Sepertinya
tepat kesimpulan orang-orang bahwa harus banyak akal untuk bertahan hidup di
kota. Jika pikiran pampat, jalan lainnya adalah berkompromi dengan hati nurani.
Tapi para budak nafsu materi bisa saja mengombinasikan keduanya, antara akal
bulus dengan perasaan tak berperikemanusiaan. Demi menikmati warna-warni
kehidupan kota, kadang kala orang pasrah saja, mengalah pada keburukan.
Membunuh rasa malunya agar leluasa menumpuk harta.
Inti
paragraf pengantar di atas dapat ditimpakan pada mereka, para peminta-minta,
atau lazimnya disebut pengemis. Sebagian besar orang yang hidup di perkotaan pasti
pernah dimintai sumbangan (kalau tidak mau dikatakan dipalak secara halus) oleh
orang yang berlagak kasihan. Mereka berjaga-jaga di setiap perlintasan yang
ramai, termasuk trotoar perkotaan dan lampu merah. Dengan memasang wajah sendu,
pakaian compang-camping, dan seruan menyayat hati, mereka akan berusaha
memancing uang. Tak pelak, uluran koin pun bergelinding ke dalam wadah miliknya,
hingga terkumpul sejumlah nominal yang menggegerkan.
Lakon
menyayat hati untuk menumpuk rupiah sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit,
tidak hanya diperankan para pengemis. Sejenisnya beragam. Ada gelandangan,
pengamen, penjual koran, hingga tukang parkir. Ada juga di antara mereka yang menyambangi
rumah-rumah warga untuk meminta sumbangan seiklasnya, baik mengaku sebagai pengasuh
panti asuhan ataupun penjual obat-obatan.
Trik
mereka tak terhingga. Dengan adegan apik, mereka berusaha menggugah haru orang
lain hingga rela menyumbang. Padahal banyak di antara mereka yang nampak masih
muda dan bertenaga, namun menampakkan diri sebagai orang yang lemas dan kuyu. Tampakan
lainnya, sebagaimana hasil dari beberapa investigasi, para pengemis menyewa
balita untuk dijadikan “umpan” penggugah rasa.
Naluri
manusia yang mudah tersentuh sisi kemanusiaannya kala menyaksikan peristiwa mengharukan,
rupanya menjadi lapangan kerja menggiurkan bagi beberapa orang di kota. Cara
kerjanya memang gampang. Cukup memancing rasa kasihan, donasi berupa uang pun
mudah saja didapatkan para pelakon. Parahnya, sejumlah fakta menguak bahwa para
pengemis tidak lagi mengais rezeki untuk kebutuhan hidupnya, tapi untuk
memenuhi segala yang ia inginkan. Tak mengherankan jika pengemis yang notabene
kebanyakan pendatang dari daerah lain, khususnya pedesaan, akhirnya bisa
membangun istana kala pulang kampung.
Kenyataan
di atas memang ironis. Menyaksikan fakta terselubung itu tentu membuat hati
kita miris. Ternyata selama ini, keiklasan kita untuk membantu mereka yang
kelihatannya sangat membutuhkan, ternyata salah dan sengaja disalahgunakan. Mereka
bukan sasaran yang tepat. Rasa kesal itu pun akhirnya berujung pada keengganan
untuk menyantuni para peminta-minta lagi, termasuk yang benar-benar
membutuhkan.
Puncaknya,
persepsi para korban pengemis pun berubah 180 derajat, bahwa semua pengemis
adalah penipu. Simpati sosial manusia pun bisa saja terbunuh saking kesalnya dikibuli
para pengemis. Akhirnya, orang yang dulunya sangat penyantun, kini mulai
membiasakan dirinya menjadi pelit, bahkan kepada orang-orang yang sejatinya
terpaksa memohan santunan dan memang layak dikasihi. Demikianlah akhir yang
sangat menakutkan dan tak seorang pun menginginknnya, yaitu ketika jiwa
kemanusiaan kita terbunuh pelan-pelan akibat fobia pada aksi tipu-tipu pengemis.
Keadaan
bias simpati tersebut harus ditanggulangi. Drama para perangsang isi dompet mesti
diakhiri segera. Harus diupayakan agar potensi para pengemis tersalurkan pada
hal-hal yang lebih produktif dan beradab. Terlebih jika melihat usia para
pengemis yang kebanyakan masih bisa bekerja dengan baik. Jika pun pengemis masih
anak sekolah, orang tua, dan penyandang disabilitas, selayaknya mereka dikembalikan
ke tempat yang tepat. Anak-anak kembali bersekolah, orang tua dikembalikan
kepada keluarga mereka atau diberdayakan di panti jompo, sedangkan panyandang
disabilitas selayaknya dibina agar bisa mandiri sesuai kemampuannya.
Sebagaimana
terjadi selama ini, pengemis seharusnya tidak sekadar diberikan pembinaan verbal
lalu dilepasliarkan kembali. Pemerintah selayaknya berpikir untuk memberikan
dukungan riil agar mereka mandiri dan produktif. Langkah paling nyata adalah memberikan
lapangan kerja kepada mereka. Bisa juga melalui kerja sama dengan pengusahaa
swasta agar menampung para penyandang “penyakit sosial” itu sebagai pekerja
dalam persentase tertentu. Atau paling tidak, memberikan pendidikan
kewirausahaan pada mereka, meyokong dengan bantuan modal, serta melakukan
pendampingan usaha.
Selain
terkait peran pemerintah, tidak terelakkan juga bahwa masalah utama dari
maraknya peminta-minta adalah matinya rasa malu. Itulah penyakit individual
yang tentu sulit disembuhkan. Orang tak lagi menganggap tangan di atas lebih
mulia dari pada tangan di bawah. Demi menumpuk harta, orang tak malu-malu lagi
ketahuan sebagai pengemis. Bahkan ada juga yang secara terang-terangan
memamerkan harta bendanya dari hasil mengemis.
Mengatasi
persoalan hilangnya rasa malu para pengemis tentu butuh keterlibatan semua
pihak secara terus menerus. Langkah kecil yang bisa kita lakukan adalah selektif
dalam memberikan donasi kepada orang yang kelihatannya membutuhkan. Bukan
berarti kita belajar menjadi orang pelit, tetapi menjadi jeli agar sumbangan
kita tak salah sasaran hingga merangsang pengemis palsu semakin menjadi-jadi. Tindakan
itu akan memberikan pendidikan kepada mereka secara tidak langsung, bahwa cara
mereka mendapatkan uang tidaklah terpuji.
Akhirnya,
tulisan ini tidak bertujuan untuk menampik adanya kesenjangan sosial dalam
kehidupan perkotaan, yang memaksa sebagian orang yang tersisih untuk menjadi
peminta-minta. Juga tidak ada maksud untuk menyatakan para peminta-minta harus
dimusnahkan atau tidak boleh disantuni. Tulisan ini hanya berusaha memandang
fenomena maraknya pengemis dari sisi lain, dan memberikan sedikit gambaran akan
dampak negatifnya, berupa terciptanya bias simpati. Keadaan saat seseorang
menjadi paranoid terhadap orang lain yang terpaksa harus menjadi peminta-minta
secara jujur, demi bertahan hidup. Bias simpati ditakutkan menyumbat nurani,
sehingga lembat laun, kepedulian sosial manusia menjadi mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar