Zaman
adalah penduduk baru di lingkungan perkotaan, tempatnya menetap sekarang. Ia datang
dari kampung, kemudian menyewa sebuah rumah untuk ditinggali. Rumah
sederhana itu, hanyalah rumah semi permanen berlantai II. Di sanalah ia akan
bertahan hidup seorang diri, tanpa siapa-siapa.
Keputusannya
untuk meninggalkan kampung halaman, sebenarnya penuh risiko. Ia mempertaruhkan
segalanya, termasuk meninggalkan kebun peninggalan orang tuanya. Hidup sebagai
buruh pelabuhan di kota, jelas tak lebih baik. Namun yang dicarinya bukanlah
uang, tapi ketenangan. Jauh dari kampung, bisa membuatnya melupakan kenangan
masa lalunya yang kelam.
Kenangan
pahit yang merundungnya adalah buah dari ketidakdewasaannya sebagai kepala
rumah tangga. Dahulu, kala menikah dan hidup dengan seorang perempuan yang
dibawanya dari kota, ia mengabaikan tanggung jawabnya. Pernikahan itu pun tak bertahan
sampai setahun. Hanya kisaran delapan bulan. Semua itu akibat sikapnya yang tak
segan-segan berlaku kasar kepada sang istri, suka mabuk dan berjudi.
Sampai
saat ini, dan mungkin sampai kapan pun, bayang-bayang masa lalu, tak akan
pernah berhenti menghantuinya. Apalagi, perpisahannya dengan sang istri,
terjadi di waktu yang tidak tepat, yaitu ketika di rahimnya, mulai tumbuh janin
yang jika ditakdirkan, akan tumbuh menjadi seorang anak yang mencari ayahnya.
Dan
atas semua kesalahannya di masa lalu, ia hendak mengubah segalanya. Tekadnya
kuat untuk memulai hidup yang baru.
“Kamu
bikin apa, Nak,” tanya Zaman pada seorang anak yang tengah bersembunyi di sela
pepohonan, di halaman belakang rumahnya. Ia tahu, kalau anak itu adalah
tetangganya sendiri. Anak seseorang pengusaha tambang yang kaya raya. “Jangan
takut sama Om. Sini.”
Dengan
segan, anak itu pun keluar dari persembunyiannya. Melangkah tanpa ekspresi
apa-apa, menuju ke arah Zaman, sambil mengelus-elus perutnya. Raut wajahnya
menyiratkan ketakutan, sehingga ia tak kuasa berucap sepatah kata pun.
“Kamu
kenapa, Nak? Kalau ada masalah, ceritakan saja padaku?” tawar Zaman, sambil
berlutut dan menepuk-nepuk kedua lengan anak lelaki itu. “Kamu sakit perut?
Anak
itu menggeleng, tetapi masih saja mengelus perutnya. Seperti menahan perih.
“Sini
aku obati,” tawar Zaman, sambil menyibak sedikit baju kaos yang menutupi perut anak
itu. Terlihatlah olehnya separuh luka goresan dan lebam di sana, tapi anak itu
segera menepis tangannya. “Apa yang terjadi padamu, Nak?”
Anak
itu tetap saja bungkam. Mematung dengan mimik yang datar.
“Tio,
mana kamu? Ayo cepat pulang! Kalau tidak, kau dapat bagianmu nanti!” teriak
seorang wanita di balik pagar tembok rumah yang mewah, tetangga Zaman.
Zaman
yakin, suara itu milik ibu si anak yang kini ia tahu namanya. “Nak Tio,
pulanglah. Ibumu nanti khawatir. Kalau kau ingin bermain ke sini lagi, minta
izin dulu sama Ayah dan Ibumu.”
Anak
itu, lagi-lagi hanya menggeleng. Tapi sepatah kata terdengar samar dari mulut
mungilnya. “Ibu dan Ayahku jahat!”
“Tio, sedang apa kau di situ? Pulang!” bentak wanita muda yang kini berdiri
tepat di depan Zaman dan Tio. “Cepat!”
Seketika,
anak itu pun menuruti perkataan ibunya.
Zaman
yang masih berkalang tanda tanya, tak bisa apa-apa. Ia hanya berdiam diri di
tempatnya sambil memandang lekat-lekat wajah ibu Tio. Mata mereka pun sempat
bersetatap dengan penuh tanya. Sekilas, Zaman merasa mengenalnya dengan
keyakinan yang tak penuh. Tapi wanita itu, lekas memalingkah wajahnya, kemudian
berlalu bersama tangisan sang anak.
Waktu
berjalan, hingga malam pun datang. Dan seperti biasa, di awal malam, Zaman akan
mendengar tangis Tio yang berulang dan berkepanjangan. Tangisan itu biasanya
berhenti saat tengah malam. Tapi kali ini, sepertinya menjadi sesi tangisan
terpanjang Tio yang didengarnya setelah empat hari kedatangannya. Itu mungkin
sebagai ganjaran atas kelancangan Tio bertamu ke rumahnya siang tadi.
Tangisan
Tio, membuat Zaman tak bisa memejamkan mata. Suara itu seperti mengetuk
hatinya. Mengingatkan ia pada bakal buah hatinya yang entah di mana.
Karena
penasaran, ia pun mengintip di balik jendela. Jika sebelumnya, ia tak melihat
apa-apa, kini sebuah kejadian menegangkan, terpampang di depan matanya. Ia
melihat Tio, dengan senyap-senyap, memajat di atap pelataran rumahnya. Tak lama
kemudian, ia menyusuri tembok pagar yang menjulang sekitar empat meter. Seperti
berencana melarikan diri sembunyi-sembunyi. Tapi nahas, anak itu terpeleset dan
jatuh.
Tanpa
pikir panjang, Zaman pun bergegas ke arahnya. Berharap menjumpainya dalam
keadaan baik-baik saja. Tapi yang terjadi, sebaliknya. Kepala anak itu terbentur
di sebuah batu. Darahnya mengalir deras. Mengenaskan.
Zaman
pun bertekad untuk mencari pertolongan dan membawa anak itu rumah sakit
terdekat. Tapi sial baginya. Tiba-tiba saja, ia kepergok oleh anggota polisi.
Mereka datang bersama ayah Tio yang juga seorang polisi.
Tuduhan
miring pada Zaman pun tak terelakkan. Ia akhirnya digelandang ke kantor polisi
atas dugaan tindak penganiayaan. Sedangkan Tio, segera dilarikan ke rumah
sakit.
“Lelaki
kurang ajar. Berani-beraninya kau menyentuh anakku. Itu bukan anakmu! Kau tak
berhak melihatnya, apalagi menyentuhnya!” bentak ibu Tio, kala menemui Zaman di
ruang tahanan. “Kau masih ingat denganku kan, heh?”
Seketika,
Zaman yakin, wanita itu adalah Suzan, mantan istrinya. “Suzan? Jadi, Tio
adalah?”
Susan
tertawa pendek. “Dia anakku. Tentang siapa ayahnya, kau mungkin harus bertanya
pada dirimu sendiri. Yang pasti, seorang lelaki yang mencampakkan istrinya yang
sedang hamil, tak pantas disebut ayah,” tuturnya, dengan raut wajah yang penuh
benci.
Tiba-tiba, tangis Zaman pecah. Air mata penyesalannya, mengucur deras. “Maafkan aku Sus.
Aku mengaku bersalah di masa lalu. Tapi tak selayaknya kau memperlakukan anak
kita dengan kasar.”
“Anak
kita? Kau tak malu mengakui dirimu sebagai sosok ayah?” gertak Suzan lagi. “Yang
perlu kau tahu, aku ingin anak itu menikmati rasanya dihardik dan dipukuli
setiap saat, seperti yang kau lakukan padaku dahulu.”
Dalam
situasi yang tak membebaskannya itu, Zaman seperti kehilangan semangat hidup.
Ia dilema, antara mengelak atas tuduhan polisi demi hidup bersama anaknya, atau
pasrah mendapatkan hukuman sebagai balasan atas dosa-dosanya di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar