Suasana
rumah itu, hening. Para penghuni yang berasal dari tiga generasi, tak
mengobrol. Seperti sibuk dengan angan dan mimpi mereka masing-masing.
Berkhayal. Mengecap pahit-manis kenangan di benaknya. Mengharapkan kehidupan yang lebih
baik esok hari.
Supran,
penghuni tertua, tampak terpukul melihat kondisi anaknya, Surti, yang belakangan
suka menyendiri. Ia mencemaskan masa depan generasinya. Bukan hanya
mengkhawatirkan kesehatan jiwa-raga anak semata wayangnya itu, tapi juga terhadap
tumbuh-kembang cucunya, Satrio.
Kepergian
suaminya tanpa pamit, menjadi penyebab Surti kehilangan semangat hidup.
Bagaimana tidak, sosok yang ia harapkan menjadi pendamping hidup sepanjang
waktu, mencampakkannya begitu saja. Padahal, bertahun-tahun telah mereka
habiskan untuk memadu kasih, jauh sebelum mereka menikah.
Sebenarnya,
sedari awal, Supran telah memperingatkan sang anak untuk mencari pendamping
hidup yang bertanggung jawab. Yang baik, pekerja keras, dan saleh. Tapi Surti
seperti tak menghiraukannya. Sama seperti anak muda kekinian, lelaki idaman tak
mesti dipatok dengan kriteria kuno. Yang penting, bisa diajak bersenang-senang.
Kebekuan
hati Surti yang dimabuk cinta, tak sedikitpun terkikis dengan petuah ayahnya.
Padahal, ayahnya jelas berpengalaman dalam persoalan membina rumah tangga. Ia
adalah duda tua yang telah melalui suka-duka berumah tangga. Ia adalah seorang
lelaki yang tahu betul bagaimana watak kaumnya dalam memperlakukan seorang
perempuan.
Karena
keterpaksaan, Surti akhirnya menikah muda, empat tahun lalu. Buaian atas nama
cinta, terlanjur membutakannya. Tapi kini, semua itu berbuah petaka. Hanya
menyisakan kenangan yang memilukan. Ia ditinggal pergi sang suami yang tak terima
kebebasannya dibatasi atas nama kepentinga keluarga.
“Sudahlah
Surti. Akan lebih baik jika kau merintis kembali usaha penjahitanmu. Kau harus
berbuat sesuatu yang lebih baik, demi Satrio. Kau tak perlu mengharapkan dia
untuk kembali. Kau tahu sendiri sekarang, kalau dia itu lelaki yang tidak baik,”
nasihat Supran, sembari mengipa-ngipas cucunya yang tertidur pulas.
Surti
yang tengah duduk menatap kosong ke luar jendela, tersinggung. Ia seperti tak
terima dinasihati. “Begitu terus yang Bapak bilang dari dulu. Bapak kira aku
tak punya pikiran?” tegasnya. “Asal Bapak tahu, sebagai seorang ibu, apa pun
akan kulakukan demi Satrio. Tapi bagaimana pun, anak kecil seperti dia
butuh sosok ayah, Pak.”
Supran
bungkam. Ia baru sadar kalau ucapannya sensitif bagi Surti.
“Aku
tahu, dia bukan sosok bertanggung jawab seperti Bapak. Tapi demi Satrio, aku
akan tetap menjadi sosok ibu yang baik penuh kasih untuknya. Menjadi seperti
almarhum Ibu yang merawatku di masa kecil dengan penuh kasih-sayang,” sambung
Surti, kemudian menoleh pada potret besar di dinding rumah. Di sana terlihat
dirinya semasih balita, diapit ayah dan ibunya.
“Syukurlah.
Kau memang harus kuat seperti ibumu,” tutur Supran. Ia turut menatap sebingkai
foto di dinding. Angannya pun melayang jauh ke masa lalu.
Di
tangah jelajah kenangannya itu, Supran teringat pada suatu momen yang
menorehkan perih di hatinya. Sekitar 40 tahun yang lalu, kala Surti masih
berumur dua tahun, ia kehilangan sang isteri. Bukan karena meninggal,
sebagaimana yang ia ceritakan pada Surti selama ini, tapi karena perpisahan tak
resmi. Ya, ia ditinggal pergi sang istrinya tanpa pamit karena kebiasaannya
berlaku kasar, bermalas-malasan, dan tak tahu agama. Ia jelas bukan sosok suami
yang bertanggung jawab.
Kini,
penyesalan mendera parasaan Supran. Ia merasa sangat bersalah telah
mengecewakan dan melukai hati seorang wanita di masa lalu. Perpisahan Surti
dengan sang suami pun, seperti kutukan baginya. Sebuah cerita yang berulang.
Karma.
Sambil
terus mengipas cucunya yang tertidur pulas, Supran berguman pada lelaki yang
masih berumur empat tahun itu: Nak, kelak
ketika kau besar, jadilah seorang suami yang bertanggung jawab, karena kelak,
kau pasti dikaruniai keturunan perempuan.
Malam pun jadi semakin merindukan. Suara
jangkrik dan binatang malam, menciptakan kesunyian yang mendalam.
“Kelak,
Satrio akan merindukan sosok ayah. Aku takut ia bertanya. Entah aku harus
menjawab apa,” tutur Surti yang berangan-angan, menerawang ke masa depan.
“Bilang
saja kalau ayahnya sudah meninggal,” pungkas Supran.
Surti
tak merespons. Tapi kelak, demi membalas sakit hatinya pada sang suami,
menurutnya, itu adalah alasan yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar