis
bersalah terhadap Jessica, belakangan menimbulkan pro-kontra di kalangan
masyarakat. Sebagian menilai jessica harusnya dibebaskan karena lemahnya
bukti-bukti. Beberapa alasannya adalah tidak dilakukannya otopsi yang akhirnya
menimbulkan keraguan bahwa Mirna meninggal karena sianida, rekaman CCTV yang
dinilai bukan barang bukti, serta tidak jelasnya motif pembunuhan yang dinilai
penting sebagai penguat terpenuhinya unsur “sengaja” dalam Pasal 340 KUHP.
Di
sisi lain, sebagian pihak menilai vonis terhadap Jessica sudah tepat. Fakta-fakta
persidangan dianggap telah meyakinkan hakim dan memenuhi prayarat minimum alat
bukti untuk menjatuhkan hukuman. Hal itu jelas terlihat dari amar putusan majelis
hakim yang membenarkan bukti-bukti dalam dakwaan penuntut umum, terutama alat
bukti keterangan ahli. Akhirnya, Otto Hasibuan, penasihat hukum Jessica,
menyatakan penyesalannya kepada majelis hakim yang ia nilai tidak
mempertimbangkan pembelaannya.
Pascavonis,
pendapat masyarakat terkait proses persidangan, tak berarti apa-apa. Persidangan
yang sarat dengan perdebatan keilmuan itu, telah menemukan kepastiannya di
bawah ketukan palu sidang hakim. Semua pihak pun, mau tak mau, harus menerima.
Akhirnya, muncul pertanyaan, sejauh mana objektivitas hakim dalam sebuah
persidangan, terutama dalam mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang
diajukan oleh penuntut umum dan penesehat hukum. Inilah yang akan penulis ulas,
tanpa mau terjebak pada pilihan suka atau tidak suka atas vonis tersebut.
Kemerdekaan Hakim
Pasal
24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bersifat merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan. Ini berarti, hakim independen dalam
menjalankan tugasnya. Meski begitu, dinyatakan juga bahwa kemerdekaan hakim harus
semata-mata untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ini berarti, seorang hakim
bukan sekadar terompet aturan, tetapi pribadi ahli yang wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, sebagaimana ditegaskan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jelas
sudah bahwa hakim sebagai profesi pelaksana fungsi peradilan, wajib mendasarkan
putusannya pada nilai-nilai keadilan. Menjadi pemutus akhir sebuah perkara,
menuntut hakim untuk menjadi penengah yang adil di antara kepentingan semua
pihak, baik korban, pelaku, maupun masyarakat secara umum. Semua fakta-fakta
hukum yang mencuat dalam persidangan, harus dipertimbangkan oleh hakim, baik
yang disodorkan oleh penuntut umum, maupun penasihat hukum.
Dalam
memutus sebuah perkara, hakim pun tak boleh sewenang-wenang, tetapi harus
berpatokan pada sistem pembuktian yang ada. Pada perkara pidana, Pasal 183
KUHAP jelas menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
kecuali atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh
keyakinan akan kesalahan terdakwa. Hal itu sejalan dengan Pasal 6 ayat (2) UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ini berarti bahwa, terpenuhinya
dua alat bukti yang sah belum cukup untuk memvonis seseorang bersalah, tetapi
hakim berdasarkan rasio dan rasanya, harus meyakini adanya keterhubungan antara
alat bukti dan peristiwa pidana yang ada.
Pada
kasus Jessica, hakim menilai barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum,
telah mencukupi untuk terpenuhinya minimum alat bukti yang sah, serta telah
meyakinkan. Pada dua hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, yaitu
bagaimana jika terpenuhinya alat bukti menurut hakim, hanya merujuk pada bukti
dan argumentasi penuntut umum, lalu mengesampingkan pembelaan penasihat hukum? Pertanyaannya
yang lebih pelik adalah, bagaimana mengukur bahwa alat bukti benar-benar telah
meyakinkan hakim?
Bisa
dipastikan, kecenderungan hakim, entah pada argumentasi pihak penuntut umum
atau penasihat hukum, akan mengarahkan keyakinannya. Hakim yang tak jeli,
ataukah menetapkan keberpihakannya sebelum bukti-bukti dari kedua belah pihak
digelar secara tuntas, rentan menjatuhkan vonis yang tak adil. Ia bisa jadi,
tanpa sadar, mengesampingkan fakta-fakta hukum yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan
dalam persidangan. Untuk itu, hakim harus aktif dalam membentuk keyakinannya sendiri,
yaitu menggali kesaksian dari semua pihak secara adil, tidak sekadar pasif untuk
disuguhi argumentasi yang bisa saja dikarang-karang oleh pihak tertentu.
Objektivitas Hakim
Diterima
atau tidak, hasil akhir dari sebuah persidangan, mungkin hanya cerminan dari pertimbangan
hakim secara merdeka, kalau tidak mau dibilang subjektivitas hakim. Kemerdekaan
hakim dalam memutus sebuah perkara berdasarkan kayakinannya, bak buah
simalakama. Atas “kebebasan” hakim itu, putusan bisa saja sewenang-wenang,
karena tak ada yang benar-benar tahu keyakinan hakim kecuali dirinya sendiri
dan Tuhan. Tapi bisa juga menjadi sangat adil, karena hakim bisa keluar dari
kungkungan formalitas dan aturan secara tekstual, sehingga leluasa menggali
nilai-nilai keadilan.
Mempertaruhkan
keadilan pada rasa hakim, jelas kenyataan yang tak bisa dihindari. Hakimlah
yang diserahi kekuasaan untuk memutus sebuah perkara dengan seadil-adilnya. Di
palu hakimlah, tujuan hukum berupa kepastian, keadilan, dan kemanfaatan,
dipasrahkan. Selogis apa pun sebuah argumentasi hukum dipaparkan dalam sebuah
persidangan, tak akan berarti apa-apa jika hakim menilainya tak valid ataukah
tidak dapat menggugah keyakinannya.
Bukti
bahwa hakim tak bisa lepas dari pertimbangan pribadinya, dapat dilihat dari
adanya beda pendapat (dissenting opinion)
di antara hakim dalam memutus sebuah perkara. Atas kemerdekaannya, seorang hakim
bisa tak sependapat dengan hakim yang lain. Putusan pun akhirnya diambil
berdasarkan suara terbanyak dari anggota mejelis hakim. Dalam sistem
peradilan Indonesia, beda pendapat antarhakim, jelas diakui, bahkan dijamin
berdasarkan Pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Mengatasi
potensi penyelewengan kemerdekaan hakim, maka ke depan, seyogianya hakim mendasarkan
putusannya pada kebenaran intersubjektif. Kebenaran dan keadilan hukum
seyogianya tidak menjadi monopoli hakim belaka, tetapi harus digali dari argumentasi
rasional segenap pihak, sehingga semua merasa mendapatkan keadilan. Kepentingan
masyarakat secara umum pun, tak boleh dikesampingkan. Di luar itu, para pihak harus
tunduk dan berserah pada wewenang hakim untuk memutus (Widodo Dwi Putro, 2011:
254). Maka, untuk mendamaikan semua kepentingan yang ada, putusan hakim tidak
boleh sekadar demi kepastian hukum, tetapi juga demi keadilan dan kemanfaatan
bagi masyarakat.
Upaya
lain yang juga penting dilakukan demi menjaga dan meningkatkan kualitas putusan
hakim adalah menata dan mengoptimalkan kembali yurisprudensi sebagai sumber
hukum yang dapat digunakan hakim dalam memutus perkara. Ini penting untuk
menghindari disparitas putusan untuk kasus serupa, yang malah menimbulkan rasa
ketidakadilan di tengah masyarakat dengan istilah: keadilan tergantung
hakimnya. Di samping itu, masyarakat harus dilibatkan dalam melakukan
pengawasan terhadap proses peradilan. Masyarakat harus aktif mengadu ke pihak
yang berwenang, jika mendapati penyelewengan atas “kemerdekaan” hakim. Tak
kalah pentingnya, pendidikan untuk meningkatkan profesionalitas dan intergritas
hakim, juga harus dilakukan. Hakim tidak boleh hanya tahu aturan untuk sekadar
memvonis, namun menjadi tak progresif dan abai terhadap “roh” dari aturan itu
sendiri (baca: keadilan dan kemanfaatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar