Aku
sadari, kita berpisah dengan cara yang salah. Mendustai hati. Dahulu, kukira, kata-kata
benci dariku, akan membuat kita mudah untuk saling melupakan. Kau pergi dengan
sakit hatimu, dan aku pun tak berharap lagi. Tapi nyatanya, cara itu malah
membuatku tak bisa lepas dari bayang-bayangmu. Seakan dihantui dosa-dosa.
Waktu
berlalu, telah menjadi kenangan. Kita sudah saling mengenal sejak belum tahu
bagaimana rumitnya jatuh cinta. Sangat dekat. Saling berbagi, pura-pura membenci,
lalu berdamai lagi. Begitu terus berulang. Sampai akhirnya, kita harus menerima
risiko sebuah kebersamaan, bahwa akan selalu ada hati yang enggan berpisah. Ya,
kita akhirnya, ingin saling memiliki, selamanya.
Aku
paham, kegundahan melandamu di akhir kebersamaan kita. Sebuah perasaan yang
sama dengan yang kurasakan. Di detik-detik terakhir itu, kutahu, kau meminta
agar aku jujur padamu, tentang apa yang kurasakan. Tapi kupilih membungkam
suara hatiku. Membenci cinta, dengan cinta. Seperti bunuh diri.
Masih
kuingat, kala itu, kita sedang berteduh di sebuah balai kecil. Terpaksa
berteduh karena hujan menjebak di tengah perjalanan. Baru saja kita berkunjung
ke sebuah bukit, tempat kita menikmati kebersamaan dalam waktu yang panjang. Di
sanalah tempatmu melantunkan lagu-lagu, dengan iringan nada gitar dariku, semasih
aku bisa menikmatinya.
Di
bukit itu juga, tumbuh sebuah pohon yang rindang. Pada rantingnya,
burung-burung bersarang dan beranak-pinak. Kita tak pernah lupa untuk
mengamatinya. Wujud persembahan alam yang kita klaim milik bersama. Selalu berharap-harap
cemas kalau mereka dimangsa binatang liar sebelum telur-telurnya sempat
menetas, sebab merekalah penghiasan angkasa kita.
Dan,
di sekitar sarang burung kita, di cabang pohon yang lain, tumbuh bunga anggrek
yang sangat memesona. Itu tak pernah kau tahu.
“Apa?”
tanyaku, saat hubungan kita tiba-tiba menjadi dingin, sedingin suasana hujan
waktu itu.
Kau
menunjuk-nunjuk pada jaket yang kugantung di dinding balai, sambil komat-kamit.
Kuartikan kalau kau bermaksud mengatakan: Boleh
aku meminjam jaketmu?
Kita
tiba-tiba saja saling menyegani. Seketika melupakan kalau selama ini, barang
milikmu, adalah milikku juga, dan sebaliknya. Tak perlu minta izin, apalagi
dengan cara yang sopan, untuk menggunakannya.
“Pakai
saja,” balasku, datar, sambil meletakkan jaket yang kau maksud di antara kita, lebih
dekat dari sampingmu.
Entah
bagaimana aku di pikiranmu waktu itu. Kuduga, kau mencapku sebagai lelaki yang tak
berperasaan. Tak perhatian. Sudah seharusnya aku menawarkan perhatian kepadamu,
tanpa perlu kau minta. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku berada di tengah
kebimbangan. Meski hatiku menginginkanmu, aku merasa tak selayaknya memilikimu.
Jadi, aku tak ingin memberimu kesan berlebihan, yang membuatmu merindukanku suatu
saat nanti.
Seketika
juga, kita saling mendiamkan. Sama-sama memandang tetesan hujan yang menghunjam
di tanah. Di tengah keheningan itu, kau menyodorkan sebuah kertas kepadaku. Aku mencintaimu. Itulah yang kau
tuliskan.
Aku
pun dilanda kekalutan. Secepat mungkin, kucabik-cabik kertas darimu itu. Tanpa
perasaan. Lalu, kuhempaskan di tengah butiran hujan, sampai tinta perasaanmu itu,
meleleh. “Kau pikir aku suka padamu? Aku tak akan suka wanita jelek sepertimu! Gendut,
pesek, sipit!”
Kau
terdiam. Mematung. Seperti tak menduga aku akan berucap selancang itu.
Membenamkan harmoni wajahmu yang sesungguhnya kukagumi. Ya, aku berbohong kalau
hatiku tak memuji kecantikanmu.
“Kita
ini hanya teman. Tak mungkin lebih. Apa yang kau katakan ini, sungguh
keterlaluan. Aku tak suka!” sambungku, tegas.
Tanpa
membalas, kau berlari pergi, di bawah butiran hujan. Menghilang bersama luka
yang sengaja kotorehkan. Itulah terakhir kalinya aku melihatmu.
Kini,
semua telah berlalu. Kutahu, betapa menyiksanya menorehkan benci pada hati yang
dicintai.
Di
balik kegalauan ini, aku tak pernah menyesal, meski harus terus-terusan
tersiksa. Sejujurnya, aku tak ingin kau mencintaiku karena rasa bersalah
ataupun rasa kasihan. Yang kuinginkan adalah cinta yang saling menghargai dan
saling mengandalkan. Sama-sama membutuhkan untuk merasa saling berarti. Kau
pastinya lihai mengalunkan nada, tapi aku tak bisa lagi menghargainya apa-apa. Aku
tak bisa diandalkan. Itu bukan salahmu. Itu salahku.
Bagaimana sarang burung kita di
bukit? Kau masih menjaganya kan? Begitulah tanya yang kau tuliskan untukku di waktu lampau. Rangkaian huruf itu, kini hanya bisa kubaca berulang
kali, sambil membayangkan wajahmu. Entah kapan aku akan memberimu kabar kalau telur
burung kita, telah menetas.
Kini,
kuingat lagi peristiwa tragis yang telah menimpaku di waktu lampau. Suatu hari,
kuputuskan untuk mengakhiri kemelut perasaanku. Kutanjaki pohon tempat burung
kita bersarang. Sampai akhirnya, aku terpeleset. Jatuh. Seketika, indra
pendengaranku menghilang. Tuli. Jelas kau tak tahu, aku hendak memetik sebuah bunga
anggrek di pohon itu, untuk kupersembahkan padamu. Aku tak pernah jujur tentang
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar