Kerisauan
melanda Komar. Padahal, pantaslah ia berbangga diri sebab putranya dinyatakan
lulus di perguruan tinggi negeri. Ia kelimpungan setelah mengetahui jumlah
biaya yang harus disetorkannya kepada pihak kampus setiap semester. Jumlahnya
tidak sedikit. Ia menilai, terlalu sayang jika secuil hasil usahanya beralih ke
kas kampus yang sering kali tak jelas penggunaannya.
Untung,
ia tak kehabisan akal. Upaya terbaik pun ia lakukan agar sang anaknya
mendapatkan beasiswa dari negara. Apalagi, semua persyaratan administrasi telah
tersedia, kecuali SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Tapi mendapatkan “surat
sakti” itu, dinilainya mudah saja. Sisa berhubungan dengan Kepala Desa.
Sejumlah tetangganya telah berhasil melakukan itu.
Tanpa
pikir panjang, Komar pun menghadap ke Kepala Desa, Karto. Ia datang tidak
dengan tangan hampa. Meski tujuannya untuk meminta SKTM, ia mengerti
persyaratan tak tertulis, bahwa harus ada semacam tanda terima kasih dalam
pengurusan apa pun di birokrasi pemerintahan. Karena itulah, ia membawa tiga buah
durian yang dibelinya, sebagai “pelicin” yang terkesan halus.
“Tujuan
saya ke mari, untuk meminta bantuan Bapak. Anak saya mau kuliah. Tapi biayanya
besar sekali Pak. Karena itulah, saya hendak membuat SKTM, sebagai persyaratan
untuk mendapatkan beasiswa. Bisa kan Pak?” tanya Komar, lugas, tanpa
segan-segan.
“Beasiswa
apa yang hendak diupayakan anak Bapak? Apa menjamin untuk kebutuhan hidup dan
biaya kuliahnya di kota nanti?” tanya Karto tak kalah seriusnya.
“Itu
Pak, beasiswa anu. Ah, aku lupa namanya. Kayak yang didapat beberapa anak
kampung sini yang kuliah di kampus negeri, Pak. Yang pasti, mencukupilah untuk
semua kebutuhan kuliah. Kalau hemat-hemat, bisa-bisa dapat uang saku, Pak,”
tutur Komar, polos, sambil nyengir.
“Wah,
kalau untuk sekarang, proses untuk surat keterangan itu, tidak segampang dulu
lagi. Datanya harus benar-benar valid dan terpercaya. Tujuannya supaya uang
negara tidak salah sasaran, Pak,” jelas Karto. “Aku takut masuk bui karena persoalan
begitu Pak. Aku tak berani. Untuk itulah, harus ada persetujuan dari
kacamatan.”
“Apa
aku tak bisa dianggap warga miskin, Pak?” tanya Komar dengan wajah yang berubah
lesu.
“Masalahnya
bukan itu Pak. Tapi sekarang prosesnya panjang. Ngurusnya harus sampai kecamatan. Butuh biaya Pak. Ya, sekitar satu
jutaanlah,” tutur Karto. “Tak seberapalah dengan keuntungan yang Bapak dapat
nantinya.”
Komar
tersentak mendengar penuturan Karto. Bagaimana bisa, dirinya yang hendak
mengurus SKTM, harus membayar sejumlah biaya pengurusan yang tergolong besar.
Maka, dengan perasaan kecewa, ia pulang tanpa berharap apa-apa lagi.
Di
tengah perjalanan pulang mengendarai sepeda motor yang dibelinya seminggu lalu,
ia pun singgah untuk bertanya pada seorang tetangganya, Makmur.
“Aku
baru dari kepala desa untuk urus SKTM, Pak. Tapi aku batalkan. Katanya, harus
bayar sejuta. Padahal itu kan dibutuhkan untuk pengusulan beasiswa anak-anak. Bapak
dulu bagaimana?” tanya Komar, penuh penasaran, sambil mengembuskan asap rokok
dari mulutnya.
“Oh,
dimintai uang sama Pak Desa? Kasi aja Pak. Itu sih tak seberapa dibanding
untung yang didapat anak-anak dari beasiswa. Bahkan, surat itu juga, bisa
digunakan untuk memperoleh pelayanan apa saja secara cuma-cuma. Bapak jangan
terlalu kikir persoalan begitu,” nasihat Makmur.
Keesokan
harinya, Komar menghadap kembali kepada Kepala Desa, Karto. Ia datang untuk memenuhi persyaratan yang diminta sang kepala desa. Dan benar saja, dalam
beberapa hari, SKTM telah jadi dibuat.
Berbekal
surat itu, anak Komar pun mendaftarkan diri sebagai penerima beasiswa yang
diidam-idamkan anak-anak kalangan menengah ke bawah, dari seluruh penjuru
negeri. Dan, berhasil. Ia ditetapkan sebagai penerima.
Kini, keinginan Komar agar semua biaya perkuliahan anaknya tertutupi dengan beasiswa, ternyata terwujud. Tak ada lagi beban tentang biaya pendidikan. Bahkan, sejumlah biaya pelayanan kesehatan dan kesejahteraan mayarakat, tak ditanggungnya berkat “surat sakti” itu. Maka dengan entengnya, ia memugar rumahnya dan menghiasinya dengan sejumlah barang-barang mewah. Sebuah sepeda motor baru juga tampak terparkir di depan rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar