Selasa, 25 Oktober 2016

Sepasang Nama

Aku beruntung punya teman sebaik Riana. Selalu menyenangkan dalam segala hal. Menjadi tempatku berkeluh-kesah tiap kali ada masalah. Karenanya, cerita hidupku soal pendidikan, keluarga, hingga pria idaman, telah kubagi padanya. Menjadikan dirinya sebagai saksi hidup tentang semua masalah kehidupanku. 
 
Sebaliknya, dia juga tampak senang hati bersahabat denganku. Menjadikanku bagian dari masalahnya. Sabar mendengar dan menanggapi segala kegundahannya tiap waktu. Apalagi, ia adalah perempuan yang rapuh. Sosok yang gampang tertarik dan memusingkan lawan jenis. Mudah dirundung kegundahan hati yang diistilahkannya jatuh cinta. Entah sudah berapa kali ia berganti pria idaman.

Soal relasi spesial dengan lawan jenis, nasibnya lebih mujur daripada aku. Sikapnya yang terbuka, membuat ia berhasil menjatuhkan diri ke dalam pelukan beberapa lelaki. Tak sedikit pun ia merasa sungkan berbagi rahasia hati pada lelaki yang diidamkannya, tentang perasaan. Ditambah lagi, ia terbiasa bertutur lugas. Jika terlanjur suka, maka kelancangan pun dilakukannya. Ia jelas tak tahan memendam perasaan.

Mentalku jauh berbeda dengannya. Aku hanya perempuan pemalu yang untuk memastikan kepastian saja, tak berani. Entah berapa kali sudah seseorang bermaksud mendekatiku, tapi aku memilih menjauh. Pastilah, aku juga telah berhasil mematahkan hati sejumlah lelaki, jika rasa suka selalu disamakan dengan cinta. Tapi aku memilih berbeda. Yang jelas, aku punya prinsip tak lazim dalam merajut cinta.

“Jeni, kau tahu Rifki, teman sekampus kita yang terkenal baik dan jenius? Aku berpacaran dengannya sekarang,” tutur Riana, tampak begitu senang. “Beberapa hari lagi, ia akan melamarku, lalu kami menikah.”

“Apa?” Aku tak yakin atas apa yang kudengar. “Maksudmu, Rifki si pria berkacamata itu?”

“Iya, yang itu! Kau pasti kenal dengannya. Itu, lelaki yang pendiam dan misterius,” terangnya, semringah. Menampakkan kawat gigi yang melingkar di kedua sisi giginya.

Aku jelas mengenal sosok lelaki yang dimaksud Riana. Sosok itulah yang selama ini kukagumi secara diam-diam. Lelaki sederhana yang kutahu tak pernah dekat dengan seorang wanita pun. Si kutu buku yang kuduga lebih tertarik menyorot kertas huruf-huruf daripada memerhatikan detail penampilan seorang wanita. 

Kenyataan yang diungkapkan Riana, terasa seperti ketidakadilan bagiku. Tak kuduga, Rifki akan jatuh di pelukannya. Itu membuatku menyesal jadi wanita pengalah yang hanya bisa diam dan menunggu. Membiarkan lelaki yang diidaman-idamkan, digoda dan ditaklukkan begitu saja. 

Mungkin benar, bahwa cinta yang baik, kadang jatuh pada hati yang salah. Waktu melemahkan segalanya, termasuk keteguhan hati. Dan kini, aku pun tak percaya lagi ungkapan lelaki misterius itu di akun media sosialnya: Selain dirimu yang namanya dipasangkan dengan namaku di surat takdir, aku tak ingin menggenggam hati yang lain, biarpun cuma singgah. Aku tak ingin mencintaimu dengan hati yang mendua. 

“Kau memang beruntung. Syukurlah, tak lama lagi, kau akan menghentikan kebiasaanmu menggoda para lelaki lemah,” candaku.

Riana tertawa. “Kau tak masalah kan kalau aku dengan Rifki?”

Aku menggeleng. Tersenyum sepintas untuk menyembunyikan kekecewaanku.

Tak lama berselang, nada pesan telepon genggamku, berbunyi. Sebuah pesan masuk dari ibuku. Ia memintaku untuk segera pulang. Katanya, ada pinangan seorang lelaki dari kota untukku. Kutanya namanya, tapi ia tak ingat. 

Sekarang, aku jadi bingung, antara menerima cinta yang sama sekali tak kukenal, ataukah memaksakan cinta yang jelas-jelas telah mendua.

“Ada apa?” tanya Riana.

“Ada seseorang yang datang melamarku di kampung,” jawabku, setengah mati.

“Terima saja. Aku yakin kau tak akan menyesal. Itu kan sejalan dengan prinsipmu, bahwa lelaki yang benar-benar mencintai seorang wanita, adalah lelaki yang datang melamar, bukan yang menyebar gombalan sampah,” tuturnya, seperti meledek.

Aku semakin galau. Tapi dalam hati, kuputuskan untuk mengiyakan lamaran si lelaki yang belum kutahu namanya. Aku yakin, itulah yang terbaik. Apalagi, tak ada gunanya aku mengharapkan Rifki yang jelas-jelas telah mendua, dengan teman baikku sendiri. Aku tak ingin menjadi yang kedua di hatinya.

Dan, sebuah pesan singkat dari ibuku, masuk lagi lewat telepon genggamku: Aku baru ingat, Nak. Nama lelaki yang hendak menjadi suamimu adalah Rifki Zanxiori. Katanya dia kenal kamu di kampus.

Tiba-tiba, kekalutan melandaku lagi. Seperti hendak bernapas kala tenggelam, sedangkan permukaan laut, masih jauh di atas.

“Apa kau mengetahui kalau ada lelaki lain bernama Rifki Zanxiori selain Rifki, pacarmu?”

“Setahuku tidak ada. Kenapa memang? Dia melamarmu?” tanya Jeni dengan raut wajah yang menyebalkan seperti biasa. “Terima saja!”

Di wajahnya, aku melihat kepura-puraan. Akhirnya aku yakin, sedari awal perbincangan ini, ia mempermainkanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar