Dingin
menusuk saat cerita ini dituliskan. Satu cerita yang terbingkai dalam hujan
sendu bulan Januari. Cerita tentang kau dan seorang lelaki yang jatuh cinta kepadamu.
Sosok yang hadir memisahkan kalian dengan mereka yang lain. Sebuah cerita
pendek tentang kau dan dia, berdua saja, meski jalan ceritanya, ditulis hanya dengan
pandangan sepihak darinya.
Dikisahkanlah,
dia, seorang lelaki yang biasa saja, memendam perasaan yang begitu dalam kepadamu. Sudah begitu lama. Jauh sebelum kau menyadari kehadirannya di antara
begitu banyak sosok yang melingkupi kehidupanmu. Jauh sebelum ingatanmu
terangsang untuk merekam apa pun tentang sosoknya. Bahkan dengan sangat
berlebihan, ia mengaku diri telah mencintaimu, sebelum kalian terlahir ke
dunia, sejak di alam hakikat.
Dan,
sejak pertama kali menatapmu di kampus, mulailah ia merasa, berada dalam proses
pengingatan kembali. Entah bagaimana, pandangannya seketika tertuju pada kau
yang berada di antara ratusan mahasiswa baru dengan penampilan serupa. Di
satu sisi yang jauh, ia memandangimu lekat-lekat. Penuh keseganan, sampai ia
lupa pada statusnya sebagai senior. Dan seiring debaran jantung, yakinlah ia, Tuhan
telah menampakkan belahan jiwanya di dunia.
Pengamatan
terselubung itu, jelas tak kau sadari. Apalagi pengisahan cerita kalian, memang
berlangsung sepihak. Hanya dari dirinya. Tak ada sesi perkenalan yang akan
membuat kau menganggap cerita itu sebagai kenangan bersama. Tapi bukan berarti
bertepuk sebelah tangan. Semua kemungkinan tentang pertautan hati kalian, masih
mungkin terjadi. Takdir gelap dan menegangkan itu, hanya dibatasi oleh bentangan
rasa malu yang menyelubungi dirinya sendiri.
Dalam
waktu-waktu yang bergulir, ia pun semakin terseret ke dalam kubangan khayalan liar.
Tak ada hari berlalu tanpa menemuimu dalam ruang imaji. Tanpa bosan, ia menguntitmu
di media sosial, lalu merasa-rasa diri tersinggung atas setiap unggahanmu. Tanpa merasa
hina, ia kemudian menyeretmu dalam dunia yang semu. Mengajakmu berkenalan,
mengobrol, jalan-jalan, sampai memintamu jadi seorang kekasih, berlangsung terus dalam dunia imajinasinya.
Sepanjang
aksi spionase itu, ia memang tak mendapatkan apa-apa, selain bahwa ia lebih
mengerti tentang lelaki yang kau idam-idamkan. Semua itu ia ketahui dari bilik
penampungan keluh kesahmu sehari-hari, di berbagai lini media sosial. Dan,
berusahalah ia menjadi sosok lelaki yang selama ini kau cita-citakan. Ia
memaksa diri membaca buku banyak-banyak, menulis cerita pendek beberapa kali,
hingga berlatih bermain gitar, agar kelak, kau merasa telah menemukan pria
idamanmu, kala perkenalan benar-benar berlangsung di dunia nyata.
Dan
akhirnya, sampailah ia di satu momen yang sangat istimewa, hanya menurut
perasaannya sendiri. Di satu hari, ia bertemu denganmu di sebuah pelataran kampus
yang lengang, di bawah percikan hujan bulan Januari. Kalian berpapasan, hanya
berdua, dalam suasana hening, di tengah deru hatinya yang mengguncang. Dia
menatapmu sepanjang jarak, hingga kau pun balas menatapnya di jarak terdekat,
sembari memicingkan mata rabunmu yang tanpa kacamata.
Cukup
dengan raut wajahmu yang bersahabat di momen perpapasan itu, ia merasa tak
perlu menunggu bulan Januari berlalu untuk melakukan sedikit langkah maju. Dan
dengan penuh percaya diri, ia memohonkan jalinan komunikasi dua arah padamu, di
sebuah platform media sosial yang bersifat sepihak. Hingga, kau pun mewujudkan
harapannya, hanya dalam hitungan jam. Maka menjalarlah keakuannya, seperti
jamur-jamur yang tumbuh di musim hujan.
Imbas
kegilaannya pun, berlanjut. Tak ada malam yang ia lalui tanpa mengunggah bentuk
perasaannya padamu, melalui status-status yang ia gubah sesastrais mungkin. Ia
berharap kau mengeja alur perasaannya dengan rasa berbunga-bunga, meski kau
tak harus menunjukkannya dengan memberi balasan atau tanggapan dalam bentuk
apa pun. Baginya, mengutarakan perasaan di media sosial, meski tak berbalas,
terhitung cukup untuk menenangkan perasaan.
Jauh
dari apa yang ia perkirakan, kau ternyata menunjukkan sikap
yang sangat bersahabat di media sosial. Berberapa kali kau menanggapi status yang ia unggah,
dan ia merasa, itu semacam berkah yang tak ternilai. Membuatnya merasa menjadi
lelaki paling beruntung di dunia. Dan hari demi hari, ia menunjukkan gejala
ketidakwarasan yang berbahaya. Ada indikasi bahwa ia betah menggantung dirinya
sendiri di antara ilusi dan kenyataan, sampai tak sadar jadi gila.
“Jangan
terlalu merasa. Dia mungkin tak bermaksud apa-apa padamu.” Satu peringatan
untuknya, setelah ia menguraikan secara detail kisah hidupnya yang serupa
cerita fiksi.
Tapi dengan
sikap tak peduli, ia tetap bersikukuh bahwa kau juga punya benih perasaan padanya,
yang hanya butuh sekelumit kondisi untuk tumbuh jadi subur. “Apalagi yang perlu
diragukan. Jelas, ia punya ketertarikan padaku!”
“Bukti
nyata apa yang membuatmu yakin, bahwa ia menyukaimu. Apa kau pernah bersalaman,
mengobrol, hingga menyatakan perasaan padanya? Tidak kan? Lalu, apa yang
membuatmu yakin bahwa kau tak akan salah menerka?” Satu bantahan lagi, agar ia
sudi berpikir jernih, dan tak memastikan apa-apa sebelum bertindak.
Mulutnya
pun tercekat. Seakan-akan tak punya balasan, kecuali ia bersedia mengakui kekeliruannya, sebab telah menanggapi tanda-tanda darimu secara berlebihan.
“Rasa suka yang tak terkontrol, memang bisa
membuat orang lupa diri.” Kemudian, terbersitlah satu saran terbaik, sebagaimana
akan terpikirkan oleh orang waras pada umumnya. “Tidakkah sebaiknya kau mulai
keluar dari dunia imajinasimu? Berhentilah sekadar menjadi pengagum! Berhentilah jadi
penulis pengecut, yang hanya bisa jujur lewat kata-kata tertulis! Sudah semestinya kau menyampaikan perasaanmu secara langsung kepadanya!”
Seketika,
ia tampak kalut. Matanya menatap kosong pada layar laptop. Ia jadi bingung
harus menjawab apa. Bingung membuat narasi ataupun dialog cerita selanjutnya. Bingung,
setelah sadar berada dalam ketidakyakinan yang logis tentang masa depan, bersamamu.
Di
dalam kekalutan, ia pun mendiamkan cerita yang masih menggantung. Ia lalu menghempaskan
badan ke sandaran kursi, menghela dan mengembuskan napas yang dalam, kemudian
mengambil gitar berwarna merah yang tergeletak di sebelah kirinya. Dan untuk
kisah tentang dia dan kau, satu kisah yang tak tahu akan berujung ke mana, ia pun menyanyikan lagi Gigi-11 Januari, diiringi petikan gitarnya sendiri.
Dan
di bulan Januari ini, fase awal cerita sepihaknya bersamamu, berakhir
setelah tanda titik terakhir, bersamaan dengan matinya aku sebagai sosok
pencerita yang ia peralat hanya untuk menghindari penyebutan “aku”, orang pertama
dalam cerita, sebab ia khawatir jika kau membaca jelas bahwa cerita ini
bukanlah rekayasa, tentang dirinya.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar