Minggu, 02 Oktober 2016

Lakon Berulang

Suasana rumah itu, hening. Para penghuni yang berasal dari tiga generasi, tak mengobrol. Seperti sibuk dengan angan dan mimpi mereka masing-masing. Berkhayal. Mengecap pahit-manis kenangan di benaknya. Mengharapkan kehidupan yang lebih baik esok hari.
 
Supran, penghuni tertua, tampak terpukul melihat kondisi anaknya, Surti, yang belakangan suka menyendiri. Ia mencemaskan masa depan generasinya. Bukan hanya mengkhawatirkan kesehatan jiwa-raga anak semata wayangnya itu, tapi juga terhadap tumbuh-kembang cucunya, Satrio.

Kepergian suaminya tanpa pamit, menjadi penyebab Surti kehilangan semangat hidup. Bagaimana tidak, sosok yang ia harapkan menjadi pendamping hidup sepanjang waktu, mencampakkannya begitu saja. Padahal, bertahun-tahun telah mereka habiskan untuk memadu kasih, jauh sebelum mereka menikah. 

Sebenarnya, sedari awal, Supran telah memperingatkan sang anak untuk mencari pendamping hidup yang bertanggung jawab. Yang baik, pekerja keras, dan saleh. Tapi Surti seperti tak menghiraukannya. Sama seperti anak muda kekinian, lelaki idaman tak mesti dipatok dengan kriteria kuno. Yang penting, bisa diajak bersenang-senang.

Kebekuan hati Surti yang dimabuk cinta, tak sedikitpun terkikis dengan petuah ayahnya. Padahal, ayahnya jelas berpengalaman dalam persoalan membina rumah tangga. Ia adalah duda tua yang telah melalui suka-duka berumah tangga. Ia adalah seorang lelaki yang tahu betul bagaimana watak kaumnya dalam memperlakukan seorang perempuan. 

Karena keterpaksaan, Surti akhirnya menikah muda, empat tahun lalu. Buaian atas nama cinta, terlanjur membutakannya. Tapi kini, semua itu berbuah petaka. Hanya menyisakan kenangan yang memilukan. Ia ditinggal pergi sang suami yang tak terima kebebasannya dibatasi atas nama kepentinga keluarga. 

“Sudahlah Surti. Akan lebih baik jika kau merintis kembali usaha penjahitanmu. Kau harus berbuat sesuatu yang lebih baik, demi Satrio. Kau tak perlu mengharapkan dia untuk kembali. Kau tahu sendiri sekarang, kalau dia itu lelaki yang tidak baik,” nasihat Supran, sembari mengipa-ngipas cucunya yang tertidur pulas.

Surti yang tengah duduk menatap kosong ke luar jendela, tersinggung. Ia seperti tak terima dinasihati. “Begitu terus yang Bapak bilang dari dulu. Bapak kira aku tak punya pikiran?” tegasnya. “Asal Bapak tahu, sebagai seorang ibu, apa pun akan kulakukan demi Satrio. Tapi bagaimana pun, anak kecil seperti dia butuh sosok ayah, Pak.”

Supran bungkam. Ia baru sadar kalau ucapannya sensitif bagi Surti.

“Aku tahu, dia bukan sosok bertanggung jawab seperti Bapak. Tapi demi Satrio, aku akan tetap menjadi sosok ibu yang baik penuh kasih untuknya. Menjadi seperti almarhum Ibu yang merawatku di masa kecil dengan penuh kasih-sayang,” sambung Surti, kemudian menoleh pada potret besar di dinding rumah. Di sana terlihat dirinya semasih balita, diapit ayah dan ibunya.

“Syukurlah. Kau memang harus kuat seperti ibumu,” tutur Supran. Ia turut menatap sebingkai foto di dinding. Angannya pun melayang jauh ke masa lalu.

Di tangah jelajah kenangannya itu, Supran teringat pada suatu momen yang menorehkan perih di hatinya. Sekitar 40 tahun yang lalu, kala Surti masih berumur dua tahun, ia kehilangan sang isteri. Bukan karena meninggal, sebagaimana yang ia ceritakan pada Surti selama ini, tapi karena perpisahan tak resmi. Ya, ia ditinggal pergi sang istrinya tanpa pamit karena kebiasaannya berlaku kasar, bermalas-malasan, dan tak tahu agama. Ia jelas bukan sosok suami yang bertanggung jawab.

Kini, penyesalan mendera parasaan Supran. Ia merasa sangat bersalah telah mengecewakan dan melukai hati seorang wanita di masa lalu. Perpisahan Surti dengan sang suami pun, seperti kutukan baginya. Sebuah cerita yang berulang. Karma.

Sambil terus mengipas cucunya yang tertidur pulas, Supran berguman pada lelaki yang masih berumur empat tahun itu: Nak, kelak ketika kau besar, jadilah seorang suami yang bertanggung jawab, karena kelak, kau pasti dikaruniai keturunan perempuan.

Malam pun jadi semakin merindukan. Suara jangkrik dan binatang malam, menciptakan kesunyian yang mendalam.

“Kelak, Satrio akan merindukan sosok ayah. Aku takut ia bertanya. Entah aku harus menjawab apa,” tutur Surti yang berangan-angan, menerawang ke masa depan.

“Bilang saja kalau ayahnya sudah meninggal,” pungkas Supran.

Surti tak merespons. Tapi kelak, demi membalas sakit hatinya pada sang suami, menurutnya, itu adalah alasan yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar