Minggu, 02 Oktober 2016

Di Antara Kita

Kita terjebak di antara ketidakpastian. Mengapung di tengah waktu. Saling menggantungkan. Semua itu karena keengganan kita untuk jujur dari hati ke hati, tentang perasaan yang kita pendam. Sampai akhirnya, semua terlambat. Kita tak bisa apa-apa.

Awalnya, kukira perasaanku padamu bertepuk sebelah tangan. Aku menginginkanmu, tetapi tidak sebaliknya. Perasaanmu tawar padaku. Apalagi, tak ada tanda-tanda kau suka dan tersipu jika aku menunjukkan perhatian padamu. Kau tampak menanggapi dengan biasa saja.

Dugaan kalau kau tak mengharapkanku, lambat-laun kuteguhkan. Kusadari, kau hanya menganggapku sebagai teman biasa. Memperlakukanku sebagaimana teman-temanmu yang lain. Tapi sikap abaimu, adalah akar masalah. Karena cuekmu itulah, aku semakin terobsesi menaklukkan perasaanmu.

Langkah pertama yang kulakukan untuk meruntuhkan hatimu adalah memberikan respons berarti kepada seseorang yang kutahu betul begitu mengharapkanku. Dia adalah teman baikmu sendiri, Jeni. Aku berhasrat membuatmu cemburu, atau iri.

Cara itu kuanggap jitu. Jika pun tujuanku gagal, setidaknya kau merasa kesepian sebab kehilangan teman baik. Dengan cara itu, aku yakin kau akan mencari seseorang yang bisa menemanimu. Mungkin seorang lelaki yang juga bisa membuatmu bangga jadi seorang wanita. Bisa jadi aku. Kalau pun bukan, setidaknya kutahu jelas, ke mana hatimu tertambat.

Nyatanya, seiring waktu, modus yang kuterapkan, tak berarti apa-apa. Sikapmu tetap biasa saja. Tak seperti teman kita yang lain, yang senantiasa menyoraki nama kami berdua: Joni dan Jeni. Memaksaku untuk segera menyatakan perasaan pada dia yang sebenarnya tak kuharapkan, sebagaimana aku mengharapkanmu. 

Aku jadi semakin penasaran, apa tak sedikit pun celah untukku membuatmu sakit hati? 

“Hei, bagaimana kabarmu?” tanyaku, mendahuluimu, bermaksud basa-basi, saat kau tiba-tiba menemuiku di sudut kampus.

Kau menatapku tajam. Seperti kesal. Seakan ada sesuatu yang telah lama kau pendam, menumpuk, dan ingin kau ungkapkan secara bertubi-tubi.

“Apa pentingnya kau tahu tentang kabarku?” balasmu. Matamu nanar. “Sudahlah! Apa kau tak capek begini terus? Kau kira ini permainan yang menyenangkan, heh?”

“Maksudmu?” tanyaku, menebak-nebak kembali, kalau kau selama ini, ternyata memendam sakit hati. Cemburu atau iri melihat kedekatanku dengannya. “Apa aku pernah mempermainkanmu?”

 “Apa kau belum merasa puas?” Kau tampak semakin membenciku. “Aku mohon, tinggalkan Jeni!” tuturmu, lalu melangkah pergi, membawa tangismu.

Tiba-tiba saja, aku merasa telah melakukan dosa besar.

Tak lama berselang, Jeni datang menghampiriku. “Ada apa dengan Lira?” tanyanya padaku, sambil menyodorkan sebotol minuman dingin yang baru saja dibelinya dari kantin kampus.

Saat ini, hubungan kami, hanya teman biasa. Aku berusaha sekadar seperti itu, sebab dia bukanlah tujuanku.

“Entahlah. Dia hanya mencarimu, lalu pergi. Dia sepertinya buru-buru dan tak sabar harus menunggumu,” karangku, masih setengah was-was, sebab hampir saja dia mengetahui kenyataan sesungguhnya.

“Oh, paling dia minta ditemani ke toko buku. Kau tahu sendiri, dia belakangan bingung harus bagaimana menghabiskan waktu senggang,” duga Jeni.

“Memangnya dia belum punya hubungan spesial dengan seorang lelaki?” tanyaku, mencari kemungkinan untuk bisa mendekatimu dari awal.

“Sepertinya tak ada. Dia tak dekat dengan siapa pun lebih dari teman,” tutur Jeni dengan polosnya. “Kukira, dulu kalian ada hubungan spesial. Apalagi, kuduga, kau adalah lelaki yang ia idamkan. Syukurlah, sebab kau ternyata tak menginginkannya.”

“Ada-ada saja kamu. Memangnya dia pernah cerita tentangku?” korekku lagi, mencoba membongkar rahasia tentangmu.

“Entahlah. Aku hanya menduga. Katanya, dia menyukai seseorang. Tapi kau tahu sendiri, dia orang yang sangat pemalu. Dia pasti tak berani mengungkapkan perasaannya. Hanya bisa menunggu pernyataan yang tak pasti kapan terucap. Alasannya sih, demi menjaga pertemanan kami, sehingga dia tak ingin memiliki hubungan apa-apa dengan seorang lelaki. Tapi kukira, itu prinsip yang usang,” celoteh Jeni. “Sudahlah. Tak usah bahas itu lagi. Nanti malam, kita jadi ke toko buku kan?”

Aku jadi bertanya-tanya lagi, mungkinkah lelaki yang kau idamkan sejak dahulu adalah aku? “Maaf. Sepertinya aku tak bisa. Aku ada urusan penting malam ini.”

Jeni hanya terdiam. Murung. Kusadari, lagi-lagi, aku telah melukainya. Memberinya harapan semu.

Kusadari sudah, kesalahan besar telah kulakukan. Aku telah menorehkan luka pada hatimu dan hatinya, hanya untuk mewujudkan obsesiku sebagai lelaki penakluk. 

Maka, kisah di hari-hari selanjutnya, sebaiknya bukan tentang kita ataupun tentang kami. Aku tak ingin di antara kita, ada hati yang terluka: dia. Maka, biarlah tentang kita tetap dalam ketidakpastian. Begitulah yang terbaik.

“Kalau begitu, aku akan meghabiskan waktuku bersama Lira,” tuturnya, setengah kesal, seperti mengancam.

“Lebih baik begitu. Kau harus tetap menjadi teman yang baik untuknya,” pungkasku, sambil berencana untuk menjauhinya secara perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar