Stigma negatif terhadap lagu
dangdut kembali mencuat. Tanggal 11 April lalu, Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah (KPID) Jawa Barat mengeluarkan Surat Edaran No. 001/KPID JBR/04/2016.
Surat edaran itu berisi pelarangan dan pembatasan terhadap beberapa lagu
dangdut untuk disiarkan di radio maupun televisi lokal pada 27 kabupaten/kota
di Jawa Barat. Alasannya, lagu tersebut mengandung unsur pornografi, sehingga
dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Sebanyak 13 lagu, dinyatakan
dilarang untuk diputar di radio maupun televisi. Di antaranya adalah Satu Jam
Saja (Zaskia Gotik), Hamil Duluan (Tuti Wibowo), dan Paling Suka 69 (Julia
Perez). Selain itu, juga diputuskan untuk membatasi penyiaran sebanyak 11 lagu.
Lagu itu hanya boleh disiarkan di atas pukul 22.00. Di antara lagu itu adalah
Belah Duren (Julia Perez), Cinta Satu Malam (Melinda), dan Geboy Mujaer (Ayu
Ting Ting).
Keputusan KPID Jawa Barat tersebut,
tak pelak menimbulkan sejumlah protes dari kalangan artis dangdut maupun
penggiat seni yang tak terima karyanya dicap negatif. Bagi mereka, persepsi makna
sebuah lagu, apakah menjurus kepada unsur seksual maupun pornografi, sangat subjektif.
Di sisi lain, KPID merasa, lagu tersebut, secara jelas, memang menonjolkan
kesan-kesan seksual.
Hukum
Melarang
Secara normatif, hal yang mengandung
unsur pornografi, tentu terlarang untuk dipertunjukkan secara bebas. Di
Indonesia, larangan itu tercantum dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi. Defisini pornografi dalam UU tersebut adalah gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Merujuk pada definisi tersebut,
maka lagu dangdut yang notabene berbentuk suara, jelas dapat dikualifikasikan
sebagai pornografi. Apalagi jika liriknya memuat unsur kecabulan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cabul sendiri diartikan sebagai hal keji dan kotor,
tidak senonoh, melanggar adat dan susila, atau melanggar kesopanan. Belum lagi
jika lagu dangdut itu, digubah dalam bentuk video/gambar bergerak dengan
mempertontonkan gerakan tubuh yang sulit dinyatakan tak menjurus kepada aksi
cabul, jelas itu terlarang. Terkait perbuatan yang dapat pidana, UU Pornografi
jelas menjerat semua aktivitas yang menyangkut kegiatan memproduksi maupun
menyebarluaskan konten berbau pornografi.
Tindakan KPID Jawa Barat tersebut,
jelas berdasar. Selain mendukung penerapan UU Pornografi, juga merupakan kewajiban
KPID untuk aktif dalam kegiatan pelarangan atau pembatasan penyiaran terhadap
konten-konten tertentu. Dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai
dasar kewenagan KPID, ditegaskan bahwa setiap lembaga penyaiaran, diwajibkan
untuk tidak menyiarkan konten-konten yang bertentangan dengan kesusilaan. Lebih
lanjut, Pasal 36 ayat (5) b UU Penyiaran menegaskan bahwa isi siaran dilarang menonjolkan
unsur cabul. Itu tentu termasuk lagu dangdut yang tak senonoh.
Larangan
penyiaran terkait konten cabul, dipertegas kembali dalam Pedoman Perilaku
Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang ditetapkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia Pusat. Pasal 16 P3 menyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib tunduk pada
ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual. Selanjutnya,
Pasal 20 ayat (1) SPS menetapkan bahwa program siaran dilarang
berisi lagu dan/atau video klip yang menampilkan judul dan/atau lirik bermuatan
seks, cabul, dan/atau mengesankan aktivitas seks. Pelanggaran ketentuan tersebut
dapat berupa pemberian surat peringatan bagi lembaga penyiaran, penghentian
mata acara, pembekuan kegiatan siaran, hingga pencabutan izin penyiaran.
Menilik apa yang dilakukan oleh
KPID Jawa Barat, menurut aturan positif, jelas tidak ada yang salah. Terkait
bagaimana kualifikasi rigid sebuah lagu dianggap memenuhi unsur kecabulan,
tentu menjadi perdebatan tak berkesudahan. Untuk itu, butuh pengkajian
mendalam. Perlu adanya pengaturan lebih teknis dan dialog mendalam tentang
persoalan tersebut, tentu dengan tetap melibatkan semua stakeholder yang ada, di antaranya masyarakat, pengamat, pelaku
seni, lembaga penyiaran dan Komisi Penyiaran sendiri.
Yang pasti, tindakan KPID Jawa
Barat, tetaplah tak bisa disalahkan, selama sesuai prosedur. Sudah merupakan kewenangan
KPID untuk mengatur masalah penyiaran, termasuk pantas tidaknya konten tertentu
untuk disiarkan. Kewenangan KPID mencakup perihal ranah penyiaran. Bahwa ada
konten berbau cabul menurut aturan dan KPID bertanggung jawab menjamin
penyiaran yang bermoral dan berhukum, maka sudah tepat jika KPID melakukan
pelarangan atau pembatasan. Di luar persoalan penyiaran, misalnya penyebaran
lagu dangdut cabul di media sosial maupun pementasan langsung, tentu bukan
kewenangan KPID.
Rindu
Era Rhoma
Diakui atau tidak, produk kesenian
dangdut, kini telah melenceng dari semangatnya dahulu. Kini, dangdut yang telah
kehilangan pamor, telah distigmatisasi sebagai aliran musik yang lebih menonjolkan
unsur-unsur tak senonoh. Dangdut dan para pelakonnya pun seringkali memperoleh
ketenarannya hanya dengan mengandalkan aksi sensasional, misalnya melalui gaya
goyangan dan lirik-lirik lagu. Perwujudannya pun sering kali sulit dikatakan
tak menjurus pada penonjolan unsur seksual, bahkan cabul.
Tingkah sensasional berbau seksual,
kini seperti menjadi senjata ampuh bagi setiap orang untuk menggapai
popularitas dan menjaga eksistensi di panggung musik dangdut. Media sebagai
saluran komunikasi masyarakat pun, sering kali dijadikan jembatan bagi para
pemburu popularitas instan itu. Hanya dengan sedikit mengumbar “ladang nafsu”,
penyanyi dangdut akan tenar dengan cepat. Jika modus-modus semacam itu tidak disikapi
secara tegas, maka ruang penyiaran hanya akan dipenuhi konten-konten negatif demi
polularitas artis dangdut dan keuntungan lembaga penyiaran.
Ketegasan KPI Pusat dan KPID dalam
mengambil kebijakan terkait merebaknya lagu dangdut cabul, tentu sangat
diperlukan. Ketegasan itu diharapkan menjadi awal bagi para pelaku seni dangdut,
untuk kembali merefleksikan dampak karyanya terhadap masyarakat. Harapannya, ke
depan, dangdut kembali kepada hakikatnya, sebagaimana pada era Raja Dangdut,
Rhoma Irama, yaitu dangdut sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan
kebaikan dan hiburan bermartabat bagi masyarakat. Jika begitu, dangdut akan
kembali menjadi kebanggaan segenap bangsa Indonesia
Rindu Era Rhoma. Itulah mungkin
ungkapan yang mewakili perasaan orang-orang yang punya bahan nostalgia, betapa
menentramkannya mendengarkan lagu dangdut di masa dahulu. Dengarlah lagu Rhoma
berjudul Judi, Mirasantika, Begadang, Gali Lobang Tutup Lobang, Ani, atau Dawai
Asmara. Dengar juga lagu dari penyayi seeranya, semisal Meggy Z, Camelia Malik,
Mansyur S, A. Rafiq, atau Rita Sugiarto. Sungguh, Dandut masa itu disajikan
secara berwibawa dan sopan. Dangdut mampu menjadi musik yang meresap di hati
sanubari masyarakat. Dangdut disenangi bukan karena sensasi seksualnya, tetapi
karena pesan baiknya terkait kehidupan, baik menyangkut persoalan bangsa,
masyarakat, keluarga, tentu juga tentang hubungan individu (percintaan) secara
sopan.
Sudah saatnya, musik dangdut
dikembalikan kepada tahtanya. Tak ada jalan untuk menggapainya kecuali membuat
dangdut kembali bermartabat dengan cara-cara bermartabat pula. Musik dangdut
harus kembali kepada khittahnya, sebagaimana perintis dangdut telah menggariskan.
Jika tidak, musik dangdut tidak akan memberikan dampak positif apa-apa bagi
masyarakat, bahkan sebaliknya. Jika tidak, musik dangdut akan dianggap
ketinggalan jaman dan tak moral. Semoga tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar