Kita
terjebak di antara ketidakpastian. Mengapung di tengah waktu. Saling
menggantungkan. Semua itu karena keengganan kita untuk jujur dari hati ke hati,
tentang perasaan yang kita pendam. Sampai akhirnya, semua terlambat. Kita tak bisa
apa-apa.
Awalnya,
kukira perasaanku padamu bertepuk sebelah tangan. Aku menginginkanmu, tetapi
tidak sebaliknya. Perasaanmu tawar padaku. Apalagi, tak ada tanda-tanda kau suka
dan tersipu jika aku menunjukkan perhatian padamu. Kau tampak menanggapi dengan
biasa saja.
Dugaan
kalau kau tak mengharapkanku, lambat-laun kuteguhkan. Kusadari, kau hanya
menganggapku sebagai teman biasa. Memperlakukanku sebagaimana teman-temanmu
yang lain. Tapi sikap abaimu, adalah akar masalah. Karena cuekmu itulah, aku
semakin terobsesi menaklukkan perasaanmu.
Langkah
pertama yang kulakukan untuk meruntuhkan hatimu adalah memberikan respons
berarti kepada seseorang yang kutahu betul begitu mengharapkanku. Dia adalah teman
baikmu sendiri, Jeni. Aku berhasrat membuatmu cemburu, atau iri.
Cara
itu kuanggap jitu. Jika pun tujuanku gagal, setidaknya kau merasa kesepian
sebab kehilangan teman baik. Dengan cara itu, aku yakin kau akan mencari
seseorang yang bisa menemanimu. Mungkin seorang lelaki yang juga bisa membuatmu
bangga jadi seorang wanita. Bisa jadi aku. Kalau pun bukan, setidaknya kutahu
jelas, ke mana hatimu tertambat.
Nyatanya, seiring waktu, modus
yang kuterapkan, tak berarti apa-apa. Sikapmu tetap biasa saja. Tak seperti
teman kita yang lain, yang senantiasa menyoraki nama kami berdua: Joni dan Jeni.
Memaksaku untuk segera menyatakan perasaan pada dia yang sebenarnya tak
kuharapkan, sebagaimana aku mengharapkanmu.
Aku
jadi semakin penasaran, apa tak sedikit pun celah untukku membuatmu sakit hati?
“Hei,
bagaimana kabarmu?” tanyaku, mendahuluimu, bermaksud basa-basi, saat kau
tiba-tiba menemuiku di sudut kampus.
Kau
menatapku tajam. Seperti kesal. Seakan ada sesuatu yang telah lama kau pendam,
menumpuk, dan ingin kau ungkapkan secara bertubi-tubi.
“Apa
pentingnya kau tahu tentang kabarku?” balasmu. Matamu nanar. “Sudahlah! Apa kau
tak capek begini terus? Kau kira ini permainan yang menyenangkan, heh?”
“Maksudmu?”
tanyaku, menebak-nebak kembali, kalau kau selama ini, ternyata memendam sakit
hati. Cemburu atau iri melihat kedekatanku dengannya. “Apa aku pernah
mempermainkanmu?”
“Apa kau belum merasa puas?” Kau tampak
semakin membenciku. “Aku mohon, tinggalkan Jeni!” tuturmu, lalu melangkah pergi,
membawa tangismu.
Tiba-tiba
saja, aku merasa telah melakukan dosa besar.
Tak lama berselang, Jeni datang menghampiriku. “Ada
apa dengan Lira?” tanyanya padaku, sambil menyodorkan sebotol minuman dingin
yang baru saja dibelinya dari kantin kampus.
Saat
ini, hubungan kami, hanya teman biasa. Aku berusaha sekadar seperti itu, sebab
dia bukanlah tujuanku.
“Entahlah.
Dia hanya mencarimu, lalu pergi. Dia sepertinya buru-buru dan tak sabar harus
menunggumu,” karangku, masih setengah was-was, sebab hampir saja dia mengetahui
kenyataan sesungguhnya.
“Oh,
paling dia minta ditemani ke toko buku. Kau tahu sendiri, dia belakangan
bingung harus bagaimana menghabiskan waktu senggang,” duga Jeni.
“Memangnya
dia belum punya hubungan spesial dengan seorang lelaki?” tanyaku, mencari
kemungkinan untuk bisa mendekatimu dari awal.
“Sepertinya
tak ada. Dia tak dekat dengan siapa pun lebih dari teman,” tutur Jeni dengan
polosnya. “Kukira, dulu kalian ada hubungan spesial. Apalagi, kuduga, kau adalah
lelaki yang ia idamkan. Syukurlah, sebab kau ternyata tak menginginkannya.”
“Ada-ada
saja kamu. Memangnya dia pernah cerita tentangku?” korekku lagi, mencoba
membongkar rahasia tentangmu.
“Entahlah.
Aku hanya menduga. Katanya, dia menyukai seseorang. Tapi kau tahu sendiri, dia
orang yang sangat pemalu. Dia pasti tak berani mengungkapkan perasaannya. Hanya
bisa menunggu pernyataan yang tak pasti kapan terucap. Alasannya sih, demi
menjaga pertemanan kami, sehingga dia tak ingin memiliki hubungan apa-apa
dengan seorang lelaki. Tapi kukira, itu prinsip yang usang,” celoteh Jeni.
“Sudahlah. Tak usah bahas itu lagi. Nanti malam, kita jadi ke toko buku kan?”
Aku
jadi bertanya-tanya lagi, mungkinkah lelaki yang kau idamkan sejak dahulu
adalah aku? “Maaf. Sepertinya aku tak bisa. Aku ada urusan penting malam ini.”
Jeni
hanya terdiam. Murung. Kusadari, lagi-lagi, aku telah melukainya. Memberinya
harapan semu.
Kusadari
sudah, kesalahan besar telah kulakukan. Aku telah menorehkan luka pada hatimu
dan hatinya, hanya untuk mewujudkan obsesiku sebagai lelaki penakluk.
Maka,
kisah di hari-hari selanjutnya, sebaiknya bukan tentang kita ataupun tentang
kami. Aku tak ingin di antara kita, ada hati yang terluka: dia. Maka, biarlah
tentang kita tetap dalam ketidakpastian. Begitulah yang terbaik.
“Kalau
begitu, aku akan meghabiskan waktuku bersama Lira,” tuturnya, setengah kesal, seperti mengancam.
“Lebih
baik begitu. Kau harus tetap menjadi teman yang baik untuknya,” pungkasku,
sambil berencana untuk menjauhinya secara perlahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar