Rabu, 22 Juni 2016

Mencari Makna

Pada dasarnya, dunia tak pernah menipu. Dunia hanyalah panggung untuk lakon-lakon kehidupan manusia. Dunia penuh dengan kejujuran. Segala sesuatu ditampakkannya secara lugas. Setiap orang bebas untuk memilih jalan hidupnya di dunia, lalu memaknainya sendiri.  Oleh karena itu, yang dikatakan tipuan dunia selama ini, hanyalah wujud dari tindakan tipu-menipu antarindividu manusia.

Serangkaian muslihat di atas, berakar dari tindakan menipu diri sendiri. Penipuan terhadap diri sendiri, kerap kali terjadi. Tujuannya tidak lain untuk menipu dunia luar, demi memperoleh kenikmatan semu. Terjadi kelupaan bahwa kejujuran atas diri sendiri, harus diwujudkan sebelum jujur kepada orang lain. Akhirnya terciptalah keadaan saat orang-orang menjadi suka menipu dirinya sendiri, demi mendapatkan penghargaan orang lain. 

Keadaan lupa diri, sering kali menjadi sangat pelik, sebab tindakan penipuan diri tidak lagi dianggap sebagai sebuah masalah. Tindakan seperti kebiasaan pamer, misalnya. Jelas itu adalah penipuan terhadap diri sendiri. Namun kadang tidak disadari saja. Apalagi saat tindakan pamer mendulang banyak pujian, maka jalan menuju penyadaran jiwa, akan semakin sempit. 

Satu-satunya titik balik yang akan memberikan penyadaran kepada seseorang yang terlena menipu dirinya sendiri, hanyalah kala tujuan semunya tidak tercapai. Kala seseorang memamerkan kebolehannya demi pujian, namun tidak berhasil menggapai pujian yang diharapkan, maka refleksi pribadi akan dilakukannya, jika memang masih ada keinginan untuk kembali ke alam kejujuran dan kedamaian dunia. Lambat-laun, akan timbul kesadaran bahwa mengharapkan dunia luar dan melupakan diri sendiri, adalah pola pikir yang menyesatkan, berakhir tak bermakna, hampa.

Hampanya jiwa atas sikap yang mendahulukan pujian, adalah imbas dari intrik penipuan yang sebenarnya tak berhasil menipu dunia, tapi malah menipu diri si tukang pamer sendiri. Pujian-pujian dari orang lain, pada kenyataannya, tidak selamanya sejalan dengan tindakan tipuan. Sering kali, pujian dilontarkan seseorang hanya untuk menjaga perasaan si pengharap pujian. Sekadar berbasa-basi. Tidak lebih dari itu. 

Penipuan terhadap diri sendiri, bisa juga menimbulkan kehampaan berlipat ganda. Itu terjadi jika bukan hanya diri sendiri yang ditipu, tetapi juga kenyataan. Wujudnya adalah tindakan mengaku-ngaku. Untuk mendapatkan pujian, seseorang kadang tidak menghargai proses, tetapi terpaku pada hasil akhir yang layak untuk dipamerkan. Demi mendulang pujian yang berlimpah, si tukang pamer sering kali tak acuh terhadap pahit dan manisnya sebuah pengalaman. Jika begitu, semakin hampalah jiwa. Tak bermakna sama sekali.

Tentu tak juga orang mendambakan kehampaan hidup. Pada dasarnya, setiap orang menginginkan kehidupan yang penuh makna. Makna adalah sebab kesyukuran dan kesabaran, serta nilai yang memberi arti pada hidup. Yang terjadi, sering kali, hanyalah ketidakmampuan seseorang menemukan makna hidup dalam dirinya sendiri. Seseorang lupa bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia, harus senantiasa dimaknai secara pribadi. Kelupaaan itu akan membuat orang sibuk mengurusi penghargaan dan kemewahan dunia luar, sehingga mengabaikan ketenangan jiwanya.

Demi menemukan kembali makna hidup yang sering kali terlupakan, maka jujur pada diri sendiri adalah cara terbaik. Jika sejumlah pencapaian hidup telah digapai pada tingat tertentu, maka syukurilah. Senantiasalah membanggakan diri sendiri, tanpa perlu mengharapkan, apalagi mencari pujian dari orang lain. Pujian dari diri sendiri adalah yang terpenting, terjujur, dan paling bernilai. Entah orang lain akan turut memberikan pujian atau tidak, yang pasti, jujur pada diri sendiri akan mendatangkan pujian yang jujur pula. 

Sudah waktunya mengejar makna hidup ketimbang mengoleksi pujian orang lain dengan cara yang penuh kepalsuan. Tak ada yang lebih penting dalam perjalanan hidup selain menemukan makna. Makna akan membuat perjalanan hidup yang panjang dan berliku, tetap terasa mengasyikkan. Hidup adalah belajar, entah dari keberhasilan atau kegagalan. Hidup bukan sekadar mencapai tujuan akhir, tetapi bagaimana berproses dan memperoleh makna. Kehidupan bukanlah tentang apa yang diceritakan, tetapi apa yang sungguh-sungguh dialami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar