Sekarang, aku dan dia berpapasan untuk kali pertama. Kami bertemu di pelataran
kampus secara tak terduga. Tanpa kusadari, ia tiba-tiba muncul dan berjalan ke
arahku. Hanya berjarak sekitar 20 meter saja. Aku jelas tak bisa menghindar.
Kuteruskan
saja langkahku. Menunduk serendah mungkin. Memandangi susunan tegel yang
retak-retak. Sesekali, kuturuti rasa penasaranku untuk menengadah.
Memandanginya selintas saja. Dan, tanpa rencana, mata kami bertabrakan. Seakan terhipnotis,
kami bersetatap hampir sedetik.
Segera
kupalingkan pandangan darinya. Menyembunyikan wajahku yang mungkin terlihat
aneh. Kikuk. Sampai akhirnya, kami saling membelakangi. Saling menjauh. Suasananya
seperti baru saja melewati masa-masa kritis. Selega lolos dari kemacetan, kala waktu
tes final semester, hampir saja mulai.
Tanpa
rencana sebelumnya, kuarahkan langkahku menuju toilet. Aku mendadak butuh
cermin untuk mengecek, apakah penampilanku baik-baik saja saat kami berpapasan.
Seperti paranoia. Jelas aku tak ingin kalau di awal kami bersetatap, dia
menyimpan kesan yang buruk tentangku.
“Hei!” Dia menyahut, dua kali.
Aku
coba meyakinkan diri, kalau dia tak bermaksud padaku. Terus kupercepat langkah
untuk segera menemukan tikungan dan menghilang dari pantauannya.
“Hei,
Rani,” tuturnya lagi, diikuti suara tapak sepatu yang terdengar mendekatiku.
Apa? Kau menyebut namaku?Bukankah
kita belum pernah berkenalan, selain di cerita imajinasiku tentang kita pada
buku cacatan harianku yang entah di mana?
Terpaksa, aku menyerahkan
diri. Berbalik dan memajang wajah lugu padanya. “Ya, ada apa?”
“Ini
milikmu kan?” sangkanya, sambil menyodorkan sebuah kartu mahasiswa. “Tadi, aku menemukannya
di jalan. Wajahmu mirip dengan yang di fotonya.”
Kuambil
kartu itu darinya. Aku merasa tenang, sebab ketakutanku tentang catatan harian
itu, hanya ketakutanku. “Iya, ini punyaku.” Kuperiksa tasku, dan kudapati ada
sobekan di dasarnya. “Terima kasih,” tuturku, sambil bertekad untuk segera
berlalu.
Dia
mengangguk dengan senyum simpul yang manis. “Apakah kita pernah bertemu
sebelumnya?”
Rancana
pelarianku, tertahan. “Kurasa belum pernah,” jawabku, sembari menggaruk-garuk
bahu tangan tanpa alasan.
Matanya
menatapku tajam. “Tapi aku sepertinya pernah melihatmu sebelumnya,” duganya
lagi.
“Bisa
jadi kau melihatku tanpa aku tahu. Dunia memang kadang terasa sempit,” pungkasku,
lalu melangkah pergi. Beruntung, dia tak menahanku lagi.
Kupikir,
ia tak akan tahu tentang aku yang telah memata-matainya selama ini, kecuali
sekadar tahu nama, wajah, dan identitas umumku yang lain. Itu pun wajar sebab aku telah mengirimkan
permintaan pertemanan padanya melalui Facebook. Ia mungkin menelusuri profilku
sepintas, kala mengecek daftar orang-orang yang menanti untuk jadi temannya di
dunia maya.
Sebaliknya,
aku jalas banyak tahu tentangnya. Aku senang menguliknya di dunia maya sejak
beberapa bulan terakhir. Namun karena semua peristiwa yang telah terjadi, aku
jadi takut sendiri ia mengenalku lebih dalam. Kuputuskanlah untuk segera membatalkan
permintaan pertemananku di Facebook, dan tetap menjadi pengagum rahasianya.
Tapi
sial, ia terlanjur mengonfirmasi permintaan pertemananku setelah menggantung selama
seminggu.
Sebuah
pesan masuk, juga dikirimkannya: Hai,
Rani. Salam kenal.
Aku
tak berhasrat segera meresponsnya. Selain malu, kupikir, sekarang giliranku
untuk memegang kendali atas rasa penasarannya, kalau pun khayalan tingkat
tinggiku tepat.
Tak
berselang lama, dia mengirim pesan lagi: Oh,
iya. Kapan kamu ada waktu kan? Aku ingin bertemu. Ada sesuatu yang ingin
kuberikan padamu.
Aku
dibuatnya penasaran. Terpaksa kubalas: Salam
kenal. Sesuatu yang kau maksud apa?
Dijawabnya:
Milikmu sendiri. Aku ingin
mengembalikannya. Sebuah catatan harian. Aku menemukannya seminggu yang lalu.
Tiba-tiba,
aku tak berkutik. Kupastikan, dia banyak tahu tentangku, termasuk yang selama
ini kupendam saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar