Senin, 17 Oktober 2016

Konstitusi Negara

Pada dasarnya, negara merupakan organisasi yang melingkupi satu kesatuan individu sebagai warga negara, wilayah sebagai teritorial, dan pemerintah yang berdaulat sebagai pelaksana kekuasaan. Ketiga unsur itu biasa diistilahkan unsur konstitutif. Di luar itu, para pemikir kadang menambahkan unsur deklaratif berupa pengakuan dari negara lain sebagai unsur keempat eksistensi sebuah negara. Itu dinilai penting, mengingat sebuah negara tidak hanya berurusan dengan persoalan internalnya, tetapi niscaya turut dalam pergaulan internasional.
 
Segenap unsur terbentuknya negara, kemudian menjadi objek pengaturan hukum yang dilegitimasi oleh pihak berdaulat. Negara hadir untuk menjamin perlindungan segenap komponen negara, demi menjaga eksistensinya. Unsur warga, wilayah, dan pemerintah, jelas memiliki satu kesatuan yang memiliki hubungan timbal balik, sehingga harus dikelola secara harmonis dengan norma hukum yang mengikat seluruh unsur. Karena itulah, lahir paham konstitusionalisme yang menitikberatkan bahwa pengelolaan negara harus sejalan dengan aturan hukum yang berdasarkan konsititusi.

Konstitusi sendiri, secara umum dimaknai sebagai aturan dasar yang mengatur sebuah negara. Konstitusilah yang menjadi dasar legitimasi aturan hukum yang lebih rendah. Keberadaan konstitusi adalah sebagai pedoman perumusan hukum dalam sebuah negara, sehingga terjamin bahwa keseluruhan aturan hukum tertata dengan baik dan harmonis. Hal itu terjadi karena dalam konstitusi diatur secara umum tentang persoalan negara yang fundamental, di antaranya adalah struktur pemerintahan negara dan perlindungan hak asasi warga negara.

Mengenai kedudukan konstitusi dalam tata hukum sebuah negara, murid Hans Kelsen, Hans Nawiasky mengeluarkan teori yang disebut theorie von stufenufbau der rechtsordnung.  Susunan norma menurut terori tersebut adalah:[1]
  1. Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm); 
  2.  Aturan dasar negara (staatsgrundgezetz);
  3.  Undang-undang formal (formell gezets); 
  4.  Peraturan pelaksanaan atau peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Merujuk pada teori Nawiasky di atas, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hirarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah sebagai berikut:[2]
  1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
  2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
  3. Formellgesetz: Undang-Undang;
  4. Verordnung en autonomie satzung: secara hirarkis, mulai dari Peraturan Pemerintah, hingga Keputusan Bupati atau Walikota. 
Indonesia sendiri, telah beberapa kali mengalami pergantian konstitusi. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada empat macam UUD yang pernah berlaku, yaitu: (1) UUD 1945 yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3) UUD Sementara 1950 yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959; (4) UUD 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.[3]

UUD NRI Tahun 1945 yang berlaku saat ini, pun tidak lagi serupa dengan UUD 1945 yang diberlakukan kembali tahun 1959. Itu disebabkan karena telah dilakukan empat kali perubahan, yaitu dalam rentang waktu tahun 1999-2002. Meski begitu, ada beberapa hal yang memang sedari awal, ditetapkan untuk tidak diubah. Di tengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH (Panitia Ad Hoc) I menyusun kesepakatan dasar yang terdiri dari lima butir, yaitu:[4]

  1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
  2. Tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan, sertaa hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
  5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.

Setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, terjadi banyak perbaikan positif dalam kehidupan bernegara Indonesia. Perbaikan itu mungkin terjadi karena amandemen konstitusi merupakan perwujudan dari hasil refleksi atas terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau kekuasaan yang semena-mena oleh pejabat negara, saat berlakunya UUD 1945 sebelum perubahan. 

Di antara banyak perubahan positif dalam kehidupan bernegara yang terjadi pascaamandemen UUD 1945, menurut Mahfud MD adalah sebagai berikut:[5]
  1. Kehidupan berdemokrasi yang lebih baik dan terjamin;
  2. Terciptanya checks and balance secara lebih proporsional di dalam sistem ketatanegaraan;
  3. Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengoreksi atas produk UU yang sarat kepentingan dan transaksi politik;
  4. Ditegaskannya kedudukan DPR sebagai lembaga yang memegang kekuasaan atas pembentukan UU, yang sebelumnya dimonopoli oleh kekuasaan eksekutif/presiden;
  5. Dibukanya kemungkinan untuk menjatuhkan presiden dalam masa jabatannya melalui penilaian politik dan penilaian hukum dengan alasan-alasan tertentu, dengan prosedur yang ketat;
  6. Dimuatnya masalah-masalah HAM secara rinci, sehingga perlindungannya dari kekuasaan yang menindas, lebih terjamin.

Keberadaan UUD NRI Tahun 1945 yang kini telah melalui proses perubahan, menyesuaikan dengan tuntutan reformasi, tidak boleh menjadi alasan untuk tabu pada upaya amandemen selanjutnya. Hal itu karena pada dasarnya, konstitusi, sebagaimana dikatakan K.C. Wheare, hanyalah resultante atau kesepakatan politik bangsa yang suatu saat dapat saja diubah sesuai dengan situasi poleksosbud (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) di masa kini. 

Keran untuk melakukan perubahan konstitusi, tidak berarti juga, dibuka secara “longgar”. Kita tentu setuju dengan pandangan K.C. Wheare bahwa cara perubahan konstitusi, harus dibuat sedemikian sulit, supaya tidak selalu diubah dengan mudah dan agar ide-ide dasar yang ditanamkan oleh para pendiri negara tetap kukuh. Akan tetapi, kerena konstitusi itu, di mana pun adalah resultante sesuai dengan poleksosbud-nya, maka tetap saja upaya ‘menyulitkan cara perubahan’ itu, tidak boleh sampai menutup peluang atau benar-benar menyulitkan untuk melakukan perubahan.[6]

Secara formal, UUD NRI Tahun 1945 sendiri, menyediakan prosedur perubahan konstitusi tersebut secara ketat. Hal itu terlihat jelas dengan dimuatnya mekanisme perubahan dalam Pasal  37 UUD NRI Tahun 1945. Di situ, ditegaskan bahwa perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR, jika diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah angggota MPR. Proses perubahan pun hanya dapat dilakukan jika sidang MPR tersbut dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD, hanya dapat dilakukan jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Ke depan, beberapa hal yang sekarang dapat diinventarisasi sebagai masalah yang perlu dipikirkan secara serius untuk dibenahi dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya adalah sebagai berikut:[7]
  1. Struktur sistematika UUD hasil amandemen yang tampak tak harmonis atau pincang;
  2. Eksesivitas beberapa putusan MK yang menimbulkan persoalan di lapangan, tetapi tidak ada instrument yang dapat meluruskannya;
  3. Tidak adanya lembaga pengawas eksternal bagi hakim-hakim MK karena Komisi Yudisial (KY) dinyatakan oleh MK sebagai lembaga yang tidak dapat mengawasi hakim-hakim MK;
  4. Tampilnya sistem presidensial yang bergaya parlementer yang harus diakhiri;
  5. Penegasan fungsi legislasi secara kelembagaan di dalam sistem presidensial. Tepatnya penguatan sistem presidensial, meskipun tidak harus mengikuti teori tertentu atau sistem di negara lain;
  6. Penguatan dan penegasan funsi KY sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga yudikatif;
  7. Kekosongan pengaturan apabila dalam pemilu presiden hanya ada satu pasangan calon  presiden/wakil presiden yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
  8. Kekosongan pengaturan apabila salah satu parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan pasangan calon  presiden/wakil presiden, tidak mengajukan pada waktu yang ditentukan sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat (3) UUD 1945.

Bertolak dari kebutuhan kehidupan bernegara dan berbangsa di masa kini, maka tidak ada kata “haram” untuk melakukan perubahan selanjutnya terhadap UUD NRI Tahun 1945. Meski begitu, mengingat kedudukan konstitusi sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perubahannya harus dilakukan melalui jalur yang konstitusional pula, ataupun dengan cara “luar biasa” dengan tetap menjamin bahwa tuntutan dan kebutuhan itu terwujud secara baik dan damai, semisal melalui mekanisme referendum.


[1] Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 257-258.
[2] Ibid., 258.
[3] Ni’matul Huda, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 132.
[4] Ibid., hlm. 152.
[5] Moh. Mahfud. MD., 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 144-147.
[6] Ibid., hlm. 177.
[7] Ibid., hlm. 193-194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar