Cerita
ini tentang Lion, seorang lelaki yang bingung atas rasa kagumannya yang
mendalam pada seorang wanita, teman baiknya. Seorang lelaki yang menggantungkan
perasaannya sendiri, sebab takut pada kepastian. Takut jika perasaannya bertepuk sebelah tangan, dan
semuanya hancur-lebur, termasuk hubungan pertemanannya. Takut juga jika
perasaannya bersambut, dan ia malah bingung bagaimana cara yang pantas
memperlakukan perempuan secara spesial.
Akhirnya,
semua jadi serba salah. Hubungan yang sudah begitu dekat, jelas berisiko jika
dipaksakan sakral dengan sejumlah komitmen. Terlebih, cara mengubah status
hubungan itu, juga membingungkan. Seperti membiasakan sesuatu yang sudah biasa.
Begitulah resikonya jika jatuh cinta pada teman sendiri. Maka bisanya, ia hanya merangkai buaian dalam khayalnya sendiri. Sesekali jujur dalam perkataan yang
lalu dicapnya sebagai guyonan belaka. Sesekali memuji, tapi segera ditepisnya
dengan ungkapan, “aku bercanda saja”.
Sampai
suatu hari, di tengah perih tak tertahankan dalam upaya menggantungkan perasaan
sendiri, Lion pun bertekad untuk menyatakan perasaan kepada sang gadis pujaan.
Dan, atas nama pertemanan, ia pun meminta Ralin untuk membantunya mengonsepkan
langkah-langkah secara tepat.
Pertama-tama,
ia mempertanyakan tentang selera perempuan. “Tempat yang suasananya paling
disukai perempuan seperti apa sih? Apa harus yang mahal-mahal?”
Sejenak,
Ralin terlihat menerawang isi kepalanya. “Aku rasa, tidak juga. Asalkan
suasananya nyaman dan tenang, kukira perempuan pasti suka. Di taman, misalnya.”
Lion
menganggukkan saja saran itu. “Kalau simbol yang cocok untuk menyatakan
perasaan? Bunga, cokelat, atau apa?”
“Kupikir
sih, dalam soal itu, perempuan lebih suka pemberian yang awet. Ya, kalau cincin
kemahalan, setidaknya bukulah,” jawab Ralin.
Lagi-lagi,
Lion tak mempertanyakan saran tertutup itu. Menerima aja. “Kalau tentang sikap
seorang laki-laki dalam mengungkapkan perasaan, perempuan suka yang bagaimana?”
Ralin
merenung beberapa detik. “Ya, tidak perlu terlalu lebaylah. Tak perlu berlutut
segala macam. Cukup minta komitmen, semisal, ‘bersediakah kau menjalani hidup
yang penuh tantangan ini bersamaku, dalam janji yang suci, selamanya?’ Kurasa,
sesederhana itu sudah cukup,” tuturnya, sembari tersenyum manis.
Lion
balas tersenyum. “Tapi kok, saranmu aneh-aneh. Kau tak mengira kalau aku hendak
mengatakan perasaan padamu kan?”
Sontak,
raut wajah Ralin berubah jadi tak enak dipandang. Seperti mengisyaratkan kalau
ia sedikit pun tak ada harapan. “Ya, tidaklah. Yang ada, kau yang bawa perasaan.
Catat ya, saran ini jangan kau terapkan padaku. Tak akan mempan.”
Melihat
mimik Ralin, Lion jadi tak bisa menahan tawanya. “Maukah kau menjalani kisah
hidup bersamaku…?” ledeknya.
Seketika,
Ralin menyela. Bercerocos. “Dasar penggombal kacangan. Ekspresimu tak
meyakinkan. Bagaimana perempuanmu bisa yakin? Kau harus berlatih baik-baik,
kalau tidak mau nasibmu berakhir tragis.”
Dan
lagi, Lion mengulang kalimat topengnya selama ini. “Aku bercanda. Jangan ambil
hati,” pungkasnya, sambil tertawa pendek.
Waktu
pun terus bergulir. Hingga, datanglah hari yang ditetapkan Lion untuk
mengucapkan isi hatinya pada seorang gadis.
Setelah
merapikan pakaian dan dandanan sebaik mungkin, ia pun beranjak ke sebuah bangku
taman kampus. Saran Ralin untuk menjadikan buku sebagai simbol
perasaannya, juga akan dilakukannya. Ia memilih sebuah novel yang berkisah
tentang cinta sejati. Dan, tentu saja, agar tak kaku, ia terus mengulang-ulang
ejaan kalimat kejujuran hati yang juga disarankan Ralin: maukah kau menjalani kisah hidup yang penuh tantangan ini bersamaku,
selamanya?
Saat
menunggu waktu yang dijanjikan tiba, sebuah pesan singkat dari Ralin, masuk ke
telepon genggamnya: Maaf, mungkin aku tak
bisa membantumu hari ini. Aku ada urusan keluarga yang mendadak. Jelas
saja, semangat Lion menyusut drastis. Apalagi, di awal rencana, Ralin telah
menyanggupi sebuah tugas untuk merekam kejadian penting itu.
Tepat
jam empat sore. Waktu yang dijanjikan tiba. Tapi kemungkinan besar, sang gadis idaman tak
akan datang. Bahkan, menit berganti menit, perempuan yang dimaksudnya, tidak juga
terlihat. Harapannya yang meninggi di awal, kini mulai lenyap. Meredupkan
angan-angannya. Dan setelah sejam berlalu, tiba-tiba, Ralin muncul dan
menghampirinya.
“Kamu
kok? Aku kira kamu ada urusan keluarga?” tanya Dion.
“Tak
jadi. Aku kan bilang ‘mungkin’,” jawab Ralin dengan enteng. Ia lalu duduk tepat
di hadapan Lion. “Mana perempuan yang kau bilang. Atau dia menolak perasaanmu,
lalu pergi begitu saja? Atau sedari kemarin, kau sebenarnya hanya mengarang
cerita?”
Lion
memandangi Ralin. Dengan sikap yang sama, Ralin membalas. Mereka saling
memandang. Dan, entah mengapa, ada keanehan pada sikap mereka.
Segera,
dengan raut wajah yang tegas, Lion pun menuturkan sebuah kalimat sakral di
hadapan Ralin, “Bersediakah kau menjalani hidup yang penuh tantangan ini
bersamaku, dalam janji yang suci, selamanya?”
Wajah
Ralin berubah runyam. Tampak dipenuhi berjuta rasa yang masih sulit ditebak.
“Maksudmu?”
“Bersediakah
kau menjalani hidup yang penuh tantangan ini bersamaku, dalam janji yang suci,
selamanya?” Lion mengucapkannya lagi. Masih dengan mimik yang tegas.
Ralin
masih tampak ragu. “Aku?”
Dion
menguatkan perasaannya. “Ya. Yang aku maksud itu kamu.”
“Kenapa
kau tak bilang dari awal?” keluh Ralin dengan wajah yang menyiratkan keharuan.
“Jadi?”
Raut wajah Dion, penuh harap.
Tiba-tiba,
air mata Ralin menetes. “Ya. Asalkan kau tak mengakhirinya dengan kalimat ‘aku
sedang becanda’.
Dan,
hanya beberapa bulan setelahnya, mereka pun menikah. Terikat dalam bingkai kasih-sayang
sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar