Waktu
terus berulang dalam ukuran tertentu. Dalam hitungan jam, hari, bulan, hingga
tahun. Perulangan itu, lalu menghadirkan nuansa nostalgia. Selalu ada peristiwa
yang dianggap penting untuk dikenang. Maka, setiap kali momennya tiba, diperingatilah
dengan berbagai cara. Mungkin untuk dirayakan, atau juga diresapi.
Manusia
jelas tak luput dari beragam peringatan. Ruang lingkupnya pun beragam. Ada
peringatan skala individu, ataupun skala kemasyarakatan. Selain itu, peringatan
juga melingkupi segenap dimensi kehidupan. Peringatan dapat dijumpai dalam ruang
keagamaan, kebudayaan, politik, dan sebagainya.
Jika
merujuk pada makna kebahasaannya, peringatan memiliki makna teguran. Peringatan
menyimbolkan kejadian tententu yang dinilai penting dan tak boleh dilupakan.
Penting sebab mengandung pelajaran hidup yang berguna. Bisa dijadikan pedoman
untuk mawas diri, agar tak terjerembat pada lubang keburukan.
Berbicara
tentang peringatan, berarti terkait erat dengan perihal memelihara sejarah. Di
dalamnya, ada upaya untuk memperbarui ingatan tentang nilai-nilai masa lalu.
Namun sayangkan, unsur esensial inilah, yang sering diabaikan. Itu karena peringatan
dilakukan sekadar perayaan, tanpa berkhidmat.
Peringatan
tanpa berkhidmat adalah jalan menuju kehampaan. Peringatan hanya diisi dengan
tindakan foya-foya sesaat, lalu selanjutnya tak berarti apa-apa. Hanya jadi
serupa hura-hura. Ataukah kekosongan itu karena peringatan hanya dijadikan ajang
“balas dendam”, ketimbang sebagai momentum untuk merefleksikan kembali
nilai-nilai kehidupan masa lalu.
Peringatan
hari kelahiran atau hari raya keagamaan menjadi contoh peringatan yang sering
kali diisi dengan kebiasaan tak berkhidmat. Setidaknya, itulah yang mewakili
peringatan sebagai ajang hura-hura, dan peringatan sebagai ajang balas dendam. Di
dalamnya, tak ditemukan makna dan semangat hidup yang baru, karena hakikat
peringatan dilupakan.
Contoh
nyata yang masih hangat tentang peringatan tak berkhidmat, terlihat di Hari Sumpah
Pemuda. Pada hari di mana semua pemuda harusnya merefleksikan kedudukan mereka
untuk kemajuan bangsa dan negara, yang terjadi malah sebaliknya. Salah satunya adalah
aksi pembakaran beberapa sepeda motor oleh mahasiswa yang sama sekali tak ada
korelasinya dengan semangat Sumpah Pemuda.
Di
titik yang kritis ini, perlu dilakukan penyadaran kembali, bahwa peringatan
harus berangkat dari hakikat sebuah peristiwa. Peringatan hari-hari kenegaraan,
seyogianya memperkokoh nasionalisme. Peringatan hari keagamaan, seharusnya memuliakan
budi pekerti. Peringatan hari kelahiran, mestinya mengingatkan pada kematian.
Banyak lagi.
Peringatan,
dengan begitu, sudah saatnya didudukkan kembali sebagai momentum untuk
menyentuh “keakuan”. Setiap peringatan, harusnya mampu membarui jiwa setiap
insan, sejalan dengan hakikat peristiwa yang diperingati. Meski secara kasat
mata melibatkan banyak orang, peringatan harus selalu didudukkan sebagai refleksi
berbasis individual.
Akhirnya,
keberhasilan sebuah peringatan, tak boleh lagi dilihat pada seberapa banyak
orang yang “turut meramaikan”, tapi apakah setiap orang yang turut, berhasil memetik
pelajaran hidup, lalu mewujudkannya dalam tindakan nyata. Intinya, peringatan
harus meremajakan kembali hati dan pikiran seseorang, meski melalui cara-cara
yang senyap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar