Sepanjang
waktu, aku tak akan menyesal pernah mengenalmu. Tak ada juga niatku menggugat
takdir, kenapa kita dipertemukan, namun tidak untuk hidup bersama. Kau tetaplah
teman terbaikku. Sangat dekat. Meski karena itulah, aku menjadi enggan
mengikatmu dalam tali cinta. Aku tak ingin karena egoku, kita malah berpisah,
tanpa hubungan apa-apa.
Beruntungnya
aku, bisa menahan perasaanku yang menggebu sampai kini. Jika saja kuutarakan dan
kau tahu isi hatiku, kita mungkin jadi saling segan, atau saling membenci.
Mungkin karena kita saling mendambakan tapi akhirnya keadaan memisahkan,
ataukah kau menyalahkan dirimu yang tak bisa membalas perasaanku. Bisa juga
bahwa, saling mengetahui tentang perasaan masing-masing, malah menghancurkan
pertemanan kita.
Kuingat
lagi lelucon kita suatu hari yang lalu, saat kita tengah berbaring memandang
langit senja, di bukit dekat rumahmu yang pemandangannya sangat menawan.
“Ah,
coba bayangkan jikalau ternyata kita berjodoh, akan jadi seperti apa keluarga
kita?” sentilmu.
“Yang
pasti, urusan rumah tangga tak akan beres, sebab kau akan sibuk menonton bola
daripada memasak. Ya, mungkin akan selalu ada pertengkaran setiap harilah,”
balasku, mengolokmu yang sama sekali tak menyiratkan sosok keibu-ibuan.
“Enak
saja. Belajar memasak kan mudah. Tinggal beli buku resep masakan. Palingan,
masalah rumah tangga kita terjadi karena kau begitu manja. Untuk buat pagar
atau pintu rumah saja, kau pasti tak bisa. Jadinya, rumah kita akan dimasuki
anjing liar dan maling kambuhan setiap waktu,” sanggahmu, lebih sadis. “Kalau
kau mau jadi sosok suami yang baik, belajarlah jadi lelaki yang sesungguhnya,
yang bisa membuat hunian keluarga yang nyaman. Seperti istana. Ya, aku sarankan
sih, kau kuliah saja di jurusan arsitektur, jadi arsitek.”
Aku
tertawa mendengar leluconmu. Menggemaskan. “Aku mau saja jadi arsitek, asalkan
kau juga kuliahnya di jurusan tata boga, jadi koki. Bagaimana?”
“Baiklah.
Tapi apakah mungkin suatu saat kita akan jadi pasangan suami-istri?” tanyamu,
lalu menoleh padaku.
“Tidak
mungkin!” Kita mengucapkan sanggahan itu hampir bersamaan.
Kita
akhirnya tertawa bersama lagi. Mencandai perihal yang sangat sensitif dan
serius. Seakan sama-sama yakin, bahwa di antara kita, tak akan ada hati yang
berharap itu jadi kenyataan. Padahal, diam-diam aku berdoa agar kita diikatkan
dalam tali cinta di waktu yang tepat.
Dan,
untuk sekarang dan selamanya, aku akan berlapang dada menerima kenyataan bahwa
kita tak mungkin bersama, selain sebagai teman biasa. Seseorang menikahimu,
sehingga kau tak sempat melanjutkan pendidikanmu ke bangku kuliah. Jelas, itu
adalah keberuntungan, sebab kau dinikahi seorang lelaki kaya raya, yang bisa
membangunkanmu rumah. Kau bisa memiliki istana, hanya dengan sejumlah bayaran.
Di
sisi lain, aku mengikuti alur takdir dengan membawa obsesi padamu. Kini aku
telah menjadi seorang arsitek dan berhasil membangun sebuah perusahan
pengembang. Semua itu untuk membantah ledekanmu dahulu. Kehidupanku jelas tak
mencemaskan. Meski begitu, aku selalu merasa gundah, sebab sebagai lelaki,
aku juga ingin mempersembahkan pencapaian besarku ini pada seorang wanita
pujaan. Tapi entah siapa.
Kini,
aku menyendiri di sebuah rumah yang kurancang sendiri. Aku menganggapnya
istana, sebab aku mendedikasikannya untukmu. Karena itulah, aku membangunnya
dengan kriteria yang dahulu kau idam-idaman: Cukup berlantai dua, tak perlu
terlalu besar, dengan taman yang luas, pepohonan rindang di sekitarnya, di
tempat yang sepi dari hiruk-pikuk perkotaan, dan berada di tepi bukit agar kita
bisa memandang puncak pepohonan rindang kala senja, seperti dahulu.
“Selamat
malam Pak Rendra, aku Ridwan. Kurasa kita sudah pernah bertemu. Anda datang di
pernikahanku dahulu,” tutur lelaki bersahaja yang datang seorang diri di
rumahku.
Jelas,
aku mengingat wajahnya. Dia adalah lelaki baik yang telah menikahimu. “Iya, aku
tak akan lupa, Pak. Ada apa ya?”
“Begini.
Bapak kan arsitek handal. Kebetulan, aku sekeluarga, hendak membangun
rumah. Lebih cepat, lebih baik. Ya, kriterianya hampir seperti rumah Bapak
inilah. Kebetulan, istriku suka model seperti ini,” tuturnya dengan penuh
sopan-santun. “Jadi, perusahaan Bapak bisa kan? Kebetulan, ini permintaan istriku
juga. Ia tahu betul keahlian Bapak. ”
Aku
begitu terkejut. Merasa beruntung, sebab tekadku untuk mempersembahkan istana
untukmu, menemukan jalan terang. “Sebenarnya, rumah ini hendak aku jual, Pak.
Aku tawarkan saja. Kalau Bapak menginginkannya, silahkan. Tapi kalau tidak, tak
mengapa aku rancang yang baru untuk Bapak.”
“Wah,
kebetulan sekali. Biar kutanya pendapat istriku dahulu,” katanya, antusias.
Aku
melayangkan senyuman dan mempersilahkannya untuk meneleponmu.
Tak
berselang lama, ia mengakhiri sambungan telepon, lalu menghampiriku dengan
wajah berseri-seri. “Istriku setuju untuk membeli rumah milik Bapak ini,”
tuturnya.
Aku
lalu tersenyum simpul kepadanya. "Dengan senang hati, Pak."
Ia
pun tampak semringah.
Akhirnya,
aku merasa tenang, sebab persembahan cintaku, telah sampai pada seseorang yang
kutuju. Tak salah lagi jika aku menyebut rumah ini sebagai istana, sebab kau
akan menjadi ratunya, meski aku bukanlah raja yang akan mendampingimu
Kini,
aku memahami satu hal, bahwa cinta dalam bentuk apa pun, selalu meniupkan
semangat agar kita menjadi lebih baik. Bisa kupastikan, aku bukanlah
siapa-siapa, jika aku tak pernah mencintaimu diam-diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar