Sabtu, 23 April 2016

Hentikan Penggusuran!

Sepanjang waktu, layar televisi acap kali menayangkan aktivitas penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah. Belum lama ini, terjadi penggusuran terhadap warga wilayah Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Sebanyak 694 Kepala Keluarga (KK) dengan total warga berjumlah 4.929 orang, harus kehilangan tempat tinggal yang telah dihuninya selama 50 tahun. Sebagian dari mereka terpaksa bertahan hidup di atas perahu. Mereka menolak pindah ke rumah susun yang disediakan pemerintah DKI Jakarta karena akan berpengaruh terhadap mata pencarian mereka sebagai nelayan. 

Penggusuran tidak hanya dialami warga Pasar Ikan. Sejumlah penggusuran di hari-hari sebelumnya juga marak terjadi. Misalnya penggusuran kawasan Kampung Pulo, Bukit Duri, Pinangsia, dan Kalijodo. LBH Jakarta pun pernah melansir Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta pada Januari-Agustus 2015. Laporan itu menunjukkan bahwa selama kurun waktu delapan bulan, terdapat 30 kasus penggusuran dengan korban 3433 KK dan 433 unit usaha.

Menilik pada kasus yang terjadi selama ini, penggusuran yang dilakukan selalu didasarkan pada alasan untuk kepentingan umum, misalnya untuk keperluan lahan ruang terbuka hijau, perbaikan perairan dan irigasi, serta untuk pengembangan jalan. Meski begitu, banyak juga pihak, terutama lembaga swadaya masyarakat, yang menduga bahwa penggusuran dilakukan hanya untuk tujuan bisnis, bukan untuk kepentingan umum.

Rumah adalah HAM

Pertanyaan besar muncul menyikapi tindak penggusuran yang selama ini terjadi, yaitu dapatkah dibenarkan penggusuran paksa yang jelas-jelas mengorbankan hak-hak individu mayarakat? Jika kita merujuk pada sejarah lahirnya konsep Hak Asasi Manusia (HAM) demi melindungi hak-hak individu dari kesemena-menaan pemegang kekuasaan, tentu tindakan penggusuran bertentangan roh HAM. Dalih penggusuran untuk kepentingan umum, pun tak bisa dibenarkan jika penggusuran mengabaikan hak asasi individu secara tidak manusiawi.

Pada dasarnya, hak untuk memiliki rumah adalah HAM. Itu bukan sebuah konstruksi konsep yang asal-asalan, sebab secara kodrati, kebutuhan hidup manusia tidak hanya sandang dan pangan, tetapi juga papan. Setiap manusia membutuhkan ruang privat untuk pengembangan dirinya sendiri dan keluarganya. Di dalam rumah jualah, pembentukan karakter dasar manusia terjadi. Tatanan kehidupan dalam rumah tangga, tentu berpengaruh terhadap tatanan kehidupan mayarakat.

Secara umum, rumah sebagai salah satu HAM diakui secara internasional, sebagaimana tertera dalam Pasal 25 ayat (1)  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan…. Belum lagi jika merujuk kepada serangkaian konvensi internasional tentang HAM yang telah diratifikasi Indonesia. Maka jelaslah bahwa rumah adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dan dilindungi.

Rumah sebagai HAM juga diakui secara konstitusional di Indonesia. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tambah lagi, Pasal 28A yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. 

Secara tegas, rumah sebagai hak konstitusional warga negara tertera dalam Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak konstitusional tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Dasar konstitusional di atas harusnya cukup untuk menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rumah sebagai tempat tinggal. Untuk itu, penggusuran sebisa mungkin harus dihindari. Apalagi jika mengingat bahwa serangkaian hak lain yang seikat dengan rumah, mencakup hak ekonomi, sosial, dan budaya, juga terpengaruh akibat penggusuran. Jelas bahwa penggusuran bukan hanya terkait lenyapnya hunian, tapi juga erat kaitannya dengan hilangnya mata pencarian serta terganggunya tatanan kehidupan masyarakat. Itulah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama untuk menyatakan bahwa penggusuran paksa, tak dapat dibenarkan.

Pemerintah "Sembunyi Tangan"

Selalu saja dalam setiap kegiatan penggusuran selama ini, masyarakat terdampak selalu menjadi pihak yang disalahkan. Penggusuran dikatakan sebagai konsekuensi pembangunan rumah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun jika menggunakan pertimbangan akal sehat, vonis tersebut tidak selamanya benar. Dalam banyak hal, tanpa disadari, kesalahan seharusnya berada di pihak pemerintah. Buruknya perencanaan pembangunan wilayah oleh pemerintah, jelas berpengaruh langsung atas terjadinya pembangunan yang tak terkendali. Akhirnya jika begitu, penggusuran, mau tak mau, pun dipaksakan suatu saat. 

Keabaian ataukah kesalahan pemerintah, tidak hanya pada tahap perencanaan. Dalam tahap pelaksanaan dan pemantauan pembangunan, pemerintah juga kadang tak melaksanakan tugasnya dengan baik. Instrumen administratif untuk mengontrol pembangunan, tidak difungsikan secara optimal. Sosialisasi dan pemantauan terhadap kegiatan pembangunan yang dilakukan masyarakat, juga tak dilaksanakan pemerintah secara baik. Tak heran jika sering terjadi aktivitas pembangunan dinyatakan telah sesuai perencanaan wilayah, bahkan legal secara administratif hukum, tapi terpaksa digusur di kemudian hari.

Melihat kenyataan bahwa masih banyak tindakan penggusuran yang tidak manusiawi dan dilakukan secara paksa, maka tak usah berharap pemerintah akan melakukan tindakan berarti untuk pemenuhan hak konstitusional warga negara atas rumah yang layak. Lahirnya UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman untuk mengenjot penyediaan rumah bagi seluruh warga negara, seperti jauh panggang dari api. Mirisnya, pemerintah malah sibuk untuk melakukan penggusuran rumah atas nama pembangunan yang modern dan tertata. Lagi-lagi, masyarakat kecil dikambinghitamkan atas pembangunan yang dicap “tak elok”, sampai harus digusur. Di sisi lain, pemerintah dengan enteng mengelak atas keabaian ataupun kesalahnnya dalam penataan pembangunan, bak peribahasa lempar batu sembunyi tangan.

Hanya Masalah Keberpihakan

Penggusuran seharusnya tidak perlu terjadi jika saja pemerintah menumpukan keberpihakannya kepada masyarakat, utamanya yang memiliki kemampuan ekomomi menengah ke bawah. Apalagi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa korban penggusuran, kebanyakan adalah mereka yang tidak punya cukup modal untuk membangun rumah yang layak dan legal menurut aturan hukum. Mereka akhirnya mendirikan hunian sekadar untuk bertahan hidup. Mirisnya, mereka nyatanya tergusur dari tanah mereka sendiri. Urbanisasi tak terkendali menggerus kehidupan mereka, tapi  pemerintah tak peduli.
Keberpihakan pemerintah dalam soal penggusuran, acap kali bertepuk sebelah tangan. Pemerintah sama sekali tidak mempersoalkan pembangunan gedung megah yang berorientasi pada bisnis. Padahal secara nyata, gedung-gedung tersebut juga berperan besar terhadap kesemrawutan kota. Gedung bertingkat nan berderet seakan lebih indah dibandingkan pohon-pohon rindang. Beton-beton pelataran lebih diutamakan ketimbang memperbanyak daerah resapan air.  Saat pembangunan dirasa jelas menggangu keseimbangan lingkungan, semisal terjadi banjir, masyarakat yang terluntah-luntah mencari tempat tinggal, menjadi sasaran penggusuran. Di sisi lain, gedung megah tetap berdiri kokoh, bahkan merambat dan beranak-pinak.

Dalam melegalkan proses penggusuran, pemerintah sering kali berlindung di bawah kredo demi kepentingan umum. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, pun dijadikan tameng . Terlebih, jelas pada Pasal 5 dan Pasal 8 UU tersebut, ditekankan bahwa pihak yang berhak atas tanah, yaitu yang menguasai atau memiliki, wajib melepaskan tahannya untuk kepentingan umum. Padahal sejatinya, lahirnya UU tersebut berusaha menjembatani kepentingan individu dan kebutuhan pembangunan secara seimbang. Tapi akhirnya, jika yang memegang kendali pemerintahan tidak punya keberpihakan secara adil, mau tak mau, masyarakat kecil harus rela tergusur atas nama pembangunan, kapan saja dan entah untuk siapa.

Tindakan penggusuran paksa untuk pembangunan demi peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang notabene hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat, jelas bertentangan dengan konstitusi. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika kita telisik lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak mengusai negara di antaranya adalah hak untuk mengatur peruntukan dan mengatur hubungan hukum antara orang tengan objek tertentu. 

Atas dasar hak mengusasi negara, pemerintah sebagai penyelenggara negara, memiliki kekuasaan untuk memutuskan mengenai penetapan hak atas tanah maupun pelepasannya. Hak pemerintahlah untuk menentukan apakah pemukiman di lahan tertentu harus digusur karena tidak punya dasar legalitas kepemilikan, ataukah mereka difasilitasi untuk memiliki hubungan hukum atas tanah tersebut melalui proses pendaftaran tanah. Pemerintahlah yang menentukan apakah kawasan yang dicap kumuh cukup dibenahi dan ditata, ataukah harus digusur. Sampai, hak pemerintahlah untuk menentukan pihak mana yang akan dikorbankan (baca: digusur) untuk pengadaan lahan demi kepentingan umum yang sebenar-benarnya, apakah melulu rumah-rumah masyarakat kecil, ataukah gedung bertingkat dan deretan rumah toko orang-orang berduit dan berdasi.

Masalah penggusuran sebenarnya hanyalah masalah keberpihakan. Keberpihakan kepada masyarakat kecil, ataukah keberpihakan kepada para memilik modal. Keberpihakan pada pembangunan untuk kepentingan umum, ataukah keberpihakan pada pembangunan untuk modernisasi belaka. Aturan tertulis hanyalah diktum-diktum di atas kertas yang seharusnya tidak dijadikan alat bagi pemerintah untuk semena-mena dalam melakukan penggusuran, tetapi sebaliknya, adalah untuk mendukung keberpihakannya yang adil kepada masyarakat kecil. Sejatinya, masyarakat tidak pernah memimpikan kemajuan pembangunan, jika menggerus hak-hak dasar mereka atas rumah. Masyarakat juga tidak menginginkan pemimpin yang sekadar tahu dan patuh pada aturan, jika ia tidak punya keberpihakan kepada penderitaan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar