Penampakan caleg itulah yang paling membuatku seolah terpenjara di ruang berhantu. Penampilannya sungguh menggerahkan dan memuakkan perasaanku. Itu karena secara pribadi, aku mengakrabinya dan cukup mengenalnya. Ia adalah mantan dosenku pada sebuah kampus swasta di tengah kota. Ia bahkan merupakan pembina organisasi mahasiswa daerahku, sebab kami berasal dari kecamatan yang sama. Karena itulah, keluargaku dan warga sedesaku senantiasa mempersinggungkan aku dengan dirinya.
Kenyataan
tersebut akhirnya membuatku harus menanggung beratnya beban tuntutan hidup. Orang-orang
terus saja membanding-bandingkan kehidupanku dengan kehidupannya. Mereka
menyesalkan keadaanku yang tampak tidak akan mampu memperoleh pencapaian-pencapaian
gemilang sepertinya. Mereka mengecap aku sebagai contoh orang gagal, sedang ia
adalah contoh orang sukses. Jangankan menjadi dosen dan mencoba peruntungan
menjadi caleg, untuk mendapatkan gelar sarjana saja, aku telah gagal.
Memang sudah dua tahun aku meninggalkan bangku kuliah. Aku berhenti dengan beralasan kalau aku kasihan kepada ibuku yang merupakan seorang janda yang tinggal seorang diri. Aku mengaku tak tega kalau ia terus-menerus menanggung sebagian ongkos kehidupanku di kota. Aku lantas menetap di desa dan membantunya mengurus kebun sayur-mayur kami. Hingga akhirnya, keluargaku dan para warga bisa memaklumi keputusanku. Mereka bahkan berbalik menganggap keputusanku sebagai sebuah langkah yang bijaksana.
Tetapi
sesungguhnya, semua itu hanya dalihku belaka. Sebenarnya, aku tetap bisa
melanjutkan kuliah dengan sokongan beasiswa dari pemerintah kabupatenku yang
membuatku terbebas dari iuran semester. Aku pun bisa menalangi biaya hidupku
dan sewa kos-kosanku dengan penghasilanku sebagai pramuniaga paruh waktu di
sebuah toko pakaian. Keadaan itu membuatku tak perlu membebani ibuku untuk soal
perongkosan, meski ia tetaplah bermurah hati membekaliku dengan uang hasil
kerjanya setiap kali aku hendak kembali ke kota.
Pada awal waktu aku jujur bahwa aku tak ingin lagi melanjutkan kuliah, ibuku sangat bersedih. Ia sungguh berharap aku menjadi seorang sarjana sebagaimana harapan almarhum ayahku. Namun setelah aku menguraikan kepelikan hidupku di kota yang mesti bekerja sambil kuliah, hingga mewanti-wanti kalau ia tak akan sanggup membiayaiku jikalau sampai sarjana, ia pun pasrah. Bahkan seiring waktu, ia makin maklum setelah ia menyaksikan kalau perkebunan sayur-mayur kami membuahkan hasil yang memuaskan atas kerja kerasku.
Dengan
keberhasilanku mengelola kebun, akhirnya, aku bisa memperoleh penghasilan yang
menggembirakan. Karena keadaan itu pula, ibuku jadi sering memintaku untuk
menikah. Ia mengaku sudah sangat ingin menimang cucu di usianya yang sudah
hampir 50 tahun.
"Sudah seharusnya kau berkeluarga, Nak," ketus Ibuku lagi, siang tadi, selepas kami dari pasar menjual semua hasil panen sayur kami berupa kacang panjang dan sawi.
Aku
menggeleng saja dengan perasaan lesu.
"Apa lagi yang kau tunggu, Nak?" sidiknya.
Aku
lantas melayangkan senyuman singkat untuk menyamarkan kekalutanku. "Kalau
aku merasa sudah siap dan merasa telah bertemu dengan orang yang tepat, aku
pasti menikah juga, Bu," kilahku.
Demikianlah keputusanku, sebab diam-diam, alasanku tak menikah adalah alasanku berhenti kuliah. Alasan itu adalah kegeramanku pada kenyataan hidupku di kota akibat perilaku biadab sang mantan dosenku yang tengah maju sebagai caleg. Dahulu, pria lajang itu mendekatiku dan menyenangkanku, agar aku bersetia di sampingnya. Ia kemudian membantuku mendapatkan beasiswa dari pemerintah kabupaten, agar aku merasa berutang budi kepadanya. Dan semua itu ia lakukan tiada lain supaya aku sedia menjadi objek untuk pelampiasan nafsunya.
Sejak
kami saling mengenal, aku merasa kalau ia memang tampak memperhatikan aku
secara khusus. Setiap kali bersama dalam urusan perkuliahan atau urusan
organisasi mahasiswa daerah kami, aku bisa membaca kalau ia menyenangiku. Dan tanpa
curiga, aku senang saja, sebab kupikir tak ada salahnya. Itu bahkan merupakan peluang
bagiku untuk mengembangkan diri.
Sampai akhirnya, saat kami akrab, pada satu malam, ia mengontakku dan memintaku menuju ke kamarnya di sebuah hotel kelas melati. Ia beralasan membutuhkan bantuanku untuk memeriksa tugas teman-teman sekelasku. Karena merasa itu wajar atas kedudukanku sebagai ketua kelas pilihannya sendiri, aku pun manut. Aku lalu berangkat ke hotel itu tanpa pikiran macam-macam.
Sekian
lama kemudian, setelah persoalan pemeriksaan tugas selesai, aku lalu pamit.
Tetapi dengan nada membujuk, ia memintaku tinggal. Aku kembali menurut. Hingga
akhirnya, lewat tengah malam, ketika lampu telah ia padamkan, ketika kami
tengah tidur berdua di atas kasur, ia pun melakukan aksi biadabnya. Ia
memelukku dari belakang, menciumi leherku, hingga meremas-remas bokongku.
Dengan begitu saja, aku mematung seperti batu. Aku seketika kehilangan daya untuk mengelak dan memberontak. Aku pun tak mampu meramu dan menuturkan alasan untuk menghindar dan melarikan diri. Karena itu, ia terus melakukan perbuatan bejatnya sekian lama. Ia terus menjamahku, meski tak sampai pada perlakuan terburuk, sebab tubuhku tetap memberikan gerakan-gerakan refleks yang mengesankan penolakanku.
Sampai
akhirnya, ia berhenti sendiri melancarkan aksi terornya. Ia lalu berurusan
dengan dirinya sendiri untuk meluruhkan syahwatnya. Setelah itu, ia tertidur,
sedangkan aku sekadar memejamkan mata tanpa bisa terlelap. Dan ketika pagi
datang, dengan begitu saja, kami malah mengobrol seperti biasa, seolah ia bukan
seorang peleceh dan aku bukan korbannya. Kami bahkan seiringan keluar hotel,
hingga berpisah di parkiran setelah saling berbalas salam.
Biadabnya, setelah kejadian kelam itu, ia masih juga berhasrat menjamahku. Dengan kuasanya sebagai dosenku dan seniorku di organisasi, ia acap kali memintaku mendatanginya dengan berbagai alasan. Aku pun senantiasa ragu untuk mengelak atas kekhawatiranku pada nilai kuliahku, juga beasiswaku. Akibatnya, kejadian serupa kembali terjadi sebanyak dua kali.
Hingga
akhirnya, sebelum mentalku benar-benar rusak, aku membulatkan tekad untuk
membebasakan diri dari jeratan setan itu. Aku lantas memblokir nomor teleponnya
dan akun media sosialnya. Aku kemudian pulang ke kampungku demi keluar dan
menjauh dari lingkungan kehidupannya. Aku pun menetap dan meninggalkan kuliahku
yang masih semester II.
Atas kisah kami, aku pun memahami kalau ia tidaklah sebaik dan sesuci tampakannya. Ia hanya seorang lelaki yang diperbudak nafsu sesatnya sendiri, sampai tega memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Ia hanya terlalu pandai menutupi kebusukannya, sehingga masih banyak orang yang memandangnya sebagai sosok yang baik dan terhormat.
Waktu
demi waktu, aku pun terus merahasiakan kenangan pahitku atas kebejatannya. Aku
tak pernah menceritakannya kepada siapa-siapa, sebab aku yakin itu hanya akan
terbaca sebagai tuduhan tak berdasar yang bisa membuatku diperkarakan secara hukum.
Apalagi, menceritakannya juga berarti mengoarkan kenyataan kalau aku adalah
korban dari perilaku seksual yang menjijikkan, dan aku merasa tak sanggup
menanggung malu.
Sampai akhirnya, kini, setelah aku merasa berdamai dengan rasa trauma, lelaki biadab itu malah kembali datang merongrongku. Ia muncul sebagai caleg dengan foto wajah yang bertebaran di lingkungan desaku. Karena itu, aku memutuskan untuk mengambil langkah perlawanan. Aku ingin menghancurkan masa depannya, sebagaimana ia menghancurkan masa depanku.
"Semoga
pada pemilihan mendatang, dosenmu itu terpilih sebagai anggota dewan,"
turut ibuku, di awal malam tadi, ketika kami sedang bersantap. “Aku pun akan memberikan
suaraku untuknya.”
"Kenapa Ibu mau memilihnya?" tanyaku, mengulik pandangannya.
"Aku
lihat-lihat, ia adalah orang yang baik dan alim. Ia sepertinya cocok menjadi
anggota dewan. Ya, siapa tahu juga, kau bisa dekat lagi dengannya dan
kecipratan rezekinya," balas ibuku, lantas tersenyum lepas. Ia memang
seperti warga yang lain, yang hanya melihat dan menilai sang caleg dari
foto-foto wajahnya yang tersebar di mana-mana.
Aku hanya balas tersenyum dengan perasaan miris menyaksikan kepolosannya dalam memandang figur politikus.
Terang
saja, aku prihatin atas pandangan ibuku dan warga desa yang lain. Aku jelas tak
mau caleg biadab itu terpilih dan bergembira di atas deritaku yang memilukan. Aku
tak ingin orang-orang terus meninggikannya sebagai sosok teladan setelah ia menghancurkan
kehidupanku, hingga aku belum juga sedia mengikatkan diri dalam hubungan yang
intim dengan lawan jenis.
Sampai akhirnya, lewat tengah malam ini, ketika lampu-lampu di rumah warga telah padam dan mereka tampaknya sudah terlelap, aku lalu berjalan menyusuri jalan desa untuk menarget alat peraga kempanye sang caleg bangsat. Dengan penuh dendam, tepat di foto-foto wajahnya, aku lalu membubuhkan tulisan dengan cat semprot: Homo Bangsat! Penjahat Kelamin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar