Rabu, 15 Juni 2016

Janji

Hari ini, aku ada janji bertemu dengan seseorang. Namanya Ruli. Dia salah satu orang terpenting dalam hidupku. Sahabat baik, sekaligus iparku. Ya, aku menikah dengan adiknya, Riana. Karena persahabatan kamilah, aku punya celah untuk mendekati adiknya dahulu. Dia jugalah yang meyakinkan orang tuanya bahwa aku lelaki yang baik untuk adiknya. 

Sudah hampir enam bulan kami tidak bertemu. Dia tiba-tiba saja mengajakku. Katanya, ada hal penting untuk dibicarakan. Sudah lama juga aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin mengutarakan sesuatu padanya, tentang maaf. Sangat penting. Aku sudah memendamnya sejak lama, sejak awal perpisahan kami.

Aku punya kesalahan besar kepadanya. Kesalahanku itu, juga menyangkut keluarganya. Karena akulah, saudarinya, istriku sendiri, Riana, meninggal dunia. Kecelakaan tragis telah menimpa keluarga kecilku, saat aku di balik kemudi mobil. Peristiwa itulah yang membuat Riana pergi untuk selamanya. 

Setelah kejadian itu, aku jadi enggan menampakkan diri padanya dan orang tuanya, mertuaku sendiri. Tapi kali ini, itu jugalah alasanku mengiyakan bertemu dengannya. Aku ingin meminta maaf, bahwa apa yang kulakukan tujuh bulan lalu, bukanlah atas kesengajaanku. Aku ingin mengimpaskan semua rasa bersalahku. Apalagi, aku yakin, dia dan keluarganya lebih terpukul atas kepergian Riana dibanding aku. Kurasa sekarang, aku memang pantas jika tak bermakna lagi bagi mereka.

Dahulu, sebenarnya keluarga kecilku memang tak membanggakan. Banyak masalah. Lama-lama, dukungan atas hubungan kami, semakin kendor. Apalagi harapan mendalam kedua mertuaku untuk menimang cucu, tak kunjung terwujud. Keriusauan lebih besar pada orang tuaku. Mereka sejak lama menuntut kehadiran cucu dari aku, anak semata wayangnya. Namun di tahun ke delapan pernikahan kami, tak ada tanda-tanda kehamilan pada diri Riana. Itu juga tentu, bukan kesengajaanku. 

Jam dinding terus berdetak. Sudah hampir jam lima sore. Aku telah menunggu kedatangan Ruli sejam yang lalu. Aku sengaja datang lebih awal agar tak menambah rasa kecewanya padaku. Sebagai orang yang merasa punya kepentingan lebih, aku sadar harus berkorban. Meski begitu, aku tak yakin, penjelasanku nantinya, akan menjadi alasan yang pantas untuknya memaafkanku. 

Kurang dua menit jam lima sore, ia akhirnya muncul di balik pintu. Aku menjadi gugup menyaksikan kehadirannya. Susunan kata-kata yang rencananya kuutarakan panjang lebar padanya, buyar. Aku menjadi kalang kabut. Bahkan tak tahu harus menyapa dengan kalimat apa terlebih dahulu. 

“Hai, apa kabar Tom?” sapa Ruli, lalu menjabat tanganku.

"Baik Rul," balasku.

Tak kuduga, ia tampak ramah. Mimiknya terlihat tak menyimpan kesan-kesan kebencian. Ia terlihat masih bersahabat seperti dulu. Tapi di awal pembicaraan ini, aku tak ingin tampil polos. Aku takut, maksudku untuk meminta maaf padanya, menjadi tak tersampaikan secara baik.

Di awal pembicaraan, kami membahas banyak hal tentang perjalanan kami selama enam bulan berlalu. Sesekali, menyentil tentang rencana masa depan. Membahas masa silam, sepertinya sulit kami lakukan. Ia juga tak memancing. Sampai akhirnya aku memberanikan diri memulai.

“Rul, kamu masih ingat kejadian tragis tujuh bulan lalu?” tanyaku, setelah menyadari waktu jeda sudah terlalu lama, dan membahas masalah bisnis sudah terlalu mendetail.

“Maksudmu yang mana? Setahuku, tujuh bulan berlalu sampai sekarang, kita tetaplah sahabat baik. Hanya saja, kita tak bisa bertemu lagi karena kesibukan masing-masing,” tuturnya, seperti tak mengingat apa-apa.

Aku menjadi tak mengerti, bagaimana bisa ia melupakan kejadian mengerikan itu begitu cepat. “Maksudku, kejadian yang membuat adikmu…. Maksudku, kecelakaan yang kami alami,” tuturku terbata-bata. 

Ia seperti masih tak mengingatnya. Matanya menatapku tajam. Dahinya berkerut. Seperti masih butuh gambaran lebih rinci tentang kejadian yang kumaksud.

“Maaf, terus terang, aku sudah lama memendam rasa bersalahku padamu, dan keluarga besarmu. Maafkan aku Rul. Karena akulah, kau kehilangan adikmu yang seharusnya kujaga dengan baik seperti janjiku dahulu. Aku tahu kau sangat menyayanginya, dan tentu merasa kehilangan setelah kepergiaannya. Maafkan aku Rul,” tuturku. Kata-kataku mengucur. Seperti tak terkendali.

“Aku tak mengerti maksudmu. Kami baik-baik saja. Riana juga. Maksudmu yang mana?” tanyanya lagi, tegas.

Aku kini merasa bingung atas jawabannya. Riana masih hidup? “Bukankah Riana telah pergi untuk selamanya? Maksudku meninggal setelah kecelakaan?” tanyaku, bingung sendiri.

“Baiklah. Sudah! Aku tak mengerti tentang kecelakaan yang kau maksud. Dan yang penting lagi, Riana masih hidup. Aku ini masih waras Tomi!” balasnya, agak tak sabaran. “Terus terang, tujuan utamaku ke sini adalah memberi tahumu kalau Riana sekarang hamil, kau belum tahu kan? Dia sangat menanti kehadiranmu. Semoga Tuhan merestui kalian untuk segera memiliki anak.”

Penjelasan Ruli itu membuatku tersentak. Bagaimana bisa, kejadian kecelakaan yang menimpa kami enam bulan lalu, tidak seperti yang kudengar. Kata orang tuaku, Riana meninggal tepat setelah kecelakaan yang membuat kaki kananku harus ditopang sampai sekarang. Apakah penuturan kedua orang tuaku adalah kebohongan, termasuk tentang kepergian Riana? 

“Maafkan aku Rul. Aku tak bermaksud apa-apa. Mungkin selama ini, aku salah paham,” tuturku, mengaku salah demi menenangkannya.

Akhirnya, sore itu, tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas menemui Riana. Setelah tak pernah kupertimbangkan, usul orang tuaku agar aku segera menikah dengan wanita lain, tidak akan pernah kuhiraukan lagi. Aku tak mungkin menceraikan istriku, Riana. Tak ada sedikit pun alasanku untuk membencinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar