Darmin
kagum melihat keponakannya, Musli. Anak muda yang membantunya mengelola usaha
perdagangan beras itu, sungguh cerdas. Enam bulan bekerja, usaha dagang yang
dikelolanya, mengalami perkembangan pesat. Maklumlah, Musli memang sarjana
ekonomi yang baru saja datang dari kota. Darmin memintanya pulang kampung, dan
Musli menerimanya dengan senang hati.
Melihat
kedewasaan Musli, sungguh membuat Darmin bangga. Ia bak ayah kandung yang
melihat anaknya sukses. Itu tak berlebihan, sebab Darmin telah menganggap Musli
sebagai anak kandungnya sendiri. Apalagi, ia memang tak dikaruniai anak
sepanjang pernikahannya. Sedangkan Musli, telah ditinggal pergi kedua orang
tuanya semasih duduk di kelas II sekolah dasar, pada sebuah kecelakaan mobil.
Demi
kebaikan Musli, Darmin rela memosisikan dirinya sebagai sosok ayah yang baik. Semua
dilakukannya tanpa pamrih. Bahkan sampai saat ini, ia tetap memegang teguh
janji kepada ayah Musli, sebelum saudara kandungnya itu, pergi untuk
selama-lamanya. Ia telah berjanji untuk mendidik Musli agar menjadi orang yang
sukses. Dan janji itu, kini, tampak jadi kenyataan.
Atas
kasih sayangnya yang mendalam pada Musli, kecemasan pun sering kali melanda
perasaan Darmin. Seperti juga malam ini. Sudah hampir jam 12 malam, Musli tak juga tiba di rumah.
Padahal biasanya, ia akan sampai sekitar jam 10 malam, tak berselang lama
setelah gudang penjualan beras, ditutup. Jelas saja, ada kekhawatiran dalam
perasaan Darmin, kalau-kalau terjadi apa-apa dengan keponakannya itu.
Setelah
menunggu untuk waktu yang terasa begitu lama bagi Darmin, Musli akhirnya tiba
di rumah. Tapi kali ini, ia datang dengan segudang tanda tanya. Setelah turun
dari mobil yang dikendarainya seorang diri, tampaklah tubuhnya yang mengenaskan.
Tampilannya aur-auran. Pelipis kanannya, lebam. Bahkan lengan kanannya terluka,
seperti terkena sabetan senjata tajam.
“Apa
yang terjadi, Nak?” tanya Darmin seketika, sembari menuntun Musli mamasuki
rumah.
“Beberapa
orang, mencuri di gudang beras, Paman. Mereka menguras habis uang yang
tersimpan di sana,” tutur Musli, lalu terdiam sejenak, mengendalikan napasnya
yang terengah-engah. “Aku telah mencoba menghalau mereka. Tapi aku menyerah.
Aku kalah jumlah.”
Darmin
benar-benar tersentak mendengar kabar itu. Ia tak menduga, ada juga berandalan
yang berani bertindak sadis di kampungnya yang tak terlalu ramai. “Tapi kau
baik-baik saja kan? Apa perlu aku membawamu ke rumah sakit?”
Musli
melepaskan batuknya. “Aku baik-baik saja, Paman. Luka yang kualami juga tak
terlalu parah. Sebaiknya, aku diobati di rumah saja. Apalagi, sekarang sudah
lewat tengah malam, sedangkan jarak menuju rumah sakit lumayan jauh,” tutur
Musli.
Darmin
kemudian membaringkan Musli di atas kasur. Dengan cekatan, ia mengobati luka
Musli yang tidak terlalu parah.
Mendengar
apa yang telah terjadi, benar-benar membuat Darmin terkesan pada Musli. Sungguh,
rumor buruk atas diri Musli, tak pernah berhasil menghasutnya. Omongan-omongan orang
bahwa Musli berlaku tak terpuji di belantara kota, menjadi penikmat minuman
keras dan barang-barang haram, tak dihiraukannya juga. Baginya, mustahil orang
sebertanggung jawab keponakannya, melakukan tindakan seperti itu.
Dan
setelah melilitkan perban di lengan Musli, Darmin pun menuturkan pesan dari
ayah Musli yang sedari dulu disimpannya. Ia merasa, sekaranglah saatnya. “Nak,
mungkin sudah waktuya aku menyampaikan sebuah wasiat dari ayahmu.”
“Ayahku
punya wasiat, Paman?” tanya Musli seketika.
“Iya.
Menjalang kepergian ayahmu dahulu, ia berpesan padaku untuk menyimpan rahasia
besar padamu,” kata Darmin, lalu menarik napas dalam-dalam untuk memantapkan
niatnya. “Sejujujrnya, kau tak pantas menganggap dirimu sebagai pesuruhku, Nak.
Usaha perdagangan beras yang selama ini kita kelola, sesungguhnya milikmu.
Ayahmulah yang dulu mendirikannya.”
“Apa?”
tanya Musli, tersentak.
“Tapi
sesuai pesan ayahmu, aku tak boleh memberitahukannya padamu, sebelum kau dewasa
dan siap mengelolanya dengan baik. Dan melihat sikap dan tanggung jawabmu
selama ini, aku rasa, sudah saatnya kau mengambilalihnya dariku,” terang
Darmin.
Kali
ini, Musli benar-benar kaget. Ia tak menyangka, skenario besarnya adalah
perbuatan sia-sia. Ia tak menyangka, keputusannya menggoreskan luka pada
dirinya sendiri dan memperlakukan tubuhnya dengan zalim hanya untuk mengambil
uang lebih dari yang selama ini ia dapatkan sebagai gaji dari Darmin, tak
ubahnya muslihat yang tak perlu.
“Apa
kita perlu lapor polisi?” tanya Darmin, setelah Musli hanya termangu mendengar
penjelasannya.
Musli
menggeleng. “Sebaiknya jangan, Paman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar