Kamis, 30 November 2023

Pepaya-Pepaya Burung

"Kulihat, ada lagi pohon pepaya yang tumbuh di sudut kebun sana," sahut suamiku, sembari menunjuk ke arah selatan, di tengah langkahnya menghampiriku di rumah kebun kami.

"Baguslah kalau begitu,” tanggapku, lantas menenggak air putih untuk menghilangkan dahagaku selepas memungut buah pala yang berjatuhan.

"Sepertinya, tanah kita ini memang sangat cocok untuk pepaya. Bisa-bisanya pohon-pohon pepaya tumbuh begitu saja," timpal suamiku, kemudian duduk di sampingku.

"Itu karunia dari Tuhan, Pak. Mungkin Tuhan ingin kita berbuat baik dengan buah pepaya-pepaya itu," balasku, sekenanya. 

Ia mengangguk-angguk saja. 

Diam-diam, aku merasa bersyukur. 

Pohon-pohon pepaya memang telah tumbuh di lahan kebun kami. Pohon-pohon itu muncul di seluruh sisi kebun, meski kami tak pernah menanamnya. Kalau kupikir-pikir, itu barangkali terjadi setelah ada orang yang lewat di kebun kami sembari memakan buah pepaya. Orang tersebut lalu membuang bijinya di lahan kami, dan bertumbuh. Anakan-anakannya lantas menyebar setelah kami mengonsumsi buahnya dan membuang bijinya ke sembarang tempat.

Entah bagaimana jalan cerita yang sesungguhnya. Yang pasti, dengan misteri alam, pohon pepaya terus saja bermunculan di kebun kami dengan jenis buah yang tampak beragam. Ada buah dengan daging yang berwarna kuning, berwarna oranye, atau berwarna merah. Semua jenis itu memiliki cita rasa yang berbeda dengan kenikmatan masing-masing. Aku suka menyantap semuanya dan sangat merasakan manfaatnya untuk diriku, terutama untuk pencernaanku. 

Namun jika harus memilih, aku paling menyukai pepaya dengan daging yang berwarna mewah, sebagaimana buah sepohon pepaya yang tepat berada di depan rumah kebunku. Sepohon pepaya yang terhitung tua dan paling tinggi di antara pohon pepaya yang lain tersebut, terlihat masih menggantungkan banyak buah yang montok-montok di bagian lehernya. Tiga buahnya bahkan sudah tampak menguning dan menggoda untuk disantap. 

Tetapi aku memilih untuk tidak memanen buah masak itu dengan menggalahnya dan  menimangnya menggunakan karung atau sarung. Kubiarkan saja begitu, meski salah satu di antaranya telah digerayangi kawanan burung hingga bolong. Kurasa, tak ada salahnya berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Kupikir, barangkali Tuhan mengaruniai kami pohon-pohon pepaya agar kami pun berbagi dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. 

Aku memang tidak perhitungan kepada binatang-binatang soal peruntukan buah pepayaku. Buah pepaya yang masak bahkan kerap kubawa pulang untuk kujadikan pakan bagi ayam-ayamku. Selain karena peruntukan untuk konsumsiku sekeluarga memang sudah berlebih, dan para tetanggaku sudah tampak puas menyantapnya, juga karena kupikir tidaklah mubazir jikalau membagikannya kepada binatang. 

Pepaya di kebunku memang cukup banyak. Terhitung ada 6 pohon yang sudah berbuah banyak, 3 pohon yang baru belajar berbuah, serta 3 pohon yang belum berbuah. Karena itulah, aku mesti pandai merancang peruntukan agar buah-buah pepaya yang masak, tidak jatuh dan membusuk sia-sia, entah dengan membagikannya kepada para tetangga, atau dengan memberikannya kepada hewan-hewan. 

Sebab itu pula, agar tidak merepotkanku karena buahnya masak secara bersamaan dalam jumlah yang berlebihan, aku senantiasa mengolahnya dalam keadaan muda. Aku kerap memotong-motong daging mudanya pipih-pipih, lalu memasaknya sebagai sayur dengan campuran daun kelor dan kacang panjang. Aku juga sering memarutnya julur-julur, lantas memasaknya menjadi lauk-pauk dengan campuran santan dan ikan teri asin. 

Selain itu, suamiku senantiasa mengambil buah pepaya kami yang masak dan menjadikannya sebagai pakan untuk enam ekor burung miliknya. Ia suka buah-buah itu menjadi salah satu pakan peliharaannya di antara pakan-pakan yang lain, sebab ia berkeyakinan kalau buah pepaya cukup baik untuk kesehatan burung-burungnya, sebagaimana baiknya untuk kesehatan manusia. 

Kebiasaan suamiku memberikan buah pepaya kepada kawanan burungnya, kurasa cukup menguntungkan. Keadaan itu lumayan menekan pengeluaran uang belanja kami untuk sekadar membeli pakan burung. Uang hasil penghematan pun, bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Apalagi, aku memang merasa tidak ada gunanya mengandangkan burung dan mengongkosi pakannya. Bagiku, burung seharusnya bebas mencari makanan di alam. 

Aku memang tidak menyetujui kegemaran suamiku memelihara burung. Selain karena butuh pendanaan khusus, pemeliharaan burung juga menyita waktu yang semestinya digunakan untuk aktivitas yang produktif. Tetapi aku tak punya daya untuk menentangnya. Aku malah pernah kena marah karena mempersoalkannya. Sebab itu, aku membiarkannya saja. Aku hanya berharap semoga ia segera menyadari kalau burung-burung seharusnya bebas untuk terbang ke mana saja. 

Hingga akhirnya, kini, setelah menyantap sebelah bagian buah pepaya yang kupanen dari belakang rumah kebun, suamiku pun memandangi sepohon pepaya di depan kami. Ia lalu memperhatikan buahnya lamat-lamat dengan mata rabun jauhnya yang tanpa kacamata, kemudian berujar, "Sepertinya, satu buah pepaya itu telah bolong dipatuk burung-burung."

"Iya. Dari tadi aku melihatnya," balasku.

"Ah, sial. Kita seharusnya mengambilnya sebelum disantap burung-burung.” Ia lalu memakai kacamatanya, lantas menimpali, “Tetapi paling tidak, kita masih bisa menyelamatkan dua buahnya yang sudah menguning itu."

"Tidak usah kesal begitu, Pak. Toh, di rumah, Bapak juga sering memberikan buah pepaya kita untuk burung-burung peliharaan Bapak. Kenapa mesti pilih kasih?" tanggapku, menyindirnya. 

Sontak, ia mendengkus. Tampak tersinggung. 

Aku lantas menambahkan, "Apalagi, kupikir, kita memang seharusnya berbagi buah pepaya dengan burung-burung itu sebagai sesama makhluk hidup, juga sebagai tanda syukur kita atas karunia Tuhan yang kita dapatkan secara instan.” 

"Apa Ibu sudah tidak waras?” sergahnya. “Kalau mau berbagi, jangan juga berbagi dengan burung-burung itu. Jelas kalau binatang liar adalah hama yang malah bisa menghabiskan semua buah pepaya kita kalau kita biarkan begitu saja."

"Tidak akan begitu, Pak. Yang mungkin terjadi malah sebaliknya, sebab yang sebenarnya serakah adalah kita, manusia," tangkisku, lantas menyambung dengan singgungan atas terkaan kasarku perihal asal-usul pohon pepaya yang bertebaran di kebun kami, "Bahkan kukira, burung-burung itu lebih berhak atas buah-buah pepaya kita. Barangkali, burung-burung itulah yang telah membawa dan menjatuhkan biji-biji pepaya di kebun kita, hingga menyebar seperti sekarang."

"Ah, tidak mungkin," balasnya, tampak tidak terima. 

"Lalu, kalau bukan burung-burung, pelakunya siapa?” sergapku. “Kita jelas sudah sama-sama mengakui kalau sejak awal, kita memang tidak pernah menanam pepaya di kebun kita.”

Seolah kebingungan, ia manyun saja dan tak membalas.

Sejenak berselang, aku lalu menandaskan dengan pendapatku perihal hakikat penciptaan burung, "Kurasa, burung-burung memang diciptakan Tuhan untuk terbang bebas, Pak, dan mereka akan lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia jikalau begitu. Karena itu, ada baiknya kalau Bapak melepaskan saja burung-burung yang Bapak kurung di rumah."

Ia bungkam saja dengan raut cuek. 

Akhirnya, percakapan kami soal burung dan pepaya, selesai tanpa kata sepaham. Kami lantas pulang setelah lewat tengah hari dengan sama-sama tanpa kehendak untuk memanen dan membawa pulang dua buah pepaya yang telah menguning di samping satu buah pepaya yang telah dijamah burung-burung. 

Namun setelah sampai di rumah, selepas mandi dan menjemur handuk di teras depan, aku pun terkejut setelah melihat enam ekor burung miliknya yang sebagian merupakan hasil perburuannya sendiri, telah lenyap dari dalam sangkarnya masing-masing. 

Aku lantas bergegas menghampirinya di ruang dapur dengan rasa penasaran. "Burung-burung Bapak di mana?" 

"Sudah kulepaskan," jawabnya, dengan sikap santai.

"Kenapa?" sidikku.

"Bukankah itu lebih baik menurut Ibu?"

Aku terdiam saja dengan perasaan terheran.

Ia lantas berpaling menuju ke kamar mandi.

Perlahan-lahan, aku senang atas keinsafannya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar