Aku
beruntung punya teman sebaik Riana. Selalu menyenangkan dalam segala hal.
Menjadi tempatku berkeluh-kesah tiap kali ada masalah. Karenanya, cerita
hidupku soal pendidikan, keluarga, hingga pria idaman, telah kubagi padanya.
Menjadikan dirinya sebagai saksi hidup tentang semua masalah kehidupanku.
Sebaliknya, dia juga tampak senang hati bersahabat denganku. Menjadikanku bagian dari masalahnya.
Sabar mendengar dan menanggapi segala kegundahannya tiap waktu. Apalagi, ia
adalah perempuan yang rapuh. Sosok yang gampang tertarik dan memusingkan lawan
jenis. Mudah dirundung kegundahan hati yang diistilahkannya jatuh cinta. Entah
sudah berapa kali ia berganti pria idaman.
Soal
relasi spesial dengan lawan jenis, nasibnya lebih mujur daripada aku. Sikapnya
yang terbuka, membuat ia berhasil menjatuhkan diri ke dalam pelukan beberapa
lelaki. Tak sedikit pun ia merasa sungkan berbagi rahasia hati pada lelaki yang
diidamkannya, tentang perasaan. Ditambah lagi, ia terbiasa bertutur lugas. Jika
terlanjur suka, maka kelancangan pun dilakukannya. Ia jelas tak tahan memendam
perasaan.
Mentalku
jauh berbeda dengannya. Aku hanya perempuan pemalu yang untuk memastikan
kepastian saja, tak berani. Entah berapa kali sudah seseorang bermaksud
mendekatiku, tapi aku memilih menjauh. Pastilah, aku juga telah berhasil
mematahkan hati sejumlah lelaki, jika rasa suka selalu disamakan dengan cinta. Tapi
aku memilih berbeda. Yang jelas, aku punya prinsip tak lazim dalam merajut cinta.
“Jeni,
kau tahu Rifki, teman sekampus kita yang terkenal baik dan jenius? Aku
berpacaran dengannya sekarang,” tutur Riana, tampak begitu senang. “Beberapa
hari lagi, ia akan melamarku, lalu kami menikah.”
“Apa?”
Aku tak yakin atas apa yang kudengar. “Maksudmu, Rifki si pria berkacamata
itu?”
“Iya,
yang itu! Kau pasti kenal dengannya. Itu, lelaki yang pendiam dan misterius,”
terangnya, semringah. Menampakkan kawat gigi yang melingkar di kedua sisi
giginya.
Aku
jelas mengenal sosok lelaki yang dimaksud Riana. Sosok itulah yang selama ini
kukagumi secara diam-diam. Lelaki sederhana yang kutahu tak pernah dekat dengan
seorang wanita pun. Si kutu buku yang kuduga lebih tertarik menyorot kertas
huruf-huruf daripada memerhatikan detail penampilan seorang wanita.
Kenyataan
yang diungkapkan Riana, terasa seperti ketidakadilan bagiku. Tak kuduga, Rifki
akan jatuh di pelukannya. Itu membuatku menyesal jadi wanita pengalah yang
hanya bisa diam dan menunggu. Membiarkan lelaki yang diidaman-idamkan, digoda
dan ditaklukkan begitu saja.
Mungkin
benar, bahwa cinta yang baik, kadang jatuh pada hati yang salah. Waktu
melemahkan segalanya, termasuk keteguhan hati. Dan kini, aku pun tak percaya
lagi ungkapan lelaki misterius itu di akun media sosialnya: Selain dirimu yang namanya dipasangkan
dengan namaku di surat takdir, aku tak ingin menggenggam hati yang lain,
biarpun cuma singgah. Aku tak ingin mencintaimu dengan hati yang mendua.
“Kau
memang beruntung. Syukurlah, tak lama lagi, kau akan menghentikan kebiasaanmu
menggoda para lelaki lemah,” candaku.
Riana
tertawa. “Kau tak masalah kan kalau aku dengan Rifki?”
Aku
menggeleng. Tersenyum sepintas untuk menyembunyikan kekecewaanku.
Tak
lama berselang, nada pesan telepon genggamku, berbunyi. Sebuah pesan masuk dari
ibuku. Ia memintaku untuk segera pulang. Katanya, ada pinangan seorang lelaki
dari kota untukku. Kutanya namanya, tapi ia tak ingat.
Sekarang,
aku jadi bingung, antara menerima cinta yang sama sekali tak kukenal, ataukah
memaksakan cinta yang jelas-jelas telah mendua.
“Ada
apa?” tanya Riana.
“Ada
seseorang yang datang melamarku di kampung,” jawabku, setengah mati.
“Terima
saja. Aku yakin kau tak akan menyesal. Itu kan sejalan dengan prinsipmu, bahwa
lelaki yang benar-benar mencintai seorang wanita, adalah lelaki yang datang
melamar, bukan yang menyebar gombalan sampah,” tuturnya, seperti meledek.
Aku
semakin galau. Tapi dalam hati, kuputuskan untuk mengiyakan lamaran si lelaki
yang belum kutahu namanya. Aku yakin, itulah yang terbaik. Apalagi, tak ada
gunanya aku mengharapkan Rifki yang jelas-jelas telah mendua, dengan teman
baikku sendiri. Aku tak ingin menjadi yang kedua di hatinya.
Dan,
sebuah pesan singkat dari ibuku, masuk lagi lewat telepon genggamku: Aku baru ingat, Nak. Nama lelaki yang hendak
menjadi suamimu adalah Rifki Zanxiori. Katanya dia kenal kamu di kampus.
Tiba-tiba,
kekalutan melandaku lagi. Seperti hendak bernapas kala tenggelam, sedangkan
permukaan laut, masih jauh di atas.
“Apa
kau mengetahui kalau ada lelaki lain bernama Rifki Zanxiori selain Rifki, pacarmu?”
“Setahuku
tidak ada. Kenapa memang? Dia melamarmu?” tanya Jeni dengan raut wajah yang
menyebalkan seperti biasa. “Terima saja!”
Di
wajahnya, aku melihat kepura-puraan. Akhirnya aku yakin, sedari awal
perbincangan ini, ia mempermainkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar