Rahasia
Bahrum, terkuak sudah. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi, ketika putrinya,
Shinta, yang kini berusia 15 tahun, mengetahui bahwa ibunya masih hidup.
Sejumlah foto yang diperlihatkan sang putri tentang kehidupan keluarganya
dahulu, membuatnya sulit membantah. Kini, ia pasrah sang putri tahu tentang aib
yang telah ditutupinya rapat-rapat, meski tak seluruhnya.
Pengetahuan
Shinta tentang sosok pemilik rahim yang telah melahirkannya, terjadi secara tak
terduga. Ia tak sengaja bertemu ibu kandungnya ketika bekerja di sebuah pabrik
garmen, di pusat kota nun jauh. Sang ibu ternyata adalah pemilik pabrik yang
kaya raya. Berbekal idenitas diri yang ia miliki, sang ibu yakin, Shinta adalah
anak kandungnya.
“Kenapa
Ayah merahasiakan kenyatan ini? Ayah jelas tak peduli tentang perasaanku!” tanya
Shinta, tegas, sambil terisak. Padahal, baru saja ia sampai di rumah, setelah
sebulan bekerja di kota.
Bahrum
berat berkata-kata. Ia sendiri sadar, tak sepenuhnya benar telah merahasiakan
keberadaan mantan istrinya. “Aku tak pernah bermaksud merahasiakan ini kepadamu
selamanya, Nak. Aku cuma menunggu waktu yang tepat untuk menceritakannya,” tutur
Bahrum, berusaha menenangkan putrinya.
“Ah,
Ayah bohong!” bentak Shinta.
Bahrum
terdiam. Ia sulit berkilah.
“Apa
salah Ibu? Kenapa Ayah tak mencintainya lagi?” tanya Shinta beserta amarahnya yang
meluap-luap.
“Kami
tak sepaham lagi, Nak. Maafkan kami,” balas Bahrum dengan nada suara yang masih
lemah lembut.
“Kami?
Yang kutahu, Ayahlah yang tak bertanggung jawab. Gemar berjudi, berlaku kasar,
dan main serong dengan perempuan lain. Itu yang dikatakan Ibu. Ayah tak perlu
membantah, sebab sedikit pun, aku tak akan percaya,” gerutu Shinta lagi.
Emosinya malah semakin meninggi.
“Aku
tak akan membantah, Nak. Aku memang salah,” aku Bahrum. Pasrah. Meski
sebenarnya, ia tidaklah seperti yang dituduhkan putrinya. “Maafkan aku, Nak.”
Shinta
seperti tak berhasrat lagi membentak ayahnya. Ia terdiam, meski batinnya masih
mengutuk keras sikap ayahnya yang telah membuat ia kehilangan separuh semangat
hidupnya selam ini.
Dalam
diam, Bahrum mengenang lagi sosok wanita yang pernah sangat dicintainya. Dahulu
mereka hidup bahagia pada awal pernikahan. Namun setelah usahanya bangkrut akibat terlilit
utang, ia akhirnya ditinggal pergi sang isteri yang tak betah hidup susah. Seakan
tak ada cinta di antara mereka sebelumnya.
“Hari
ini juga, aku ingin pergi, dan hidup bersama Ibu,” tutur Shinta, sambil menyeka
air matanya.
Lidah
Bahrum kelu. Berat rasanya menerima jika satu-satunya orang yang ia cintai,
pergi jauh selamanya. Tapi ia tak bisa menahan. Apalagi, kehidupannya sebagai
seorang buruh tani, jelas tak menjamin masa depan Shinta. “Terserah engkau
saja, Nak. Aku tak bisa menahanmu. Tapi kau jangan khawatir, kembalilah ke sini
suatu waktu jika kau mau. Aku selalu menunggumu.”
Shinta
tak membalas. Hatinya terasa hampa. Namun rasa benci yang membara, membuatnya tak
iba sedikitpun pada sang ayah. Ia tetap bertekad untuk benar-benar pergi.
Dan,
tanpa anaknya tahu, Bahrum tak sedikit pun berniat untuk menyakiti, apalagi
meninggalkan istrinya. Semua itu terpaksa saja, sebab sang istri melanggar
janji setia untuk tak berbagi cinta dengan pria yang lain. Ia dikhianati.
Di
balik rahasia yang dipendamnya, Bahrum tak mengapa. Semua demi Shinta. Ia tak
ingin sang putri membenci ibunya, sebab
ia akan jadi seorang ibu kelak. Teladan seorang ibu, penting baginya.
“Semoga
kau bahagia di sana, Nak,” tutur Bahrum yang hanya bisa berdiri kaku, memandang
putrinya.
“Jelas
saja aku akan bahagia. Ayah tahu, Ibu adalah orang kaya. Rumahnya mewah. Tak
seperti Ayah ini, yang kehidupannya tak jelas!” pungkas Shinta.
Tak
berselang lama, Shinta pun beranjak pergi bersama bencinya. Meninggalkan sang
ayah seorang diri, mungkin untuk waktu yang lama.
Lagi-lagi,
Shinta tak tahu, kalau rumah yang dimaksudnya mewah, adalah hasil kerja keras
ayahnya dahulu. Karena tipuan rentenirlah, ia jadi terlilit utang. Rumah yang
menjadi jaminan itu, akhirnya berpindah tangan. Nahas baginya, sebab sang istri
malah memilih hidup dengan seorang lintah darat yang telah menghancurkan
kehidupannya.
Tapi
dengan semua sakit hati itu, Bahrum tak sedikit pun memendam luka dan dendam di
hatinya, demi sang putri, Shinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar