Sejak
kemarin sore, Alvin terlihat murung. Ia tak tampak ceria seperti hari-hari
biasanya. Bahkan semalam, ia melewatkan tayangan sinetron favoritnya. Sebuah sinetron
berepisode, dengan genre pergaulan remaja kekinian. Padahal, ia senantiasa menontonnya
bersama sang ibu di malam-malam sebelumnya.
Pagi
ini, kemurungannya berlanjut.
“Bu,
aku tak mau masuk sekolah hari ini!” tegas Alvin. Wajahnya cemberut. Kesal.
“Eh,
kamu sakit?” tanya sang ibu dengan tutur kata mendayu, sambil menyerahkan
seragam pramuka pada anaknya.
“Tidak,
Bu. Tapi…” Alvin berpikir beberapa detik, “Baju seragamku yang baru Ibu belikan
minggu lalu, hilang.”
“Oh,
yang baju putih itu? Kau tak perlu mencemaskannya, Nak,” tutur ibunya, sambil
tersenyum. Berusaha menenangkan buah hatinya. “Tapi ini kan hari Rabu. Bukan
waktunya kau pakai.”
“Ini
baru hari Selasa, Bu,” balas Alvin, setengah jengkel. Jelas, ia tak akan lupa
hari ini. Ada sebuah peristiwa penting yang hendak diperingatinya. “Ibu kok
jadi pikun sih.”
Sang
ibu melirikkan bola matanya ke arah kanan. Berupaya mengingat-ingat kronologi waktu.
“Ah, maaf, Ibu lupa, Nak. Sebentar Ibu ambilkan baju putih untukmu,” tuturnya,
lalu bergegas mengambil baju yang dimaksud.
Alvin malah jadi waswas.
Beberapa
detik berlalu. “Ini,” tutur ibunya, sembari menyodorkan baju seragam putih pada
sang anak.
Baju
itu jelas serupa dengan baju yang dikatanya hilang. Ada coretan pulpen hasil
ulahnya sendiri. “Ibu dapat dari mana?” tanyanya, penasaran.
Ibunya
tersenyum tenang, sambil mengusap sambut Alvin yang ditegak-tegakan seperti
gaya bintang sinetron idolanya. “Kemarin, sepulang dari kebun seberang, ibu
menemukannya tergantung di dahan pohon,
di pinggir sungai. Kau pasti lupa memasukkannya ke dalam tasmu selepas mandi.”
“Tapi…,”
Alvin seperti tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Ia terdiam sejenak, sambil
menelan-nelan ludahnya. “Apa cuma ini yang Ibu temukan? Tak ada seuatu yang
lain?”
“Memang,
ada yang lain apa?” tanya balik ibunya dengan lembut. “Ya, hanya ini yang Ibu
temukan.”
“Tak
ada apa-apa, Bu,” pungkas Alvin.
Setelah
itu, ia pun melangkahkan kaki menuju ke sekolah dengan setengah malas. Langkahnya
tampak ogah-ogahan, sebab kekalutan yang melandanya belum sirna betul. Ia masih
memikirkan sesuatu yang hilang. Sesuatu yang jelas disimpannya di saku baju
putihnya kemarin.
Di
teras rumah, sang ibu terus memandangi Alvin lekat-lekat. Ia mengkhawatirkan
putranya yang kini masih kanak-kanak itu. Khawatir jika jiwanya terus bergolak,
sampai tak menikmati lagi masa kanak-kanaknya. Itu adalah bencana. Bencana di
zaman kemajuan teknologi.
Dan,
yang sesungguhnya terjadi kemarin, sang ibu menemukan sesuatu di saku baju
Alvin. Barang yang dirahasiakan anak kelas IV sekolah dasar itu adalah selembar
foto. Foto yang menampakkan sang anak tengah berpose dengan seorang anak
perempuan, sebayanya. Di balik foto, tertulis: Selamat Ulang Tahun, Sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar