Kejayaan
Marni telah berlalu. Peruntungannya dari usaha menjual kue, tak lagi bisa diandalkan
untuk memperoleh penghasilan yang cukup. Beragam jenis kue tradisional yang ia
jajakan, tak lagi diminati orang-orang kekinian. Masyarakat lebih memilih
kue-kue modern dengan cita rasa impor, yang unggul dari segi tampilan dan
penyajian.
Zaman
telah berubah. Marni tak bisa lagi memaksakan keadaan. Rasa dan kualitas bahan
kue buatannya, memang tak ada yang berubah. Bakat berdagangnya pun, masih
tampak pada kelihaiannya menawarkan jajanan. Yang berubah hanya tampakan
dirinya. Wajahnya, tak lagi seelok dahulu.
Marni
tak bisa menyalahkan siapa-siapa atas keadaannya. Sedari dulu, ia memang sadar
bahwa akan datang suatu masa, saat ia tak mampu lagi menarik minat para
pembeli. Ia akan menua, hingga tak bisa
lagi mengggugah selera para pemuda yang usil. Tapi ia tak mau menyerah begitu
saja. Sedari awal, ia memang hanya berniat menjual.
Usaha Marni pun tetap berlanjut dengan hasil yang tak menguntungkan. Ia sering kali
harus membawa pulang kue jualannya untuk jadi pengisi perutnya sendiri. Kalaupun
ada kuenya yang terjual, pembelinya kebanyakan adalah anak-anak yang tak ada
tujuan apa-apa selain makan kue. Kalaupun ada pemuda dewasa yang berminat, kemungkinan
mereka hanya kasihan melihat dirinya letih menjunjung dan menjinjing kue jualan.
Tapi
belakangan, sudah hampir sebulan, keuntungan usaha Marni, kembali meningkat.
Ada Andini, anak bungsunya yang tengah libur kuliah. Seorang anak yang memiliki
rupa sepertinya semasih muda: cantik. Anak gadisnya itulah yang menggantikan
dirinya yang mulai sakit-sakitan, untuk menawarkan jajanan kepada para pembeli.
Keberhasilan
Andini menjual kue, di luar dugaan Marni. Kue-kue, ludes terjual setiap hari.
Bahkan, ia harus membuat lebih banyak kue lagi untuk memenuhi keinginan para
pembeli. Dan karena keanehan itu pula, Marni memendam curiga kepada sang anak.
Ia khawatir anaknya tak hanya menjajakan kue.
“Jualanmu
laku keras, Nak,” puji Marni, bermaksud mengamati reaksi sang anak untuk
menemukan jawaban atas kerisauannya selama ini.
Andini
menoleh, dengan tangan yang lincah meramu adonan kue. “Hebat kan, Bu? Aku
yakin, besok-besok, pendapatan dari hasil penjualan kue akan semakin meningkat,”
tuturnya dengan senyum yang merekah manis.
Melihat
reaksi anaknya, Marni semakin curiga kalau ada sesuatu yang disembunyikan sang
anak. “Kau memang hebat, Nak. Aku bangga padamu. Tapi…”
“Tapi
apa, Bu?” sergah Andini.
Marni
berhenti meremas adonan kue. “Kau hanya menjual kue, kan?” sambungnya.
Dahi
Andini mengernyit, tak paham arti pertanyaan ibunya. “Maksud Ibu?”
“Maksudku,
kau tak dapat gangguan dari para lelaki, kan?” tanya Marni, segan, tak ingin
membuat putrinya tersinggung. “Kau tahu sendiri, pemuda di sekitar sini banyak
yang nakal-nakal. Kau tak menghiraukan mereka, kan?”
“Ya,
iyalah, Bu. Aku hanya menjual kue. Ibu khawatir kalau aku menjual dengan cara
yang tak benar? Ibu curiga kalau aku mendapatkan uang yang tidak halal?”
tanyanya Andini, ingin memperjelas maksud ibunya.
Marni
terdiam saja. Tak bisa mengelak kalau itulah maksud pertanyaannya.
Andini
tergelak. “Jangan khawatir, Bu. Aku selalu pegang pesan-pesan Ibu, kalau kita
menjual itu, harus dengan cara-cara yang baik. Aku bisa menjaga sikap di
hadapan para pemuda usil kok, Bu.”
Seketika, Marni merasa sedikit tenang. “Kalau saja aku tahu dari dulu kalau kau bisa
menjual kue dengan baik, mungkin lebih baik kau membantu Ibu mengembangkan
usaha penjualan kue dari pada bersekolah,” tuturnya, bermaksud bercanda untuk mencairkan
suasana.
Andini
hanya membalas dengan tawa yang pendek.
“Tapi
sebenarnya, aku masih penasaran, kenapa bisa kau membuat kue jualanmu laris
manis. Padahal, kan, kau belum lama belajar menjual,” tanya Marni yang benar-benar
ingin menuntaskan rasa penasarannya.
Andini
tertawa lagi. “Ibu benar-benar tak tahu! Aku kan kuliah di fakultas ekonomi,
Bu. Kalau masalah teknik jual-menjual dan cara mengelola untung-rugi, aku sudah
paham, Bu. Makanya, aku tak menjajakan sendiri kue buatan Ibu. Aku titip saja
di kios-kios. Lebih efektif begitu, Bu,” katanya. “Itulah gunanya sekolah.”
Seketika,
setelah mendengarkan penuturan sang anak yang begitu meyakinkan, perasaan Marni
pun jadi tenang. Rasa curiganya, sirna. Ia benar-benar merasa bangga.
“Bu,
kalau hasil jualan kue terus meningkat dan hasilnya sudah banyak, aku saran sih
untuk buat toko sendiri. Kita buat kue dengan merek sendiri. Kita kemas kue
dengan sebaik-baiknya. Aku yakin, penghidupan kita akan lebih baik jika
begitu,” saran Andini, sebuah rencana yang sedari dulu diidam-idamkannya.
“Terserah
kau saja, Nak. Itulah gunanya kau disekolahkan,” balas Marni, sembari tersenyum
lepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar