Minggu, 15 November 2015

Bias Simpati


Sepertinya tepat kesimpulan orang-orang bahwa harus banyak akal untuk bertahan hidup di kota. Jika pikiran pampat, jalan lainnya adalah berkompromi dengan hati nurani. Tapi para budak nafsu materi bisa saja mengombinasikan keduanya, antara akal bulus dengan perasaan tak berperikemanusiaan. Demi menikmati warna-warni kehidupan kota, kadang kala orang pasrah saja, mengalah pada keburukan. Membunuh rasa malunya agar leluasa menumpuk harta.  

Inti paragraf pengantar di atas dapat ditimpakan pada mereka, para peminta-minta, atau lazimnya disebut pengemis. Sebagian besar orang yang hidup di perkotaan pasti pernah dimintai sumbangan (kalau tidak mau dikatakan dipalak secara halus) oleh orang yang berlagak kasihan. Mereka berjaga-jaga di setiap perlintasan yang ramai, termasuk trotoar perkotaan dan lampu merah. Dengan memasang wajah sendu, pakaian compang-camping, dan seruan menyayat hati, mereka akan berusaha memancing uang. Tak pelak, uluran koin pun bergelinding ke dalam wadah miliknya, hingga terkumpul sejumlah nominal yang menggegerkan.

Lakon menyayat hati untuk menumpuk rupiah sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit, tidak hanya diperankan para pengemis. Sejenisnya beragam. Ada gelandangan, pengamen, penjual koran, hingga tukang parkir. Ada juga di antara mereka yang menyambangi rumah-rumah warga untuk meminta sumbangan seiklasnya, baik mengaku sebagai pengasuh panti asuhan ataupun penjual obat-obatan. 
Trik mereka tak terhingga. Dengan adegan apik, mereka berusaha menggugah haru orang lain hingga rela menyumbang. Padahal banyak di antara mereka yang nampak masih muda dan bertenaga, namun menampakkan diri sebagai orang yang lemas dan kuyu. Tampakan lainnya, sebagaimana hasil dari beberapa investigasi, para pengemis menyewa balita untuk dijadikan “umpan” penggugah rasa. 

Naluri manusia yang mudah tersentuh sisi kemanusiaannya kala menyaksikan peristiwa mengharukan, rupanya menjadi lapangan kerja menggiurkan bagi beberapa orang di kota. Cara kerjanya memang gampang. Cukup memancing rasa kasihan, donasi berupa uang pun mudah saja didapatkan para pelakon. Parahnya, sejumlah fakta menguak bahwa para pengemis tidak lagi mengais rezeki untuk kebutuhan hidupnya, tapi untuk memenuhi segala yang ia inginkan. Tak mengherankan jika pengemis yang notabene kebanyakan pendatang dari daerah lain, khususnya pedesaan, akhirnya bisa membangun istana kala pulang kampung. 

Kenyataan di atas memang ironis. Menyaksikan fakta terselubung itu tentu membuat hati kita miris. Ternyata selama ini, keiklasan kita untuk membantu mereka yang kelihatannya sangat membutuhkan, ternyata salah dan sengaja disalahgunakan. Mereka bukan sasaran yang tepat. Rasa kesal itu pun akhirnya berujung pada keengganan untuk menyantuni para peminta-minta lagi, termasuk yang benar-benar membutuhkan. 

Puncaknya, persepsi para korban pengemis pun berubah 180 derajat, bahwa semua pengemis adalah penipu. Simpati sosial manusia pun bisa saja terbunuh saking kesalnya dikibuli para pengemis. Akhirnya, orang yang dulunya sangat penyantun, kini mulai membiasakan dirinya menjadi pelit, bahkan kepada orang-orang yang sejatinya terpaksa memohan santunan dan memang layak dikasihi. Demikianlah akhir yang sangat menakutkan dan tak seorang pun menginginknnya, yaitu ketika jiwa kemanusiaan kita terbunuh pelan-pelan akibat fobia pada aksi tipu-tipu pengemis.

Keadaan bias simpati tersebut harus ditanggulangi. Drama para perangsang isi dompet mesti diakhiri segera. Harus diupayakan agar potensi para pengemis tersalurkan pada hal-hal yang lebih produktif dan beradab. Terlebih jika melihat usia para pengemis yang kebanyakan masih bisa bekerja dengan baik. Jika pun pengemis masih anak sekolah, orang tua, dan penyandang disabilitas, selayaknya mereka dikembalikan ke tempat yang tepat. Anak-anak kembali bersekolah, orang tua dikembalikan kepada keluarga mereka atau diberdayakan di panti jompo, sedangkan panyandang disabilitas selayaknya dibina agar bisa mandiri sesuai kemampuannya.

Sebagaimana terjadi selama ini, pengemis seharusnya tidak sekadar diberikan pembinaan verbal lalu dilepasliarkan kembali. Pemerintah selayaknya berpikir untuk memberikan dukungan riil agar mereka mandiri dan produktif. Langkah paling nyata adalah memberikan lapangan kerja kepada mereka. Bisa juga melalui kerja sama dengan pengusahaa swasta agar menampung para penyandang “penyakit sosial” itu sebagai pekerja dalam persentase tertentu. Atau paling tidak, memberikan pendidikan kewirausahaan pada mereka, meyokong dengan bantuan modal, serta melakukan pendampingan usaha. 

Selain terkait peran pemerintah, tidak terelakkan juga bahwa masalah utama dari maraknya peminta-minta adalah matinya rasa malu. Itulah penyakit individual yang tentu sulit disembuhkan. Orang tak lagi menganggap tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah. Demi menumpuk harta, orang tak malu-malu lagi ketahuan sebagai pengemis. Bahkan ada juga yang secara terang-terangan memamerkan harta bendanya dari hasil mengemis. 

Mengatasi persoalan hilangnya rasa malu para pengemis tentu butuh keterlibatan semua pihak secara terus menerus. Langkah kecil yang bisa kita lakukan adalah selektif dalam memberikan donasi kepada orang yang kelihatannya membutuhkan. Bukan berarti kita belajar menjadi orang pelit, tetapi menjadi jeli agar sumbangan kita tak salah sasaran hingga merangsang pengemis palsu semakin menjadi-jadi. Tindakan itu akan memberikan pendidikan kepada mereka secara tidak langsung, bahwa cara mereka mendapatkan uang tidaklah terpuji. 

Akhirnya, tulisan ini tidak bertujuan untuk menampik adanya kesenjangan sosial dalam kehidupan perkotaan, yang memaksa sebagian orang yang tersisih untuk menjadi peminta-minta. Juga tidak ada maksud untuk menyatakan para peminta-minta harus dimusnahkan atau tidak boleh disantuni. Tulisan ini hanya berusaha memandang fenomena maraknya pengemis dari sisi lain, dan memberikan sedikit gambaran akan dampak negatifnya, berupa terciptanya bias simpati. Keadaan saat seseorang menjadi paranoid terhadap orang lain yang terpaksa harus menjadi peminta-minta secara jujur, demi bertahan hidup. Bias simpati ditakutkan menyumbat nurani, sehingga lembat laun, kepedulian sosial manusia menjadi mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar