Kamis, 06 Oktober 2016

Pelicin

Kerisauan melanda Komar. Padahal, pantaslah ia berbangga diri sebab putranya dinyatakan lulus di perguruan tinggi negeri. Ia kelimpungan setelah mengetahui jumlah biaya yang harus disetorkannya kepada pihak kampus setiap semester. Jumlahnya tidak sedikit. Ia menilai, terlalu sayang jika secuil hasil usahanya beralih ke kas kampus yang sering kali tak jelas penggunaannya.
 
Untung, ia tak kehabisan akal. Upaya terbaik pun ia lakukan agar sang anaknya mendapatkan beasiswa dari negara. Apalagi, semua persyaratan administrasi telah tersedia, kecuali SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Tapi mendapatkan “surat sakti” itu, dinilainya mudah saja. Sisa berhubungan dengan Kepala Desa. Sejumlah tetangganya telah berhasil melakukan itu.

Tanpa pikir panjang, Komar pun menghadap ke Kepala Desa, Karto. Ia datang tidak dengan tangan hampa. Meski tujuannya untuk meminta SKTM, ia mengerti persyaratan tak tertulis, bahwa harus ada semacam tanda terima kasih dalam pengurusan apa pun di birokrasi pemerintahan. Karena itulah, ia membawa tiga buah durian yang dibelinya, sebagai “pelicin” yang terkesan halus.

“Tujuan saya ke mari, untuk meminta bantuan Bapak. Anak saya mau kuliah. Tapi biayanya besar sekali Pak. Karena itulah, saya hendak membuat SKTM, sebagai persyaratan untuk mendapatkan beasiswa. Bisa kan Pak?” tanya Komar, lugas, tanpa segan-segan.

“Beasiswa apa yang hendak diupayakan anak Bapak? Apa menjamin untuk kebutuhan hidup dan biaya kuliahnya di kota nanti?” tanya Karto tak kalah seriusnya.

“Itu Pak, beasiswa anu. Ah, aku lupa namanya. Kayak yang didapat beberapa anak kampung sini yang kuliah di kampus negeri, Pak. Yang pasti, mencukupilah untuk semua kebutuhan kuliah. Kalau hemat-hemat, bisa-bisa dapat uang saku, Pak,” tutur Komar, polos, sambil nyengir.

“Wah, kalau untuk sekarang, proses untuk surat keterangan itu, tidak segampang dulu lagi. Datanya harus benar-benar valid dan terpercaya. Tujuannya supaya uang negara tidak salah sasaran, Pak,” jelas Karto. “Aku takut masuk bui karena persoalan begitu Pak. Aku tak berani. Untuk itulah, harus ada persetujuan dari kacamatan.”

“Apa aku tak bisa dianggap warga miskin, Pak?” tanya Komar dengan wajah yang berubah lesu.

“Masalahnya bukan itu Pak. Tapi sekarang prosesnya panjang. Ngurusnya harus sampai kecamatan. Butuh biaya Pak. Ya, sekitar satu jutaanlah,” tutur Karto. “Tak seberapalah dengan keuntungan yang Bapak dapat nantinya.”

Komar tersentak mendengar penuturan Karto. Bagaimana bisa, dirinya yang hendak mengurus SKTM, harus membayar sejumlah biaya pengurusan yang tergolong besar. Maka, dengan perasaan kecewa, ia pulang tanpa berharap apa-apa lagi. 

Di tengah perjalanan pulang mengendarai sepeda motor yang dibelinya seminggu lalu, ia pun singgah untuk bertanya pada seorang tetangganya, Makmur. 

“Aku baru dari kepala desa untuk urus SKTM, Pak. Tapi aku batalkan. Katanya, harus bayar sejuta. Padahal itu kan dibutuhkan untuk pengusulan beasiswa anak-anak. Bapak dulu bagaimana?” tanya Komar, penuh penasaran, sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

“Oh, dimintai uang sama Pak Desa? Kasi aja Pak. Itu sih tak seberapa dibanding untung yang didapat anak-anak dari beasiswa. Bahkan, surat itu juga, bisa digunakan untuk memperoleh pelayanan apa saja secara cuma-cuma. Bapak jangan terlalu kikir persoalan begitu,” nasihat Makmur.

Keesokan harinya, Komar menghadap kembali kepada Kepala Desa, Karto. Ia datang untuk memenuhi persyaratan yang diminta sang kepala desa. Dan benar saja, dalam beberapa hari, SKTM telah jadi dibuat.

Berbekal surat itu, anak Komar pun mendaftarkan diri sebagai penerima beasiswa yang diidam-idamkan anak-anak kalangan menengah ke bawah, dari seluruh penjuru negeri. Dan, berhasil. Ia ditetapkan sebagai penerima.

Kini, keinginan Komar agar semua biaya perkuliahan anaknya tertutupi dengan beasiswa, ternyata terwujud. Tak ada lagi beban tentang biaya pendidikan. Bahkan, sejumlah biaya pelayanan kesehatan dan kesejahteraan mayarakat, tak ditanggungnya berkat “surat sakti” itu. Maka dengan entengnya, ia memugar rumahnya dan menghiasinya dengan sejumlah barang-barang mewah. Sebuah sepeda motor baru juga tampak terparkir di depan rumahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar