Minggu, 09 Oktober 2016

Jangan Benci Ibumu

Rahasia Bahrum, terkuak sudah. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi, ketika putrinya, Shinta, yang kini berusia 15 tahun, mengetahui bahwa ibunya masih hidup. Sejumlah foto yang diperlihatkan sang putri tentang kehidupan keluarganya dahulu, membuatnya sulit membantah. Kini, ia pasrah sang putri tahu tentang aib yang telah ditutupinya rapat-rapat, meski tak seluruhnya. 
 
Pengetahuan Shinta tentang sosok pemilik rahim yang telah melahirkannya, terjadi secara tak terduga. Ia tak sengaja bertemu ibu kandungnya ketika bekerja di sebuah pabrik garmen, di pusat kota nun jauh. Sang ibu ternyata adalah pemilik pabrik yang kaya raya. Berbekal idenitas diri yang ia miliki, sang ibu yakin, Shinta adalah anak kandungnya.   

“Kenapa Ayah merahasiakan kenyatan ini? Ayah jelas tak peduli tentang perasaanku!” tanya Shinta, tegas, sambil terisak. Padahal, baru saja ia sampai di rumah, setelah sebulan bekerja di kota.

Bahrum berat berkata-kata. Ia sendiri sadar, tak sepenuhnya benar telah merahasiakan keberadaan mantan istrinya. “Aku tak pernah bermaksud merahasiakan ini kepadamu selamanya, Nak. Aku cuma menunggu waktu yang tepat untuk menceritakannya,” tutur Bahrum, berusaha menenangkan putrinya.

“Ah, Ayah bohong!” bentak Shinta.

Bahrum terdiam. Ia sulit berkilah.

“Apa salah Ibu? Kenapa Ayah tak mencintainya lagi?” tanya Shinta beserta amarahnya yang meluap-luap.

“Kami tak sepaham lagi, Nak. Maafkan kami,” balas Bahrum dengan nada suara yang masih lemah lembut.

“Kami? Yang kutahu, Ayahlah yang tak bertanggung jawab. Gemar berjudi, berlaku kasar, dan main serong dengan perempuan lain. Itu yang dikatakan Ibu. Ayah tak perlu membantah, sebab sedikit pun, aku tak akan percaya,” gerutu Shinta lagi. Emosinya malah semakin meninggi.

“Aku tak akan membantah, Nak. Aku memang salah,” aku Bahrum. Pasrah. Meski sebenarnya, ia tidaklah seperti yang dituduhkan putrinya. “Maafkan aku, Nak.”

Shinta seperti tak berhasrat lagi membentak ayahnya. Ia terdiam, meski batinnya masih mengutuk keras sikap ayahnya yang telah membuat ia kehilangan separuh semangat hidupnya selam ini.

Dalam diam, Bahrum mengenang lagi sosok wanita yang pernah sangat dicintainya. Dahulu mereka hidup bahagia pada awal pernikahan. Namun setelah usahanya bangkrut akibat terlilit utang, ia akhirnya ditinggal pergi sang isteri yang tak betah hidup susah. Seakan tak ada cinta di antara mereka sebelumnya.

“Hari ini juga, aku ingin pergi, dan hidup bersama Ibu,” tutur Shinta, sambil menyeka air matanya. 

Lidah Bahrum kelu. Berat rasanya menerima jika satu-satunya orang yang ia cintai, pergi jauh selamanya. Tapi ia tak bisa menahan. Apalagi, kehidupannya sebagai seorang buruh tani, jelas tak menjamin masa depan Shinta. “Terserah engkau saja, Nak. Aku tak bisa menahanmu. Tapi kau jangan khawatir, kembalilah ke sini suatu waktu jika kau mau. Aku selalu menunggumu.” 

Shinta tak membalas. Hatinya terasa hampa. Namun rasa benci yang membara, membuatnya tak iba sedikitpun pada sang ayah. Ia tetap bertekad untuk benar-benar pergi.

Dan, tanpa anaknya tahu, Bahrum tak sedikit pun berniat untuk menyakiti, apalagi meninggalkan istrinya. Semua itu terpaksa saja, sebab sang istri melanggar janji setia untuk tak berbagi cinta dengan pria yang lain. Ia dikhianati.

Di balik rahasia yang dipendamnya, Bahrum tak mengapa. Semua demi Shinta. Ia tak ingin sang putri membenci ibunya, sebab  ia akan jadi seorang ibu kelak. Teladan seorang ibu, penting baginya.

“Semoga kau bahagia di sana, Nak,” tutur Bahrum yang hanya bisa berdiri kaku, memandang putrinya.

“Jelas saja aku akan bahagia. Ayah tahu, Ibu adalah orang kaya. Rumahnya mewah. Tak seperti Ayah ini, yang kehidupannya tak jelas!” pungkas Shinta. 

Tak berselang lama, Shinta pun beranjak pergi bersama bencinya. Meninggalkan sang ayah seorang diri, mungkin untuk waktu yang lama.

Lagi-lagi, Shinta tak tahu, kalau rumah yang dimaksudnya mewah, adalah hasil kerja keras ayahnya dahulu. Karena tipuan rentenirlah, ia jadi terlilit utang. Rumah yang menjadi jaminan itu, akhirnya berpindah tangan. Nahas baginya, sebab sang istri malah memilih hidup dengan seorang lintah darat yang telah menghancurkan kehidupannya.

Tapi dengan semua sakit hati itu, Bahrum tak sedikit pun memendam luka dan dendam di hatinya, demi sang putri, Shinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar