Senin, 31 Oktober 2016

Pemegang Kendali

Sekarang, aku dan dia berpapasan untuk kali pertama. Kami bertemu di pelataran kampus secara tak terduga. Tanpa kusadari, ia tiba-tiba muncul dan berjalan ke arahku. Hanya berjarak sekitar 20 meter saja. Aku jelas tak bisa menghindar. 
 
Kuteruskan saja langkahku. Menunduk serendah mungkin. Memandangi susunan tegel yang retak-retak. Sesekali, kuturuti rasa penasaranku untuk menengadah. Memandanginya selintas saja. Dan, tanpa rencana, mata kami bertabrakan. Seakan terhipnotis, kami bersetatap hampir sedetik.

Segera kupalingkan pandangan darinya. Menyembunyikan wajahku yang mungkin terlihat aneh. Kikuk. Sampai akhirnya, kami saling membelakangi. Saling menjauh. Suasananya seperti baru saja melewati masa-masa kritis. Selega lolos dari kemacetan, kala waktu tes final semester, hampir saja mulai.

Tanpa rencana sebelumnya, kuarahkan langkahku menuju toilet. Aku mendadak butuh cermin untuk mengecek, apakah penampilanku baik-baik saja saat kami berpapasan. Seperti paranoia. Jelas aku tak ingin kalau di awal kami bersetatap, dia menyimpan kesan yang buruk tentangku.

“Hei!” Dia menyahut, dua kali.

Aku coba meyakinkan diri, kalau dia tak bermaksud padaku. Terus kupercepat langkah untuk segera menemukan tikungan dan menghilang dari pantauannya.

“Hei, Rani,” tuturnya lagi, diikuti suara tapak sepatu yang terdengar mendekatiku.

Apa? Kau menyebut namaku?Bukankah kita belum pernah berkenalan, selain di cerita imajinasiku tentang kita pada buku cacatan harianku yang entah di mana?

 Terpaksa, aku menyerahkan diri. Berbalik dan memajang wajah lugu padanya. “Ya, ada apa?”

“Ini milikmu kan?” sangkanya, sambil menyodorkan sebuah kartu mahasiswa. “Tadi, aku menemukannya di jalan. Wajahmu mirip dengan yang di fotonya.”

Kuambil kartu itu darinya. Aku merasa tenang, sebab ketakutanku tentang catatan harian itu, hanya ketakutanku. “Iya, ini punyaku.” Kuperiksa tasku, dan kudapati ada sobekan di dasarnya. “Terima kasih,” tuturku, sambil bertekad untuk segera berlalu.

Dia mengangguk dengan senyum simpul yang manis. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Rancana pelarianku, tertahan. “Kurasa belum pernah,” jawabku, sembari menggaruk-garuk bahu tangan tanpa alasan. 

Matanya menatapku tajam. “Tapi aku sepertinya pernah melihatmu sebelumnya,” duganya lagi.

“Bisa jadi kau melihatku tanpa aku tahu. Dunia memang kadang terasa sempit,” pungkasku, lalu melangkah pergi. Beruntung, dia tak menahanku lagi.

Kupikir, ia tak akan tahu tentang aku yang telah memata-matainya selama ini, kecuali sekadar tahu nama, wajah, dan identitas umumku yang lain. Itu  pun wajar sebab aku telah mengirimkan permintaan pertemanan padanya melalui Facebook. Ia mungkin menelusuri profilku sepintas, kala mengecek daftar orang-orang yang menanti untuk jadi temannya di dunia maya.

Sebaliknya, aku jalas banyak tahu tentangnya. Aku senang menguliknya di dunia maya sejak beberapa bulan terakhir. Namun karena semua peristiwa yang telah terjadi, aku jadi takut sendiri ia mengenalku lebih dalam. Kuputuskanlah untuk segera membatalkan permintaan pertemananku di Facebook, dan tetap menjadi pengagum rahasianya. 

Tapi sial, ia terlanjur mengonfirmasi permintaan pertemananku setelah menggantung selama seminggu.

Sebuah pesan masuk, juga dikirimkannya: Hai, Rani. Salam kenal.

Aku tak berhasrat segera meresponsnya. Selain malu, kupikir, sekarang giliranku untuk memegang kendali atas rasa penasarannya, kalau pun khayalan tingkat tinggiku tepat. 

Tak berselang lama, dia mengirim pesan lagi: Oh, iya. Kapan kamu ada waktu kan? Aku ingin bertemu. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.

Aku dibuatnya penasaran. Terpaksa kubalas: Salam kenal. Sesuatu yang kau maksud apa?

Dijawabnya: Milikmu sendiri. Aku ingin mengembalikannya. Sebuah catatan harian. Aku menemukannya seminggu yang lalu.

Tiba-tiba, aku tak berkutik. Kupastikan, dia banyak tahu tentangku, termasuk yang selama ini kupendam saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar