Kamis, 04 Maret 2021

Kunci Jawaban

Sejak tujuh tahun yang lalu, watak Rinto berubah drastis. Ia jadi sangat jujur.

Akhirnya, semua orang terheran-heran melihat perubahannya. Mereka bertanya-tanya tentang penyebabnya. Apalagi, kejujurannya bermula secara tiba-tiba dan terus bertahan seiring perubahan waktu. Bahkan ia jadi tak peduli lagi jika harus bertentangan sikap dengan orang-orang kebanyakan yang permisif atau kompromistis terhadap perbuatan culas.

Namun tanpa pernah menceritakan kepada orang lain, diam-diam, pandangan hidup Rinto yang begitu lurus, terpacu oleh kehidupan keluarganya yang berantakan akibat ketidakjujuran dan perilaku menyimpang. Ayahnya, seorang pejabat, ketahuan melakukan korupsi demi selingkuhannya. Sang ayah pun masuk ke dalam penjara, dan sang ibu menceraikannya.

Atas perkara kedua orang tuanya, Rinto pun jadi sangat membenci perilaku bohong dan serakah, yang telah membuat ruang bahagianya hancur berkeping-keping.

Karena itu pula, perlahan-lahan, sikap jujur Rinto mulai tampak jelas, saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA. Pada satu hari, enam tahun yang lalu, ketika jam pelajaran akan dimulai, ia duduk saja di bangkunya sambil membaca komik, seperti tanpa beban atas pekerjaan rumahnya.

“Apa tugasmu sudah selesai?” tanya seorang temannya, di samping bangkunya.

Rinto menggeleng saja.

Temannya itu pun heran. “Lalu kenapa kau tenang-tenang saja? Apa kau tak mau mengerjakannya.”

Lagi-lagi, Rinto menggeleng. “Tidak usah.”

“Jangan malas begitu. Cepat kerjakan,” saran temannya itu.

“Aku tak tahu cara mengerjakannya,” jawab Rinto, dengan masih penatap pada halaman komiknya.

Sontak, temannya berdecak-decak. “Sudahlah. Kalau kau belum bisa mengerjakannya sendiri, ya, manfaatkanlah bantuan orang lain, seperti teman-teman kita,” katanya, menggoda. lalu menggeser contekan tugas matematikanya di antara mereka. “Ayolah. Salin cepat. Masih ada waktu.”

“Aku lebih baik tidak mengerjakannya daripada harus menyalin tugas orang lain,” balas Rinto, dengan sikap biasa.

Teman sesamping bangkunya pun semakin tak habis pikir tentang perubahan sikap Rinto. Apalagi sebelumnya, Rinto biasa juga menyontek tugas orang lain. “Apa kau mau dapat marah dari Pak Tedi karena tak mengerjakan tugas? Kau mau dapat hukuman?”

Rinto mendengkus. “Lebih baik begitu daripada menyontek.”

Seolah kehabisan cara, lelaki itu pun menyerah untuk membujuk Rinto, lalu kembali fokus menyalin tugas di sisi waktu sebelum jam pelajaran dimulai.

Sampai akhirnya, Pak Tedi, guru matematika yang terkenal keras, yang juga wali kelas mereka, masuk ke dalam ruangan.

Para siswa pun bergegas kembali ke bangkunya masing-masing, lalu duduk dengan sikap yang sopan.

Suasana lantas menjadi tegang.

“Kumpulkan tugas yang kuberikan kepada kalian dua hari yang lalu,” perintah Pak Tedi kemudian.

Dengan cepat-cepat, ketua kelas mengumpulan tugas teman-temannya, lalu menyerahkannya kepada sang guru.

Sesaat kemudian, setelah melakukan pengamatan yang jeli, Pak tedi pun mendekat ke sisi Rinto, di tengah-tengah ruang kelas. “Kau tidak mengerjakan tugas lagi?” tanyanya, dengan wajah garang.

Rinto pun mengangguk tenang. “Iya, Pak. Aku tak tahu bagaimana cara menjawabnya. Aku belum paham.”

Pak Tedi pun mengaduh. “Kau kan bisa belajar dengan teman-temanmu. Kau bisa belajar kelompok. Bertanyalah kepada temanmu yang lebih mengerti. Kau bisa meminta bantuan kepada mereka. Kenapa kau tidak melakukan itu?”

Rinto pun tertunduk segan. “Itu sudah kulakukan, Pak. Tetapi aku belum juga bisa mengerti. Aku tak ingin sekadar mendapatkan jawaban dari mereka sebelum aku benar-benar mengerti, sebab itu sama saja dengan menyontek.”

Pak Tedi pun menggeleng-geleng heran. “Itu alasanmu saja! Itu karena kau malas berusaha!” dakwanya, setengah menggertak. “Lihat, hanya kau yang tidak mengerjakan tugasmu hari ini. Apa kau tidak merasa aneh sendiri?”

Rinto hanya tertunduk. Tak berniat untuk memperpanjang pertentangan.

“Sekarang, kau berdiri di depan kelas, dan perhatikan pelajaran baik-baik,” vonis Pak Tedi, dengan raut marah. 

Dengan sikap patuh, Rinto pun menjalankan hukumannya.

Pak Tedi kemudian menturkan peringatan, “Kalau kau tidak berubah, dan kau tetap masa bodoh begini, bisa-bisa kau tidak lulus ujian nasional. Apa kau mau?”

Lagi-lagi, Rinto hanya terdiam dengan pergulatan batinnya sendiri.

Hari-hari pun berganti.

Tetapi pada akhirnya, sejumlah guru dan teman-teman sekelasnya harus menerima kenyataan bahwa sikap Rinto masih saja tidak berubah. Ia yang berbakat pada mata pelajaran bahasa dan sosial, terus saja tertinggal pada mata pelajaran yang berhubungan rumus dan angka. Bahkan dengan polosnya, ia tetap saja memilih untuk tidak menjawab soal perhitungan yang tidak ia pahami, atau hanya sekadar menjawab dengan semampunya sendiri, meski acap kali salah.

Kejujuran dan kepolosan Rinto, akhirnya mengkhawatirkan bagi guru dan teman-temannya. Mereka takut kalau Rinto benar-benar tidak lulus ujian nasional dan berdampak buruk pada nama baik sekolah, meski Rinto sendiri tak peduli pada perkara pencitraan semacam itu.

Tetapi kemudian, kenyataan yang terjadi berada di luar dugaan semua orang, termasuk Rinto sendiri. Nyatanya, Rinto berhasil melulusi ujian akhir, bahkan menduduki peringkat ke-9 di antara semua lulusan di sekolahnya.

Rinto pun menafsir kelulusannya sebagai wujud pertolongan Tuhan karena sikap jujurnya yang teguh. Pasalnya, pada mata ujian yang memuat perhitungan, ia jelas hanya menjawab soal dengan kemampuannya sendiri, tanpa menyontek atau memanfaatkan kunci jawaban yang tersebar di antara para siswa. Bahkan ia tidak menjawab sejumlah soal pada ujian matematikan dan fisika setelah waktu habis di tengah upayanya untuk mencari jawaban.

Atas keberhasilan Rinto melulusi ujian akhir, ia pun bisa melangkah ke tahap selanjutnya, untuk mengejar cita-citanya menjadi polisi. Dan setelah melalui pendidikan di akademi kepolisian, setahun yang lalu, ia pun berhasil menjadi seorang polisi dengan tetap menjaga dan mengokohkan sikap jujurnya.

Sampai akhirnya, hari ini, Rinto melakoni satu tugas yang memilukan. Dengan membawa surat perintah, ia pun melakukan proses penangkapan seorang lelaki paruh baya, gurunya sendiri, yang tak lain adalah Pak Tedi. Atas tanggung jawabnya sebagai penegak hukum, ia pun menjalankan tugas itu demi memberantas perilaku culas dan menegakkan kejujuran, seperti yang selama ini telah ia tekadkan.

Perlahan-lahan, kabar kemudian menyebar kalau Pak Tedi ditangkap karena mengkoordinir pungutan liar kepada para siswa untuk membeli kunci jawaban sejak tiga tahun yang lalu, sembari menjajikan kelulusan kepada para siswa. Bahkan ia bisa mengubah jawaban pada lembar jawaban siswa yang tampak tidak melampaui nilai ambang batas kelulusan, seperti cara yang ia lakukan untuk meluluskan siswanya sejak delapan tahun yang lalu, sejak ia menjadi guru.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar