Selasa, 25 Oktober 2016

Penghuni Rumah Sewa

Zaman adalah penduduk baru di lingkungan perkotaan, tempatnya menetap sekarang. Ia datang dari kampung, kemudian menyewa sebuah rumah untuk ditinggali. Rumah sederhana itu, hanyalah rumah semi permanen berlantai II. Di sanalah ia akan bertahan hidup seorang diri, tanpa siapa-siapa.
 
Keputusannya untuk meninggalkan kampung halaman, sebenarnya penuh risiko. Ia mempertaruhkan segalanya, termasuk meninggalkan kebun peninggalan orang tuanya. Hidup sebagai buruh pelabuhan di kota, jelas tak lebih baik. Namun yang dicarinya bukanlah uang, tapi ketenangan. Jauh dari kampung, bisa membuatnya melupakan kenangan masa lalunya yang kelam.

Kenangan pahit yang merundungnya adalah buah dari ketidakdewasaannya sebagai kepala rumah tangga. Dahulu, kala menikah dan hidup dengan seorang perempuan yang dibawanya dari kota, ia mengabaikan tanggung jawabnya. Pernikahan itu pun tak bertahan sampai setahun. Hanya kisaran delapan bulan. Semua itu akibat sikapnya yang tak segan-segan berlaku kasar kepada sang istri, suka mabuk dan berjudi.

Sampai saat ini, dan mungkin sampai kapan pun, bayang-bayang masa lalu, tak akan pernah berhenti menghantuinya. Apalagi, perpisahannya dengan sang istri, terjadi di waktu yang tidak tepat, yaitu ketika di rahimnya, mulai tumbuh janin yang jika ditakdirkan, akan tumbuh menjadi seorang anak yang mencari ayahnya.

Dan atas semua kesalahannya di masa lalu, ia hendak mengubah segalanya. Tekadnya kuat untuk memulai hidup yang baru.

“Kamu bikin apa, Nak,” tanya Zaman pada seorang anak yang tengah bersembunyi di sela pepohonan, di halaman belakang rumahnya. Ia tahu, kalau anak itu adalah tetangganya sendiri. Anak seseorang pengusaha tambang yang kaya raya. “Jangan takut sama Om. Sini.”

Dengan segan, anak itu pun keluar dari persembunyiannya. Melangkah tanpa ekspresi apa-apa, menuju ke arah Zaman, sambil mengelus-elus perutnya. Raut wajahnya menyiratkan ketakutan, sehingga ia tak kuasa berucap sepatah kata pun.

“Kamu kenapa, Nak? Kalau ada masalah, ceritakan saja padaku?” tawar Zaman, sambil berlutut dan menepuk-nepuk kedua lengan anak lelaki itu. “Kamu sakit perut?

Anak itu menggeleng, tetapi masih saja mengelus perutnya. Seperti menahan perih.

“Sini aku obati,” tawar Zaman, sambil menyibak sedikit baju kaos yang menutupi perut anak itu. Terlihatlah olehnya separuh luka goresan dan lebam di sana, tapi anak itu segera menepis tangannya. “Apa yang terjadi padamu, Nak?”

Anak itu tetap saja bungkam. Mematung dengan mimik yang datar.

“Tio, mana kamu? Ayo cepat pulang! Kalau tidak, kau dapat bagianmu nanti!” teriak seorang wanita di balik pagar tembok rumah yang mewah, tetangga Zaman.

Zaman yakin, suara itu milik ibu si anak yang kini ia tahu namanya. “Nak Tio, pulanglah. Ibumu nanti khawatir. Kalau kau ingin bermain ke sini lagi, minta izin dulu sama Ayah dan Ibumu.”

Anak itu, lagi-lagi hanya menggeleng. Tapi sepatah kata terdengar samar dari mulut mungilnya. “Ibu dan Ayahku jahat!”

“Tio, sedang apa kau di situ? Pulang!” bentak wanita muda yang kini berdiri tepat di depan Zaman dan Tio. “Cepat!”

Seketika, anak itu pun menuruti perkataan ibunya. 

Zaman yang masih berkalang tanda tanya, tak bisa apa-apa. Ia hanya berdiam diri di tempatnya sambil memandang lekat-lekat wajah ibu Tio. Mata mereka pun sempat bersetatap dengan penuh tanya. Sekilas, Zaman merasa mengenalnya dengan keyakinan yang tak penuh. Tapi wanita itu, lekas memalingkah wajahnya, kemudian berlalu bersama tangisan sang anak.

Waktu berjalan, hingga malam pun datang. Dan seperti biasa, di awal malam, Zaman akan mendengar tangis Tio yang berulang dan berkepanjangan. Tangisan itu biasanya berhenti saat tengah malam. Tapi kali ini, sepertinya menjadi sesi tangisan terpanjang Tio yang didengarnya setelah empat hari kedatangannya. Itu mungkin sebagai ganjaran atas kelancangan Tio bertamu ke rumahnya siang tadi.

Tangisan Tio, membuat Zaman tak bisa memejamkan mata. Suara itu seperti mengetuk hatinya. Mengingatkan ia pada bakal buah hatinya yang entah di mana.

Karena penasaran, ia pun mengintip di balik jendela. Jika sebelumnya, ia tak melihat apa-apa, kini sebuah kejadian menegangkan, terpampang di depan matanya. Ia melihat Tio, dengan senyap-senyap, memajat di atap pelataran rumahnya. Tak lama kemudian, ia menyusuri tembok pagar yang menjulang sekitar empat meter. Seperti berencana melarikan diri sembunyi-sembunyi. Tapi nahas, anak itu terpeleset dan jatuh. 

Tanpa pikir panjang, Zaman pun bergegas ke arahnya. Berharap menjumpainya dalam keadaan baik-baik saja. Tapi yang terjadi, sebaliknya. Kepala anak itu terbentur di sebuah batu. Darahnya mengalir deras. Mengenaskan.

Zaman pun bertekad untuk mencari pertolongan dan membawa anak itu rumah sakit terdekat. Tapi sial baginya. Tiba-tiba saja, ia kepergok oleh anggota polisi. Mereka datang bersama ayah Tio yang juga seorang polisi.

Tuduhan miring pada Zaman pun tak terelakkan. Ia akhirnya digelandang ke kantor polisi atas dugaan tindak penganiayaan. Sedangkan Tio, segera dilarikan ke rumah sakit. 

“Lelaki kurang ajar. Berani-beraninya kau menyentuh anakku. Itu bukan anakmu! Kau tak berhak melihatnya, apalagi menyentuhnya!” bentak ibu Tio, kala menemui Zaman di ruang tahanan. “Kau masih ingat denganku kan, heh?”

Seketika, Zaman yakin, wanita itu adalah Suzan, mantan istrinya. “Suzan? Jadi, Tio adalah?”

Susan tertawa pendek. “Dia anakku. Tentang siapa ayahnya, kau mungkin harus bertanya pada dirimu sendiri. Yang pasti, seorang lelaki yang mencampakkan istrinya yang sedang hamil, tak pantas disebut ayah,” tuturnya, dengan raut wajah yang penuh benci.

Tiba-tiba, tangis Zaman pecah. Air mata penyesalannya, mengucur deras. “Maafkan aku Sus. Aku mengaku bersalah di masa lalu. Tapi tak selayaknya kau memperlakukan anak kita dengan kasar.”

“Anak kita? Kau tak malu mengakui dirimu sebagai sosok ayah?” gertak Suzan lagi. “Yang perlu kau tahu, aku ingin anak itu menikmati rasanya dihardik dan dipukuli setiap saat, seperti yang kau lakukan padaku dahulu.”

Dalam situasi yang tak membebaskannya itu, Zaman seperti kehilangan semangat hidup. Ia dilema, antara mengelak atas tuduhan polisi demi hidup bersama anaknya, atau pasrah mendapatkan hukuman sebagai balasan atas dosa-dosanya di masa lalu. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar