Bimo
menghempaskan tubuhnya di sofa sesampainya di rumah. Ia merasa sangat letih dan
kelelahan. Banyak urusan kerja yang telah dilaluinya di kantor. Seharian, ia
bergelut dengan berkas-berkas yang menumpuk. Seperti hari-hari sebelumnya, waktunya
habis untuk duduk mengamati huruf-huruf di kertas dan di layar komputer. Sungguh
pekerjaan yang tak menyenangkan.
Tak
berhenti pada urusan kantor, Bimo juga harus dipusingkan dengan masalah rumah
tangga. Tidak bisa tidak, setelah Darlin, istrinya, pergi lebih dari sebulan
yang lalu, ia harus merangkap sebagai sosok ibu rumah tangga yang baik.
Melayani dirinya sendiri, juga anak semata wayangnya, Linda. Memasak, mencuci,
menyapu, adalah sedikit dari pekerjaan rumah yang kini membebaninya.
Tapi
sebagai amatiran, Bimo jelas tak cakap menyelesaikan urusan rumah tangganya.
Selain karena masalah waktu, sedari dulu, Bimo memang ogah menyentuh pekerjaan
rumah yang dianggapnya remeh. Akhirnya, tak banyak urusan rumah yang
benar-benar di tanganinya. Masalah makanan, cukup belinya di warung; pakaian
kotor diserahkannya pada tukang cuci; kebersihan rumah diabaikannya begitu saja.
Banyaknya
urusan rumah yang harus diselesaikan dengan uang, membuat pengeluaran Bimo
membengkak. Sebagian gaji dan bonus dari kantor yang sedari dulu
disisihkannya untuk ditabung, kini
terkuras sedikit demi sedikit. Kekhawatirannya pun muncul, kalau-kalau tabungannya,
tak lagi mencukupi lagi untuk membayar selama macam cicilan, juga kebutuhan
sekolah Linda.
Kini,
saat Bimo masih menenangkan pikirannya dari beragam urusan yang tak henti
membebaninya, Linda, anaknya yang masih duduk di kelas I SD, menghampirinya
dengan raut wajah yang memprihatinkan. “Ayah, nanti malam kita makan apa? Ada
ayam goreng kan?”
Setelah
melihat isi dompetnya, ia pun mengeluarkan balasan yang tentu mengecewakan bagi
sang anak, “Uang di dompetku, habis, Nak. Malam ini, kita makan tempe goreng
saja ya? Tempe di warung sebelah, rasanya enak kok,” katanya, sambil tersenyum.
“Pokoknya
aku mau ayam goreng!” tegas Linda. Wajahnya lalu berubah murung. Menampakkan
ketidaksukaan jika harus melewati malam tanpa ayam goreng. Apalagi dahulu,
ibunya yang pandai memasak, senantiasa menyajikan ayam goreng yang lezat.
Bimo
berusaha bertahan pada sikapnya. Meski ia peduli pada sang anak, masalah
keuangan, jelas tak boleh ia abaikan. Apalagi, setelah istrinya pergi, ayam
goreng cita rasa impor nan mahal adalah pilihan satu satunya, demi membuat
anaknya tak rewel. “Sekali-kali, bolehlah kita tak makan ayam goreng, Nak.”
“Aku
tak mau! Aku mau ayam goreng!” tegas Linda lagi. Wajahnya pun bersungut-sungut.
Tampak bahwa tangisnya, sebentar lagi akan pecah. “Kalau Ayah tak mau beli, aku
mohon, suruh Ibu cepat pulang.”
Bimo
lalu memeluk dan membelai rambut sang anak. “Kamu sabar ya, Nak. Ibumu akan
pulang,” katanya, sambil tersenyum, berusaha memberi kesan kepada sang anak,
bahwa keadaan rumah tangganya baik-baik saja.
Linda
tak menggubris lagi.
“Baiklah,
nanti malam, aku belikan ayam goreng,” tutur Bimo dengan penuh kepasrahan. Ia jelas
tak ingin tingkah ceria anaknya, lenyap. “Kalau begitu, kau pergilah mandi
sore. Biar aku ke pasar dulu, beli ayam goreng.”
Perlahan-lahan,
Linda pun berlalu. Hanya menunduk, tanpa berkata-kata.
Kini,
kala rumah tangganya membebani dengan sejumlah masalah, Bimo pun merasakan,
betapa sulitnya mengurus rumah tangga tanpa kehadiran istri. Ia baru sadar,
jika sepanjang waktu, sang istri adalah orang yang sangat penting bagi
hidupnya. Seseorang pendamping hidup yang tak pernah ia hargai dengan
sepantasnya.
Akhirnya,
rasa sesal menggerogoti perasaan Bimo. Apalagi kala mengingat kejadian sebulan
yang lalu, sebuah percakapan yang berakhir dengan kepergian sang istri tanpa
pamit:
“Ibu,
makanan kok habis? Ibu tak masak apa-apa?” teriak Bimo di dapur, sepulang dari
kantor.
Istrinya,
Darlin, yang tengah mencuci pakaian, bergegas menghampiri sang suami. “Maafkan
aku, Pak. Aku belum sempat memasak. Tadi, aku pergi membantu para ibu-ibu
memasak kue, di rumah tetangga, yang anaknya akan menikah dua hari ke depan.”
Dengan
penuh ego, emosi Bimo melonjak. “Ibu ini bagaimana sih? Jelas-jelas Ibu tahu
aku pulang kantor jam segini, masa tak ada hidangan apa-apa? Kalau masalah
waktu, kurasa itu alasan saja. Kalau Ibu tak menghabiskan waktu dengan bergosip
tak keruan dengan para ibu-ibu, aku yakin makanan sudah siap,” cerocosnya. “Aku
capek, Bu, kerja di kantor. Ibu harusnya mengerti tanggung jawab sebagai
istri.”
Emosi
Darlin pun, terpancing. Ia merasa tak pantas diremehkan. “Aku juga capek, Pak.
Setiap hari aku harus memasak, mencuci, membersihkan rumah. Itu tak mudah,
Pak.”
Bimo
mengelak. “Alasan! Akulah yang pantas berkata seperti itu. Aku capek-capek cari
duit, tapi Ibu malah asyik menghabiskannya, sambil berleha-leha dengan
pekerjaan remeh-temeh di rumah.”
Mendengar
penuturan suaminya, Darlin benar-benar terpukul. Ia tak menyangka, pekerjaannya
di rumah, tak dihargai apa-apa oleh sang suami. Akhirnya, ia pun pergi, pulang
ke rumah orang tuanya, dengan rasa kecewa yang mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar