Senin, 17 Oktober 2016

Pesan Tak Bertuan

Pikiran Sumarsih melayang-layang. Ia penasaran atas rasa takutnya sendiri. Mempertanyakan kembali keyakinannya, setelah menyaksikan pertanda aneh secara bertubi-tubi. Sejumlah pesan dari pengirim misterius, seperti sengaja ditujukan padanya. Serangkaian teka-teki yang menguras emosi, tapi dipendamnya saja. Tak ada yang tahu, juga suaminya, Arlan. 

Mulanya, seminggu lalu, panggilan misterius lewat telepon rumah, mulai mengusiknya. Hampir tengah malam, kala suaminya lembur seperti biasa, telepon berdering. Setelah diangkat, tak ada suara apa-apa. Sampai akhirnya, panggilan itu berulang. Namun, tutur kata sang penelepon, sama sekali tak jelas. Gagap dan gagu. Ejaan katanya semrawut. Tak dimengerti apa maksudnya. 

Tak ada anggapan macam-macam di awalnya. Ia menganggap, si penelepon hanya iseng saja. Cuma tingkah kurang kerjaan dari anak-anak labil. Maka di hari-hari selanjutnya, ia tak menghiraukan panggilan itu lagi.

Tanggapannya berubah pada sesi yang lain. Pesan misterius kembali diterimanya dalam versi yang berbeda. Sebuah tulisan pada secarik kertas, didapatinya di depan pintu rumah. Sebuah surat kaleng, tanpa identitas pengirim. Isinya benar-benar membuatnya risih: Ibu, aku masih hidup. Tolong jangan bilang pada siapa-siapa. 

Ia jelas tak mengerti, apa maksud si pengirim. Tapi pesan itu, berhasil menggelitik kenangannya tentang kejadian memilukan di waktu silam. Sebuah peristiwa tragis yang menimpa ia sekeluarga. Namun, semua tak dihayatinya secara mendalam, sebab tak ada secuil ingatan pun tentang peristiwa mengerikan itu di memorinya. Ia hanya menerka-nerka dari pengisahan sang suami.

Seketika, sore itu, ia dilanda pilu atas kepergian anak semata wayangnya, Sander. Lelaki yang lahir delapan tahun lalu itu, meninggal secara tragis. Meski baru sehari tak bersua, rindunya sudah tak tertahankan. Ia pun menopang kaki pincangnya dengan tongkat, menuju ke halaman belakang rumah. Seperti biasa, ia hendak mengaduh lagi di samping peristirahatan terakhir sang anak.

“Sebulan berlalu, Ibu kok masih menangisinya?” tanya suaminya, Arlan, yang tiba-tiba muncul dari arah belakang tanpa aba-aba.

“Apa salahnya Pak? Aku hanya rindu padanya. Aku tak apa-apa,” balas Sumarsih, sambil menyeka air mata di pipinya. Hatinya jelas tak setangguh sang suami dalam merelakan kepergian anak mereka. 

“Ya, sudah kalau begitu. Tak usah menangis lagi. Aku jadi khawatir Bu,” sergah Arlan, lalu berjalan menghampiri istrinya yang tengah duduk beralas dedaunan.

Sumarsih pun menenangkan dirinya, lalu mendekap erat sang suami. Dalam pelukan hangat itu, ia tergelitik untuk membagi rahasianya. “Pak, aku merasakan ada yang aneh belakangan ini? Aku selalu membayangkan kalau Sander masih hidup.”

Arlan sontak mengulur pelukannya. “Ibu sudah gila? Sekarang, dia sudah tenang di alam lain! Berapa kali lagi aku harus mengulang cerita, kalau waktu kita mendaki gunung, Ibu dan Sander terpeleset dan jatuh ke jurang. Seketika juga, nyawanya melayang. Untunglah, ibu masih selamat,” tutur Arlan, sambil mengelus-elus bekas luka di punggung tangan dan dahi istrinya. “Aku mohon, Ibu jangan berkhayal lagi, apalagi berhalusinasi.”

“Baiklah, Pak,” tanggap Sumarsih. 

Ia pun sadar, telah salah bertutur. Jelas, sedari dulu, ia sudah tahu penyebab meninggalnya sang anak berdasarkan cerita suaminya. Tapi karena tak tahu kejadian senyatanya, pertanyaan tetap menumpuk di benaknya. Menurut cerita, kala itu, ia masih tak sadarkan diri, sampai akhirnya sang anak dikebumikan. 

Kini, ia bertekad untuk menutup rapat-rapat kegalauannya atas serangkaian pesan misterius itu. Semua ia lakukan agar sang suami tak cemas dan mengkhawatirkannya lagi. 

“Malan ini, aku ada pertemuan dengan rekan-rekan sekantor, Bu. Aku mungkin balik tengah malam. Ibu jaga diri baik-baik ya. Jangan pikir yang aneh-aneh lagi,” pesan Arlan.

Sumarsih menganggukkannya. Seperti biasa, setiap malam minggu, sang suami memang sering ada kegiatan. Jadinya, ia yang tak leluasa lagi bergerak, harus terbiasa ditinggal seorang diri di rumah. Ia tak bisa menolak, meski harus waspada, sebab suaminya kadang berubah perangai kala tiba di rumah.

Dan, malam pun tiba. Langit cerah, disinari bulan yang hampir bulat sempurna. Namun perasaan Sumarsih, gulita, dilanda kekalutan. Apalagi, sebuah panggilan misterius, baru saja diterimanya lagi melalui telepon rumah. Masih dari peneror dengan suara yang tak jelas. 

Sumarsih jadi tak bisa tidur. Rasa penasaran, menuntutnya untuk mencari jawaban. Ia pun bangkit tari tempat tidur, lalu segera mengecek kalau-kalau ada lagi surat misterius di depan pintu, sebagaimana sebelumnya, yang ada setelah panggilan misterius.

Jelas saja, di sana, ada secarik kertas berisi pesan, tanpa nama pengirim: Percayalah, aku belum mati. Ibu jangan takut. Aku ada di sekitar Ibu.

Rasa takut dan penasaran Sumarsih, seketika melunjak setelah membaca pesan itu. Ia tergantung di antara pilihan: percaya atau tidak atas kematian anaknya. Apalagi, terdapat boneka beruang berukuran kecil beserta surat itu. Persis seperti boneka kesayangan anaknya dahulu.

Akhirnya, Sumarsih tak bisa menahan perasaannya untuk segera mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, tentang apakah anaknya benar-benar telah meninggal. Ia pun segera menuju halaman belakang rumah untuk melakukan sebuah tindakan yang dianggap tabu: membongkar kuburan.

Saat tengah memacul gundukan tanah, terdengar suara gemerisik di sela-sela pepohonan. Sumarsih pun mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Tak ada apa-apa yang dilihatnya. Dipikirnya, mungkin hanya tangkai kayu dan dedaunan yang bergesekan, diterpa angin malam. 

Hujan deras yang menghujam tanah, pun tak menyurutkan hasrat keingintahuannya.

Dan pada akhirnya, ia tak menjumpai apa-apa di balik tanah yang selama ini disebut suaminya sebagai pembaringan terakhir sang anak. Isinya kosong.

“Apa yang Ibu lakukan, heh?” hardik Arlan, suaminya, yang muncul tiba-tiba dari arah belakang. Ia pulang lebih cepat dibanding malam minggu sebelumnya.  Seperti biasa, ia datang sembari menenteng sebotol minuman keras dan mengepulkan asap rokok. “Aku sudah peringatkan pada Ibu, tak usah memikirkan keberadaan anak kita lagi.”

Sumarsih balas membentak, “Kamu pembohong!” katanya, sambil menangis dan meronta-ronta. Baru kali ini, ia berani membentak sang suami saat sedang teler.

“Diam!” Arlan menyeringai, sambil menodongkan pistol di pelipis istrinya. Dengan kasar, ia menyeret sang istri ke dalam rumah, mengikatnya pada sebuah kursi tua, dan melampiaskan amarahnya. 

“Apa maksudmu membohongiku! Ayah macam apa kau ini?” tutur Sumarsih yang tak bisa apa-apa lagi.

“Sayang, sudahlah. Bukankah hidup kita lebih baik setelah anak itu tiada? Semua itu juga kulakukan demi martabat keluarga kita. Kau tahu sendiri, anak seperti itu, hanya akan membuat derajat keluarga kita jatuh dan terinjak-injak. Hina,” beber Arlan dengan nada suara yang dilemah-lembutkan. Sambil mengitari istrinya yang terikat, asap dan alkohol, silih berganti mengisi rongga mulutnya. “Lagian, kalau pun sebelumnya dia belum mati, aku yakin sekarang dia sudah mati. Orang suruhanku sedang mencarinya. Ya, kalau dapat, ia akan dikubur hidup-hidup.”

“Biadab kamu!” bentak Sumarsih, kemudian melecutkan ludah pada wajah suaminya yang berewokan.

“Kamu kaget? Kamu kira aku tak tahu tentang keanehan-keanehan itu? Tentang penelepon misteius dan surat tanpa nama, heh? Ini kan yang kau maksud,” tutur Arlan, lalu memampang secarik kertas bertuliskan: Ibu, Ayah jahat! Jangan percaya padanya. “Sudahlah sayang, kau harus mengiklaskannya.”

“Sadar kamu! Itu anak kandungmu juga Arlan!” Di bawah deru hujan, nada suara Sumarsih semakin meninggi, diselingi jeritan yang melengking. 

“Anak? Anak sialan itu, tak pantas jadi anakku. Sudah sepantasnya, anak macam dia disingkirkan saja, bukan begitu? Kau jangan membohongi kata hatimu!” ledek Arlan, lalu tertawa terbahak-bahak.  “Ya, tapi nyatanya, ia lolos juga dari ikatan penyenderaanku di gunung sialan terkutuk itu. Aku menyesal tak menghabisi nyawanya sekalian,” sambungnya, lalu menghempaskon botol di lantai. Gaduh. “Cerita ini hebat kan? Sadis! Kau pasti tak merasa kesakitan saat aku sengaja melukai tangan, dahi, atau kakimu, sayang. Kau terbius! Kasihan.” 

“Biadab kamu! Lepaskan aku!” pinta Sumarsih dengan tegas.

“Ok, kamu bisa lepas, andai aku bisa memegang janjimu bahwa kau tak akan membongkar rahasia kita ini kepada siapa-siapa. Dan tentu saja, biarkan anak itu lenyap. Kau sendiri tahu, jabatan dan nama baikku dipertaruhkan kalau orang lain tahu,” tawar Arlan, lalu duduk di kursi, menghadap istrinya yang tak berdaya. “Tapi sayang, aku tak bisa memercayaimu lagi. Kasihan sekali.

Sebisanya, Sumarsih hanya berontak, menangis, dan menjerit histeris, meminta pertolongan.

Dan tiba-tiba, rombongan polisi datang menyergap. Suasana sontak jadi kalang-kabut dan menegangkan. Arlan menjadikan nyawa istrinya sebagai tameng untuk meloloskan diri. Polisi hanya bisa menasihati pria setengah sadar itu. Nyawa Sumarsih, bisa melayang seketika, hanya dengan setarik pelatuk.

Tanpa terduga, dari arah halaman belakang rumah, sesosok anak dengan sigap menghantam tangan Arlan dengan balok. Pistol pun, lucut dari genggamannya. Ia hanya menjerit kesakitan, hingga polisi membekuknya. Ia tak bisa apa-apa lagi, kecuali meronta-ronta, membentak, dan memaki.

Dan kini, dua hati yang terpisahkan, ibu dan anak, Sumarsih dan Sander, saling menebus rindu. Hanyut dalam keharuan. Seperti hidup kembali, meski tak pernah ada yang benar-benar mati.

“Dasar anak terkutuk, buruk rupa, bisu, dungu! Harusnya kau mati sebelum dilahirkan ke bumi. Anak sialan!” bentak Arlan. Suaranya menggelegar, melawan deru angin dan hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar