Selasa, 25 Oktober 2016

Istana Tanpa Ratu

Sepanjang waktu, aku tak akan menyesal pernah mengenalmu. Tak ada juga niatku menggugat takdir, kenapa kita dipertemukan, namun tidak untuk hidup bersama. Kau tetaplah teman terbaikku. Sangat dekat. Meski karena itulah, aku menjadi enggan mengikatmu dalam tali cinta. Aku tak ingin karena egoku, kita malah berpisah, tanpa hubungan apa-apa.

Beruntungnya aku, bisa menahan perasaanku yang menggebu sampai kini. Jika saja kuutarakan dan kau tahu isi hatiku, kita mungkin jadi saling segan, atau saling membenci. Mungkin karena kita saling mendambakan tapi akhirnya keadaan memisahkan, ataukah kau menyalahkan dirimu yang tak bisa membalas perasaanku. Bisa juga bahwa, saling mengetahui tentang perasaan masing-masing, malah menghancurkan pertemanan kita. 

Kuingat lagi lelucon kita suatu hari yang lalu, saat kita tengah berbaring memandang langit senja, di bukit dekat rumahmu yang pemandangannya sangat menawan.

“Ah, coba bayangkan jikalau ternyata kita berjodoh, akan jadi seperti apa keluarga kita?” sentilmu.

“Yang pasti, urusan rumah tangga tak akan beres, sebab kau akan sibuk menonton bola daripada memasak. Ya, mungkin akan selalu ada pertengkaran setiap harilah,” balasku, mengolokmu yang sama sekali tak menyiratkan sosok keibu-ibuan. 

“Enak saja. Belajar memasak kan mudah. Tinggal beli buku resep masakan. Palingan, masalah rumah tangga kita terjadi karena kau begitu manja. Untuk buat pagar atau pintu rumah saja, kau pasti tak bisa. Jadinya, rumah kita akan dimasuki anjing liar dan maling kambuhan setiap waktu,” sanggahmu, lebih sadis. “Kalau kau mau jadi sosok suami yang baik, belajarlah jadi lelaki yang sesungguhnya, yang bisa membuat hunian keluarga yang nyaman. Seperti istana. Ya, aku sarankan sih, kau kuliah saja di jurusan arsitektur, jadi arsitek.”

Aku tertawa mendengar leluconmu. Menggemaskan. “Aku mau saja jadi arsitek, asalkan kau juga kuliahnya di jurusan tata boga, jadi koki. Bagaimana?”

“Baiklah. Tapi apakah mungkin suatu saat kita akan jadi pasangan suami-istri?” tanyamu, lalu menoleh padaku.

“Tidak mungkin!” Kita mengucapkan sanggahan itu hampir bersamaan.

Kita akhirnya tertawa bersama lagi. Mencandai perihal yang sangat sensitif dan serius. Seakan sama-sama yakin, bahwa di antara kita, tak akan ada hati yang berharap itu jadi kenyataan. Padahal, diam-diam aku berdoa agar kita diikatkan dalam tali cinta di waktu yang tepat. 

Dan, untuk sekarang dan selamanya, aku akan berlapang dada menerima kenyataan bahwa kita tak mungkin bersama, selain sebagai teman biasa. Seseorang menikahimu, sehingga kau tak sempat melanjutkan pendidikanmu ke bangku kuliah. Jelas, itu adalah keberuntungan, sebab kau dinikahi seorang lelaki kaya raya, yang bisa membangunkanmu rumah. Kau bisa memiliki istana, hanya dengan sejumlah bayaran.

Di sisi lain, aku mengikuti alur takdir dengan membawa obsesi padamu. Kini aku telah menjadi seorang arsitek dan berhasil membangun sebuah perusahan pengembang. Semua itu untuk membantah ledekanmu dahulu. Kehidupanku jelas tak mencemaskan. Meski begitu, aku selalu merasa gundah, sebab sebagai lelaki, aku juga ingin mempersembahkan pencapaian besarku ini pada seorang wanita pujaan. Tapi entah siapa.

Kini, aku menyendiri di sebuah rumah yang kurancang sendiri. Aku menganggapnya istana, sebab aku mendedikasikannya untukmu. Karena itulah, aku membangunnya dengan kriteria yang dahulu kau idam-idaman: Cukup berlantai dua, tak perlu terlalu besar, dengan taman yang luas, pepohonan rindang di sekitarnya, di tempat yang sepi dari hiruk-pikuk perkotaan, dan berada di tepi bukit agar kita bisa memandang puncak pepohonan rindang kala senja, seperti dahulu.

“Selamat malam Pak Rendra, aku Ridwan. Kurasa kita sudah pernah bertemu. Anda datang di pernikahanku dahulu,” tutur lelaki bersahaja yang datang seorang diri di rumahku.

Jelas, aku mengingat wajahnya. Dia adalah lelaki baik yang telah menikahimu. “Iya, aku tak akan lupa, Pak. Ada apa ya?”

“Begini. Bapak kan arsitek handal.  Kebetulan, aku sekeluarga, hendak membangun rumah. Lebih cepat, lebih baik. Ya, kriterianya hampir seperti rumah Bapak inilah. Kebetulan, istriku suka model seperti ini,” tuturnya dengan penuh sopan-santun. “Jadi, perusahaan Bapak bisa kan? Kebetulan, ini permintaan istriku juga. Ia tahu betul keahlian Bapak. ”

Aku begitu terkejut. Merasa beruntung, sebab tekadku untuk mempersembahkan istana untukmu, menemukan jalan terang. “Sebenarnya, rumah ini hendak aku jual, Pak. Aku tawarkan saja. Kalau Bapak menginginkannya, silahkan. Tapi kalau tidak, tak mengapa aku rancang yang baru untuk Bapak.”

“Wah, kebetulan sekali. Biar kutanya pendapat istriku dahulu,” katanya, antusias.

Aku melayangkan senyuman dan mempersilahkannya untuk meneleponmu.

Tak berselang lama, ia mengakhiri sambungan telepon, lalu menghampiriku dengan wajah berseri-seri. “Istriku setuju untuk membeli rumah milik Bapak ini,” tuturnya.

Aku lalu tersenyum simpul kepadanya. "Dengan senang hati, Pak."

Ia pun tampak semringah.

Akhirnya, aku merasa tenang, sebab persembahan cintaku, telah sampai pada seseorang yang kutuju. Tak salah lagi jika aku menyebut rumah ini sebagai istana, sebab kau akan menjadi ratunya, meski aku bukanlah raja yang akan mendampingimu

Kini, aku memahami satu hal, bahwa cinta dalam bentuk apa pun, selalu meniupkan semangat agar kita menjadi lebih baik. Bisa kupastikan, aku bukanlah siapa-siapa, jika aku tak pernah mencintaimu diam-diam. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar