Kamis, 06 Oktober 2016

Pemeran Utama

Kisah ini, tentang seseorang yang tak kuasa berkata jujur tentang perasaannya pada sang pujaan. Tentang lelaki pemendam yang hanya bisa melampiasakan perasaannya dalam rangkaian huruf-huruf. Seorang penulis yang menyimpan rahasianya sendirian. Menulis untuk seseorang yang barang kali tak pernah membaca tulisannya.
 
Seperti bumi yang gersang, ia yakin hujan akan datang membalas rindunya. Setia menunggu dan tak beranjak ke mana-mana. Masih dengan perasaan yang sama, seperti empat tahun yang lalu. Betah menanti sosok pujaannya yang tak akan terganti. Meyakini sebuah perjumpaan kembali, meski tak ada janji untuk bertemu.

Masih membekas jelas di benaknya tentang kebersamaan dengan sang wanita pujaan. Waktu-waktu berlalu itu, diklaimnya sendiri sebagai kenangan terindah. Sebuah kenangan yang terbingkai dalam ketidakpastian, tanpa ada embel status apa-apa. Menggantungkan dua jiwa sejoli yang hanya bisa saling membaca dan menerka.

Awal pertemuan mereka, terkesan tanpa rencana. Seperti kebetulan saja disatukan oleh sebuah komunitas yang bergelut dengan aksara. Seakan tak ada motif atau perasaan apa-apa. Sekadar teman seminat. Tapi sesungguhnya, ia ada usaha terencana untuk mencuri waktu bersama wanita idamannya. Ada kesengajaan untuk memulai perkara batin.

Dan berhasil. Ada kecocokan yang menarik mereka ke dalam medan yang sama. Saling berhasrat untuk mengabadikan kebersamaan mereka secara diam-diam: menulis. Sama-sama mengabadikan kesan di antara mereka dalam sebuah blog rahasia, masing-masing. Melampiaskan apa pun yang tak pernah mereka singgung dengan tutur kata. Saling merahasiakan, meski sebenarnya, tak ada yang benar-benar tertutupi.

Bion, apa belakangan ini, kau sudah giat menulis?” tanya Arna, sang wanita pujaan, padanya, saat mereka mengobrol pada sebuah bangku taman yang saling berhadapan, ketika masih bersama dahulu.

“Aku belum menulis apa-apa. Aku sepertinya hanya bisa berkhayal jadi penulis,” balasnya, sambil membetulkan posisi kacamatanya yang melorot. Lalu, pura-pura mempertanyakan sesuatu yang jelas diketahuinya. “Kau sendiri bagaimana? Kau pasti sudah handal menyusun kata?”
 
“Tidak juga. Aku masih berlatih. Masih malu-malu jika dibaca orang lain,” balas Arna, disertai senyuman manisnya. “Oh iya, aku berharap, kau menulis. Aku ingin melihatmu jadi penulis.”

“Iya, aku harap kau juga begitu,” balas Bion, sambil mendalami bola mata gadis pujaannya sejenak. “Untuk lelaki pemalu seperti diriku, menulis adalah jalan terbaik untuk jujur tentang apa pun, termasuk tentang perasaan.”

Arna menarik napas dalam-dalam. Raut wajahnya pun terlihat damai. “Jika kau kehabisan bahan, tak mengapa kau tulis tentangku, tentang kita. Kau bisa menjadikanku tokoh apa saja dalam ceritamu,” tuturnya, lugas. 

Bion tersenyum mendengar tawaran Arna. Sebuah tawaran yang selama ini, telah ia wujudkan di dalam blog pribadinya. 

Pesan-pesan Arna itulah yang menguatkan tekad Bion untuk terus menulis. Arna adalah inspirasi sekaligus motivasi bagi Bion. Bahkan, jauh sebelum berjumpa, Bion telah menjadi pembaca setia blog milik Arna. Sebuah blog yang setelah perjumpaan keduanya, banyak merekam kebersamaan mereka.  

Tapi kini, semua telah berubah. Arna tak pernah lagi menulis di blog miliknya. Padahal, di waktu-waktu yang tak lagi mereka lalui bersama, tak ada celah lain untuk berbagi kabar selain mengintip curahan kehidupan di blog masing-masing. Bion seperti kehilangan separuh nyawanya dalam menulis.

***

Begitulah sepintas cerita Bion yang memendam perasaan mendalam pada Arna. Sebuah cerita yang telah kumuat pada blog pribadiku.

Tiba-tiba, sebuah tanggapan dari akun anonim, terpampang di kolom komentar unggahan cerita baruku itu: Apa aku hanya ada sebagai pemeran utama dalam ceritamu? Apa aku hanya ada di dunia mayamu?
 
Kubalas segera: Apa aku mengenalmu? Apa aku benar-benar sedang menulis tentangmu? Bagaimana kau bisa menuduhku?

Kutunggu beberapa lama, tapi tak ada balasan.

Aku pun menoleh ke segala arah. Mengistirahatkan mataku dari layar laptop. Terlihat, seseorang wanita beranjak keluar dari ruang kafe tempatku menghabiskan waktu sedari tadi. Dia adalah pemeran utama gubahan ceritaku. Ya, dia yang kuberi nama Arna, dan aku adalah Dion. Bodohnya, aku melewatkannya begitu saja, tanpa upaya apa-apa.

Dan, aku berharap, dia tak ada hubungannya dengan rangkaian tanggapan di kolom komentar unggahan ceritaku di blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar