Senin, 31 Oktober 2016

Peringatan Tanpa Khidmat

Waktu terus berulang dalam ukuran tertentu. Dalam hitungan jam, hari, bulan, hingga tahun. Perulangan itu, lalu menghadirkan nuansa nostalgia. Selalu ada peristiwa yang dianggap penting untuk dikenang. Maka, setiap kali momennya tiba, diperingatilah dengan berbagai cara. Mungkin untuk dirayakan, atau juga diresapi.
 
Manusia jelas tak luput dari beragam peringatan. Ruang lingkupnya pun beragam. Ada peringatan skala individu, ataupun skala kemasyarakatan. Selain itu, peringatan juga melingkupi segenap dimensi kehidupan. Peringatan dapat dijumpai dalam ruang keagamaan, kebudayaan, politik, dan sebagainya.

Jika merujuk pada makna kebahasaannya, peringatan memiliki makna teguran. Peringatan menyimbolkan kejadian tententu yang dinilai penting dan tak boleh dilupakan. Penting sebab mengandung pelajaran hidup yang berguna. Bisa dijadikan pedoman untuk mawas diri, agar tak terjerembat pada lubang keburukan. 

Berbicara tentang peringatan, berarti terkait erat dengan perihal memelihara sejarah. Di dalamnya, ada upaya untuk memperbarui ingatan tentang nilai-nilai masa lalu. Namun sayangkan, unsur esensial inilah, yang sering diabaikan. Itu karena peringatan dilakukan sekadar perayaan, tanpa berkhidmat. 

Peringatan tanpa berkhidmat adalah jalan menuju kehampaan. Peringatan hanya diisi dengan tindakan foya-foya sesaat, lalu selanjutnya tak berarti apa-apa. Hanya jadi serupa hura-hura. Ataukah kekosongan itu karena peringatan hanya dijadikan ajang “balas dendam”, ketimbang sebagai momentum untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kehidupan masa lalu. 

Peringatan hari kelahiran atau hari raya keagamaan menjadi contoh peringatan yang sering kali diisi dengan kebiasaan tak berkhidmat. Setidaknya, itulah yang mewakili peringatan sebagai ajang hura-hura, dan peringatan sebagai ajang balas dendam. Di dalamnya, tak ditemukan makna dan semangat hidup yang baru, karena hakikat peringatan dilupakan.

Contoh nyata yang masih hangat tentang peringatan tak berkhidmat, terlihat di Hari Sumpah Pemuda. Pada hari di mana semua pemuda harusnya merefleksikan kedudukan mereka untuk kemajuan bangsa dan negara, yang terjadi malah sebaliknya. Salah satunya adalah aksi pembakaran beberapa sepeda motor oleh mahasiswa yang sama sekali tak ada korelasinya dengan semangat Sumpah Pemuda.

Di titik yang kritis ini, perlu dilakukan penyadaran kembali, bahwa peringatan harus berangkat dari hakikat sebuah peristiwa. Peringatan hari-hari kenegaraan, seyogianya memperkokoh nasionalisme. Peringatan hari keagamaan, seharusnya memuliakan budi pekerti. Peringatan hari kelahiran, mestinya mengingatkan pada kematian. Banyak lagi.

Peringatan, dengan begitu, sudah saatnya didudukkan kembali sebagai momentum untuk menyentuh “keakuan”. Setiap peringatan, harusnya mampu membarui jiwa setiap insan, sejalan dengan hakikat peristiwa yang diperingati. Meski secara kasat mata melibatkan banyak orang, peringatan harus selalu didudukkan sebagai refleksi berbasis individual.

Akhirnya, keberhasilan sebuah peringatan, tak boleh lagi dilihat pada seberapa banyak orang yang “turut meramaikan”, tapi apakah setiap orang yang turut, berhasil memetik pelajaran hidup, lalu mewujudkannya dalam tindakan nyata. Intinya, peringatan harus meremajakan kembali hati dan pikiran seseorang, meski melalui cara-cara yang senyap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar