Rabu, 01 Juni 2016

Dangdut Cabul Dilarang

Stigma negatif terhadap lagu dangdut kembali mencuat. Tanggal 11 April lalu, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat mengeluarkan Surat Edaran No. 001/KPID JBR/04/2016. Surat edaran itu berisi pelarangan dan pembatasan terhadap beberapa lagu dangdut untuk disiarkan di radio maupun televisi lokal pada 27 kabupaten/kota di Jawa Barat. Alasannya, lagu tersebut mengandung unsur pornografi, sehingga dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Sebanyak 13 lagu, dinyatakan dilarang untuk diputar di radio maupun televisi. Di antaranya adalah Satu Jam Saja (Zaskia Gotik), Hamil Duluan (Tuti Wibowo), dan Paling Suka 69 (Julia Perez). Selain itu, juga diputuskan untuk membatasi penyiaran sebanyak 11 lagu. Lagu itu hanya boleh disiarkan di atas pukul 22.00. Di antara lagu itu adalah Belah Duren (Julia Perez), Cinta Satu Malam (Melinda), dan Geboy Mujaer (Ayu Ting Ting).
Keputusan KPID Jawa Barat tersebut, tak pelak menimbulkan sejumlah protes dari kalangan artis dangdut maupun penggiat seni yang tak terima karyanya dicap negatif. Bagi mereka, persepsi makna sebuah lagu, apakah menjurus kepada unsur seksual maupun pornografi, sangat subjektif. Di sisi lain, KPID merasa, lagu tersebut, secara jelas, memang menonjolkan kesan-kesan seksual.
Hukum Melarang
Secara normatif, hal yang mengandung unsur pornografi, tentu terlarang untuk dipertunjukkan secara bebas. Di Indonesia, larangan itu tercantum dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Defisini pornografi dalam UU tersebut adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Merujuk pada definisi tersebut, maka lagu dangdut yang notabene berbentuk suara, jelas dapat dikualifikasikan sebagai pornografi. Apalagi jika liriknya memuat unsur kecabulan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cabul sendiri diartikan sebagai hal keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar adat dan susila, atau melanggar kesopanan. Belum lagi jika lagu dangdut itu, digubah dalam bentuk video/gambar bergerak dengan mempertontonkan gerakan tubuh yang sulit dinyatakan tak menjurus kepada aksi cabul, jelas itu terlarang. Terkait perbuatan yang dapat pidana, UU Pornografi jelas menjerat semua aktivitas yang menyangkut kegiatan memproduksi maupun menyebarluaskan konten berbau pornografi.
Tindakan KPID Jawa Barat tersebut, jelas berdasar. Selain mendukung penerapan UU Pornografi, juga merupakan kewajiban KPID untuk aktif dalam kegiatan pelarangan atau pembatasan penyiaran terhadap konten-konten tertentu. Dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai dasar kewenagan KPID, ditegaskan bahwa setiap lembaga penyaiaran, diwajibkan untuk tidak menyiarkan konten-konten yang bertentangan dengan kesusilaan. Lebih lanjut, Pasal 36 ayat (5) b UU Penyiaran menegaskan bahwa isi siaran dilarang menonjolkan unsur cabul. Itu tentu termasuk lagu dangdut yang tak senonoh.
Larangan penyiaran terkait konten cabul, dipertegas kembali dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Pusat. Pasal 16 P3 menyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual. Selanjutnya, Pasal 20 ayat (1) SPS menetapkan bahwa program siaran dilarang berisi lagu dan/atau video klip yang menampilkan judul dan/atau lirik bermuatan seks, cabul, dan/atau mengesankan aktivitas seks. Pelanggaran ketentuan tersebut dapat berupa pemberian surat peringatan bagi lembaga penyiaran, penghentian mata acara, pembekuan kegiatan siaran, hingga pencabutan izin penyiaran.
Menilik apa yang dilakukan oleh KPID Jawa Barat, menurut aturan positif, jelas tidak ada yang salah. Terkait bagaimana kualifikasi rigid sebuah lagu dianggap memenuhi unsur kecabulan, tentu menjadi perdebatan tak berkesudahan. Untuk itu, butuh pengkajian mendalam. Perlu adanya pengaturan lebih teknis dan dialog mendalam tentang persoalan tersebut, tentu dengan tetap melibatkan semua stakeholder yang ada, di antaranya masyarakat, pengamat, pelaku seni, lembaga penyiaran dan Komisi Penyiaran sendiri.
Yang pasti, tindakan KPID Jawa Barat, tetaplah tak bisa disalahkan, selama sesuai prosedur. Sudah merupakan kewenangan KPID untuk mengatur masalah penyiaran, termasuk pantas tidaknya konten tertentu untuk disiarkan. Kewenangan KPID mencakup perihal ranah penyiaran. Bahwa ada konten berbau cabul menurut aturan dan KPID bertanggung jawab menjamin penyiaran yang bermoral dan berhukum, maka sudah tepat jika KPID melakukan pelarangan atau pembatasan. Di luar persoalan penyiaran, misalnya penyebaran lagu dangdut cabul di media sosial maupun pementasan langsung, tentu bukan kewenangan KPID.
Rindu Era Rhoma
Diakui atau tidak, produk kesenian dangdut, kini telah melenceng dari semangatnya dahulu. Kini, dangdut yang telah kehilangan pamor, telah distigmatisasi sebagai aliran musik yang lebih menonjolkan unsur-unsur tak senonoh. Dangdut dan para pelakonnya pun seringkali memperoleh ketenarannya hanya dengan mengandalkan aksi sensasional, misalnya melalui gaya goyangan dan lirik-lirik lagu. Perwujudannya pun sering kali sulit dikatakan tak menjurus pada penonjolan unsur seksual, bahkan cabul.
Tingkah sensasional berbau seksual, kini seperti menjadi senjata ampuh bagi setiap orang untuk menggapai popularitas dan menjaga eksistensi di panggung musik dangdut. Media sebagai saluran komunikasi masyarakat pun, sering kali dijadikan jembatan bagi para pemburu popularitas instan itu. Hanya dengan sedikit mengumbar “ladang nafsu”, penyanyi dangdut akan tenar dengan cepat. Jika modus-modus semacam itu tidak disikapi secara tegas, maka ruang penyiaran hanya akan dipenuhi konten-konten negatif demi polularitas artis dangdut dan keuntungan lembaga penyiaran.
Ketegasan KPI Pusat dan KPID dalam mengambil kebijakan terkait merebaknya lagu dangdut cabul, tentu sangat diperlukan. Ketegasan itu diharapkan menjadi awal bagi para pelaku seni dangdut, untuk kembali merefleksikan dampak karyanya terhadap masyarakat. Harapannya, ke depan, dangdut kembali kepada hakikatnya, sebagaimana pada era Raja Dangdut, Rhoma Irama, yaitu dangdut sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan dan hiburan bermartabat bagi masyarakat. Jika begitu, dangdut akan kembali menjadi kebanggaan segenap bangsa Indonesia
Rindu Era Rhoma. Itulah mungkin ungkapan yang mewakili perasaan orang-orang yang punya bahan nostalgia, betapa menentramkannya mendengarkan lagu dangdut di masa dahulu. Dengarlah lagu Rhoma berjudul Judi, Mirasantika, Begadang, Gali Lobang Tutup Lobang, Ani, atau Dawai Asmara. Dengar juga lagu dari penyayi seeranya, semisal Meggy Z, Camelia Malik, Mansyur S, A. Rafiq, atau Rita Sugiarto. Sungguh, Dandut masa itu disajikan secara berwibawa dan sopan. Dangdut mampu menjadi musik yang meresap di hati sanubari masyarakat. Dangdut disenangi bukan karena sensasi seksualnya, tetapi karena pesan baiknya terkait kehidupan, baik menyangkut persoalan bangsa, masyarakat, keluarga, tentu juga tentang hubungan individu (percintaan) secara sopan.

Sudah saatnya, musik dangdut dikembalikan kepada tahtanya. Tak ada jalan untuk menggapainya kecuali membuat dangdut kembali bermartabat dengan cara-cara bermartabat pula. Musik dangdut harus kembali kepada khittahnya, sebagaimana perintis dangdut telah menggariskan. Jika tidak, musik dangdut tidak akan memberikan dampak positif apa-apa bagi masyarakat, bahkan sebaliknya. Jika tidak, musik dangdut akan dianggap ketinggalan jaman dan tak moral. Semoga tidak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar