Senin, 27 Juni 2016

Guncangan Dana Desa

Program pembangunan desa menjadi salah satu fokus pemerintah pusat di bawah kendali Presiden Jokowi. Dibentuklah kementerian yang juga fokus mengurusi masalah desa, yaitu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pematangan konsep pembangunan desa semakin lengkap pasca disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain mengatur tentang struktur pemerintahan desa, UU Desa juga melahirkan pos pendapatan desa yang disebut Dana Desa.

Dana Desa berdasarkan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor  21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Di tahun 2016, alokasi Dana Desa berjumlah Rp. 46.98 triliun, naik dua kali lipat lebih dari tahun 2015 yang berjumlah 20,7 triliun. Keseluruhan dana tersebut akan disalurkan ke 74.754 desa di 32 Provinsi seluruh Indonesia. Tiga persoalan penting yang menjadi skala prioritas peruntukan Dana Desa adalah pembangunan infrastruktur, pengembangan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan, serta pengembangan kapasitas ekonomi lokal.  

Adanya Dana Desa tentu menjadi sebuah stimulan yang baik bagi pembangunan desa. Apalagi selama ini, terjadi kesenjangan pembangunan anatara desa dan kota yang menyebabkan arus urbanisasi semakin meningkat. Panggunaan Dana Desa secara baik, jelas akan menggairahkan kembali pembangunan di tingkat desa, yang tentu berdampak bagi pembangunan lingkup nasional. Untuk itu, Dana Desa harus dibarengi dengan upaya pengawalan yang baik. Jika tidak, Dana Desa dapat saja menjadi malapetaka.

Dampak Sampingan

Pengadaan Dana Desa untuk keperluan pembangunan desa, tidak lepas dari berbagai masalah. Belakangan, muncul persoalan di tataran masyarakat desa. Rupanya, Dana Desa yang jumlahnya besar, menimbulkan beragam persepsi dari masyarakat desa. Secara umum, sikap masyarakat desa menghadapi Dana Desa dapat berupa keengganan karena kurangnya pengetahuan dan keahlian, ketakutan terjerat sanksi hukum, sampai pada tindakan penyimpangan atau korupsi.

Salah satu masalah pengaplikasian Dana Desa adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat desa dalam persoalan sistem administrasi-birokrasi. Tak pelak, banyak timbul masalah dalam penyusunan peraturan desa, rencana pembangunan desa, sampai pada perencanaan dan pelaporan penggunaan Dana Desa. Padahal, efektivitas penggunaan Dana Desa, sangat membutuhkan keahlian terkait administrasi pemerintahan, khususnya tentang persoalan keuangan.

Keahlian masyarakat dalam penguasaan teknologi, juga menjadi persoalan tersendiri. Pelaporan dan pemantauan penggunaan Dana Desa yang menggunakan sistem komputerisasi, jelas menyusahkan bagi masyarakat desa yang selama ini kurang tersentuh dunia teknologi. Imbasnya, perangkat pemerintahan desa menjadi kalang-kabut dalam menindaklanjuti Dana Desa. Di samping itu, masyarakat desa yang gagap teknologi, juga tidak bisa melakukan pemantauan secara memadai terhadap penyaluran dan penggunaan Dana Desa, mengingat sistem informasi, penyaluran, dan pelaporan Dana Desa, serba teknologi.

Persoalan lain pengaplikasian Dana Desa adalah timbulnya ketakutan di tataran masyarakat desa, terutama perangkat pemerintahan desa, terkait penggunaan Dana Desa. Ketakutan itu terkait dengan sanksi hukum yang akan menyertai kesalahan-kesalahan dalam penggunaan Dana Desa. Ketakutan itu semakin menjadi-jadi jika keahlian administrasi dan pengusaan teknologi para perangkat desa masih rendah. Tak mengherankan jika ditemukan fenomena orang desa yang takut mengemban amanah sebagai perangkat desa, akibat takut salah dalam mengaplikasikan Dana Desa.

Bentuk lain penyikapan Dana Desa di tengah masyarakat adalah munculnya aksi penyimpangan yang sengaja dilakukan oleh oknum tertentu. Dana Desa yang jumlahnya fantastis, bahkan diupayakan meningkat dari tahun ke tahun, menjadi “lahan basah” yang menggiurkan bagi orang-orang yang punya nafsu untuk memperoleh keuntungan secara tidak halal dan melawan hukum. Hal ini rentan terjadi jika ada persekongkolan terselubung oknum pemerintah daerah, perangkat desa, dan pihak swasta dalam pengerjaan proyek pembangunan desa. Apalagi, masyarakat desa yang berpendidikan rendah, kurang mengerti administrasi, dan gagap teknologi, jelas tak akan mampu melakukan pengawasan secara baik.

Dari banyak persoalan di atas, jika tidak dilakukan upaya pembenahan dan pengawalan secara optimal, dapat saja berujung pada konflik horizontal. Masyarakat desa yang dulunya hidup damai dalam kesederhanaan dan penuh kegotong-royongan, malah terguncang, bahkan saling bertikai dengan adanya Dana Desa. Sentimen politik pun dapat semakin meruncing, serta persoalan hukum akan menyebar di tataran desa. Bukannya menjadi stimulus pembangunan, Dana Desa dapat menjadi akar masalah yang luas dan pelik jika pengaplikasiannya tak dilakukan secara baik.

Masyarakat Butuh Bimbingan

Pada dasarnya, pengadaan Dana Desa memiliki semangat baik untuk menggenjot pembangunan di tataran desa. Sudah menjadi cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan pembangunan di desa, sehingga kesejahteraan dan keadilan sosial, dapat terwujud. Meski begitu, tujuan baik harus tetap dibarengi dengan konsep pengimplementasian yang baik pula. Maka dari itu, konsep penyaluran Dana Desa yang berskala luas, harus dibarengi dengan pembinaan dan pengawasan yang baik di tataran masyarakat desa.

Masyarakat desa dengan sistem hidup berdasarkan kearifan lokal, jelas akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan Dana Desa. Itu dapat terjadi karena sistem yang digunaan masih sarat administrasi-birokrasi, dan berbasis pada teknologi modern. Karena itulah, dalam penyaluran dan penggunaan Dana Desa, masyarakat desa, terutama perangkat pemerintahan desa, harus mendapatkan bimbingan dan pendampingan yang baik. 

Bimbingan harus menyentuh tataran teknis, tidak lagi terkait konsep mengawang-awang, sebagaimana tersebar di dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang begitu banyak. Masyarakat desa yang terbiasa berpikir sederhana dan bertindak efektif, hanya membutuhkan pelatihan teknis. Untuk itu, pembinaan terkait Dana Desa, jangan lagi sekadar seminar, dialog, atau istilah lain yang substansi informasinya, malah menimbulkan kebingungan dan ketakutan bagi masyarakat desa. Bimbingan itu, semisal cara membuat peraturan desa, rencana pembangunan, serta rencana dan pelaporan penggunaan Dana Desa.

Adanya perangkat Pendamping Desa, Pendamping Teknis, dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Desa menjadi penting diarahkan untuk memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat desa. Perangkat itu, harus memahami masalah dan kebutuhan masyarakat desa secara terperinci, sebagai dasar dalam melakukan fungsi pendampingan, koordinasi, dan pembinaan. Tak kalah pentingnya, perangkat tersebut juga harus mampu memberikan motivasi dan menghilangkan ketakutan masyarakat desa dalam penggunaan Dana Desa. 

Pengaplikasian Dana Desa di tataran masyarakat harus mendahulukan pendekatan kearifan lokal, bukan pendekatan hukum yang kaku. Masyarakat desa yang hidup sentosa, tak boleh ditakut-takuti dengan segala macam sanksi pidana atas penggunaan Dana Desa. Jangan sampailah orang desa yang punya niat baik untuk membangun desanya, menjadi tak bersemangat, bahkan dipaksa mendekam di balik jeruji hanya karena ketidaktahuannya dalam pengaplikasian Dana Desa. Untuk itu, penting ditekankan bahwa ketidaktepatan penggunaan Dana Desa, tak selamanya menjadi kesalahan masyarakat desa. Bisa jadi, itu karena ketidakmampuan pemerintah dalam membangun sistem yang baik, ataukah kegagalan pemerintah dalam membimbing masyarakat desa.

Dana Desa yang bertujuan baik, janganlah menjadi bola panas yang dibiarkan saja bergulir di tengah masyarakat desa, bahkan menjadi bahan bakar yang menyulut konflik horizontal. Jangan sampailah masyarakat desa yang sarat dengan persatuan dan gotong-royong, malah terpecah-belah dengan adanya Dana Desa. Jika pemerintah tidak mampu menjamin bahwa Dana Desa akan disalurkan bersamaan dengan pemberian bimbingan yang memadai, maka sepertinya penting untuk memikirkan ulang bahwa pendanaan desa lebih tepat ditumpukan kembali di tingkat pemerintah daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar