Kutahu
sedikit tentangmu secara tidak sengaja. Suatu hari, kau menemuiku dengan
tergesa-gesa, sambil membawakan bukuku yang tercecer di ruang perpustakaan
kampus. Jelas saja aku terkesan atas laku baikmu. Tapi kita tak sempat
berkenalan. Kau buru-buru untuk segera pergi. Namun yang kutahu, namamu Azril.
Itu terbaca pada papan nama jas organisasi yang engkau kenakan.
Ketika
malam menjelang di hari itu, tiba-tiba permintaan pertemananmu masuk di akun
Facebook-ku. Dengan senang hati, aku mengonfirmasinya. Lewat media sosial itu,
aku berharap kita saling mengenal. Apalagi kita sulit bertemu, sebab disiplin
ilmu yang kita geluti, berbeda.
Kita
pun melewati hari yang panjang untuk saling mengobrol. Seperti sangat dekat,
meski sebatas percakapan di dunia maya.
Tapi
belakangan ini, aku tiba-tiba merasa, kita akrab dengan cara yang salah. Tutur
katamu yang akrab lewat obrolan di Facebook, ternyata tak sejalan di dunia
nyata. Berulang kali sudah aku sengaja menampakkan diri padamu di perpustakaan
kampus, tapi kau bertingkah biasa saja.
Aku
pun menyerah memendam harapan padamu. Kuduga, seseorang telah merenggut
perhatianmu di dunia nyata, dan aku hanya jadi selinganmu di dunia maya.
Pesan-pesan yang kau kirimkan pun, kutanggapi seadanya. Berharap kau segera
menyadari kalau aku tak suka caramu membelah dunia kita.
Jadinya,
keadaan seperti buah simalakama. Sikapku tak menanggapimu secara antusias di
dunia maya, malah membuatmu jarang menghubungiku lagi seperti sebelumnya. Tapi
kurasa, keadaan itu lebih baik daripada sekadar memberi harapan palsu, walau
separuh jiwaku sebenarnya masih berharap kau menyatakan hubungan kita.
Dan
kini, aku masih dengan kebodohan yang sama. Menutup diri dan tak ingin
memaksakan apa pun padamu. Hanya memandang obrolan panjang kita di Facebook,
sambil mengingat-ingat kembali, betapa kita pernah mengobrol begitu intim.
Bercanda tanpa batas, dan saling berbagi tanpa rahasia apa-apa.
Kau
pasti tak tahu, tak pernah kulewatkan sehari pun tanpa mengintip kronologi Facebook-mu.
Aku selalu mawas, jika suatu waktu, kau mengunggah status yang menyiratkan
kesanmu padaku. Meski kenyataan pahit yang berulang harus kuterima, bahwa kau
tak melakukan pembaruan apa-apa. Sama dengan foto profilmu yang sejak dahulu,
hanya menampakkan tokoh kartun.
Kini,
semua kurasa hampa.
Tiba-tiba,
pada suatu hari, seorang menghampiriku. Dia adalah teman dekatmu. Aku tahu
sebab aku sering melihatmu bersamanya. Bahkan di hari pertama kita bertemu, di
perpustakaan kampus, dia juga bersamamu.
“Ini
buku untukmu,” tuturnya dengan sedikit gugup. Kuduga, dengan penampilannya yang
cupu, ia tak terbiasa berhadapan dengan seorang wanita. “Kau suka baca novel
kan?”
Aku
terima pemberiannya dengan sejuta tanya. “Ya, kadang-kadang, untuk mengisi
waktu senggang,” balasku, sambil merekahkan senyuman untuknya. Aku harap itu bisa
membuatnya bersikap tenang. “Terima kasih sebelumnya. Ini dari Azril kan?”
“Iya,
itu dari aku, Azril. Aku kira, kita sudah banyak mengobrol di dunia maya,”
jawabnya, sambil membetulkan posisi kacamatanya yang melorot. “Maaf jika kau
merasa tak senang lagi mengobrol denganku di Facebook.”
“Jadi,
kau adalah Azril?” tanyaku, butuh penegasan. Lalu mataku tertuju pada papan nama jas organisasi yang ia kenakan. Di sana tertulis: Azril.
Dia
mengangguk, “Iya,” jawabnya sambil tersenyum malu. “Apa boleh kita jalan-jalan
suatu waktu?”
Aku
tak habis pikir, mengobrol bersamanya berujung pada akhir yang serumit ini. “Kukira,
kita masih butuh waktu untuk saling mengenal,” balasku, lalu meninggalkannya dengan
rasa kasihan.
Sekarang
aku tahu, aku telah salah menerka tentang dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar