Kisah
ini, tentang seseorang yang tak kuasa berkata jujur tentang perasaannya pada
sang pujaan. Tentang lelaki pemendam yang hanya bisa melampiasakan perasaannya
dalam rangkaian huruf-huruf. Seorang penulis yang menyimpan rahasianya sendirian.
Menulis untuk seseorang yang barang kali tak pernah membaca tulisannya.
Seperti
bumi yang gersang, ia yakin hujan akan datang membalas rindunya. Setia menunggu
dan tak beranjak ke mana-mana. Masih dengan perasaan yang sama, seperti empat
tahun yang lalu. Betah menanti sosok pujaannya yang tak akan terganti. Meyakini
sebuah perjumpaan kembali, meski tak ada janji untuk bertemu.
Masih
membekas jelas di benaknya tentang kebersamaan dengan sang wanita pujaan.
Waktu-waktu berlalu itu, diklaimnya sendiri sebagai kenangan terindah. Sebuah kenangan
yang terbingkai dalam ketidakpastian, tanpa ada embel status apa-apa. Menggantungkan
dua jiwa sejoli yang hanya bisa saling membaca dan menerka.
Awal
pertemuan mereka, terkesan tanpa rencana. Seperti kebetulan saja disatukan oleh
sebuah komunitas yang bergelut dengan aksara. Seakan tak ada motif atau
perasaan apa-apa. Sekadar teman seminat. Tapi sesungguhnya, ia ada usaha
terencana untuk mencuri waktu bersama wanita idamannya. Ada kesengajaan untuk
memulai perkara batin.
Dan
berhasil. Ada kecocokan yang menarik mereka ke dalam medan yang sama. Saling
berhasrat untuk mengabadikan kebersamaan mereka secara diam-diam: menulis. Sama-sama
mengabadikan kesan di antara mereka dalam sebuah blog rahasia, masing-masing. Melampiaskan
apa pun yang tak pernah mereka singgung dengan tutur kata. Saling merahasiakan,
meski sebenarnya, tak ada yang benar-benar tertutupi.
“Bion, apa
belakangan ini, kau sudah giat menulis?” tanya Arna, sang wanita pujaan,
padanya, saat mereka mengobrol pada sebuah bangku taman yang saling berhadapan, ketika masih bersama dahulu.
“Aku
belum menulis apa-apa. Aku sepertinya hanya bisa berkhayal jadi penulis,” balasnya,
sambil membetulkan posisi kacamatanya yang melorot. Lalu, pura-pura
mempertanyakan sesuatu yang jelas diketahuinya. “Kau sendiri bagaimana? Kau
pasti sudah handal menyusun kata?”
“Tidak
juga. Aku masih berlatih. Masih malu-malu jika dibaca orang lain,” balas Arna,
disertai senyuman manisnya. “Oh iya, aku berharap, kau menulis. Aku ingin
melihatmu jadi penulis.”
“Iya,
aku harap kau juga begitu,” balas Bion, sambil mendalami bola mata gadis
pujaannya sejenak. “Untuk lelaki pemalu seperti diriku, menulis adalah jalan
terbaik untuk jujur tentang apa pun, termasuk tentang perasaan.”
Arna
menarik napas dalam-dalam. Raut wajahnya pun terlihat damai. “Jika kau
kehabisan bahan, tak mengapa kau tulis tentangku, tentang kita. Kau bisa
menjadikanku tokoh apa saja dalam ceritamu,” tuturnya, lugas.
Bion
tersenyum mendengar tawaran Arna. Sebuah tawaran yang selama ini, telah ia
wujudkan di dalam blog pribadinya.
Pesan-pesan
Arna itulah yang menguatkan tekad Bion untuk terus menulis. Arna adalah
inspirasi sekaligus motivasi bagi Bion. Bahkan, jauh sebelum berjumpa, Bion
telah menjadi pembaca setia blog milik Arna. Sebuah blog yang setelah perjumpaan keduanya, banyak merekam kebersamaan mereka.
Tapi
kini, semua telah berubah. Arna tak pernah lagi menulis di blog miliknya.
Padahal, di waktu-waktu yang tak lagi mereka lalui bersama, tak ada celah lain
untuk berbagi kabar selain mengintip curahan kehidupan di blog masing-masing. Bion
seperti kehilangan separuh nyawanya dalam menulis.
***
Begitulah
sepintas cerita Bion yang memendam perasaan mendalam pada Arna. Sebuah cerita
yang telah kumuat pada blog pribadiku.
Tiba-tiba,
sebuah tanggapan dari akun anonim, terpampang di kolom komentar unggahan cerita
baruku itu: Apa aku hanya ada sebagai pemeran
utama dalam ceritamu? Apa aku hanya ada di dunia mayamu?
Kubalas
segera: Apa aku mengenalmu? Apa aku
benar-benar sedang menulis tentangmu? Bagaimana kau bisa menuduhku?
Kutunggu
beberapa lama, tapi tak ada balasan.
Aku
pun menoleh ke segala arah. Mengistirahatkan mataku dari layar laptop. Terlihat,
seseorang wanita beranjak keluar dari ruang kafe tempatku menghabiskan
waktu sedari tadi. Dia adalah pemeran utama gubahan ceritaku. Ya, dia yang
kuberi nama Arna, dan aku adalah Dion. Bodohnya, aku melewatkannya begitu saja,
tanpa upaya apa-apa.
Dan, aku
berharap, dia tak ada hubungannya dengan rangkaian tanggapan di kolom komentar
unggahan ceritaku di blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar