Sepanjang
waktu, layar televisi acap kali menayangkan aktivitas penggusuran yang
dilakukan oleh pemerintah. Belum lama ini, terjadi penggusuran terhadap warga wilayah
Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Sebanyak 694 Kepala Keluarga (KK) dengan total warga berjumlah 4.929 orang, harus kehilangan tempat tinggal yang telah dihuninya selama 50 tahun.
Sebagian dari mereka terpaksa bertahan hidup di atas perahu. Mereka menolak pindah
ke rumah susun yang disediakan pemerintah DKI Jakarta karena akan berpengaruh
terhadap mata pencarian mereka sebagai nelayan.
Penggusuran
tidak
hanya dialami warga Pasar Ikan. Sejumlah penggusuran di hari-hari
sebelumnya juga marak terjadi. Misalnya penggusuran kawasan Kampung
Pulo, Bukit
Duri, Pinangsia, dan Kalijodo. LBH Jakarta pun pernah melansir Laporan
Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta pada Januari-Agustus 2015.
Laporan itu menunjukkan bahwa selama kurun waktu delapan bulan, terdapat 30 kasus penggusuran dengan korban 3433 KK dan 433 unit usaha.
Menilik
pada kasus yang terjadi selama ini, penggusuran yang dilakukan selalu didasarkan
pada alasan untuk kepentingan umum, misalnya untuk keperluan lahan ruang
terbuka hijau, perbaikan perairan dan irigasi, serta untuk pengembangan jalan.
Meski begitu, banyak juga pihak, terutama lembaga swadaya masyarakat, yang
menduga bahwa penggusuran dilakukan hanya untuk tujuan bisnis, bukan untuk
kepentingan umum.
Rumah adalah HAM
Pertanyaan
besar muncul menyikapi tindak penggusuran yang selama ini terjadi, yaitu
dapatkah dibenarkan penggusuran paksa yang jelas-jelas mengorbankan hak-hak
individu mayarakat? Jika kita merujuk pada sejarah lahirnya konsep Hak Asasi
Manusia (HAM) demi melindungi hak-hak individu dari kesemena-menaan pemegang
kekuasaan, tentu tindakan penggusuran bertentangan roh HAM. Dalih penggusuran
untuk kepentingan umum, pun tak bisa dibenarkan jika penggusuran mengabaikan
hak asasi individu secara tidak manusiawi.
Pada
dasarnya, hak untuk memiliki rumah adalah HAM. Itu bukan sebuah konstruksi konsep yang
asal-asalan, sebab secara kodrati, kebutuhan hidup manusia tidak hanya sandang
dan pangan, tetapi juga papan. Setiap manusia membutuhkan ruang privat untuk pengembangan
dirinya sendiri dan keluarganya. Di dalam rumah jualah, pembentukan karakter
dasar manusia terjadi. Tatanan kehidupan dalam rumah tangga, tentu berpengaruh terhadap
tatanan kehidupan mayarakat.
Secara
umum, rumah sebagai salah satu HAM diakui secara internasional, sebagaimana
tertera dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya
sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan….
Belum lagi jika merujuk kepada serangkaian konvensi internasional tentang HAM
yang telah diratifikasi Indonesia. Maka jelaslah bahwa rumah adalah kebutuhan
dasar manusia yang harus dipenuhi dan dilindungi.
Rumah sebagai HAM juga diakui secara
konstitusional di Indonesia. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tambah lagi, Pasal 28A yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
Secara tegas, rumah sebagai hak
konstitusional warga negara tertera dalam Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Hak konstitusional tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal
40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Dasar konstitusional di atas harusnya
cukup untuk menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rumah sebagai tempat
tinggal. Untuk itu, penggusuran sebisa mungkin harus dihindari. Apalagi jika mengingat bahwa serangkaian hak lain yang seikat dengan
rumah, mencakup hak ekonomi, sosial, dan budaya, juga terpengaruh akibat
penggusuran. Jelas bahwa penggusuran bukan hanya terkait lenyapnya hunian, tapi
juga erat kaitannya dengan hilangnya mata pencarian serta terganggunya tatanan
kehidupan masyarakat. Itulah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama untuk
menyatakan bahwa penggusuran paksa, tak dapat dibenarkan.
Pemerintah "Sembunyi Tangan"
Selalu saja dalam setiap kegiatan penggusuran
selama ini, masyarakat terdampak selalu menjadi pihak yang disalahkan.
Penggusuran dikatakan sebagai konsekuensi pembangunan rumah yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Namun jika menggunakan pertimbangan akal
sehat, vonis tersebut tidak selamanya benar. Dalam banyak hal, tanpa disadari, kesalahan
seharusnya berada di pihak pemerintah. Buruknya perencanaan pembangunan wilayah
oleh pemerintah, jelas berpengaruh langsung atas terjadinya pembangunan yang tak
terkendali. Akhirnya jika begitu, penggusuran, mau tak mau, pun dipaksakan suatu saat.
Keabaian ataukah kesalahan pemerintah,
tidak hanya pada tahap perencanaan. Dalam tahap pelaksanaan dan pemantauan
pembangunan, pemerintah juga kadang tak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Instrumen administratif untuk mengontrol pembangunan, tidak difungsikan secara
optimal. Sosialisasi dan pemantauan terhadap kegiatan pembangunan yang dilakukan masyarakat, juga
tak dilaksanakan pemerintah secara baik. Tak heran jika sering terjadi aktivitas
pembangunan dinyatakan telah sesuai perencanaan wilayah, bahkan legal secara administratif
hukum, tapi terpaksa digusur di kemudian hari.
Melihat
kenyataan bahwa masih banyak tindakan penggusuran yang tidak manusiawi dan dilakukan secara paksa, maka
tak usah berharap pemerintah akan melakukan tindakan berarti untuk pemenuhan hak konstitusional warga negara atas rumah yang layak. Lahirnya UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman untuk mengenjot penyediaan rumah bagi
seluruh warga negara, seperti jauh panggang dari api. Mirisnya, pemerintah
malah sibuk untuk melakukan penggusuran rumah atas nama pembangunan yang modern
dan tertata. Lagi-lagi, masyarakat kecil dikambinghitamkan atas pembangunan yang dicap “tak elok”, sampai harus digusur. Di sisi lain, pemerintah
dengan enteng mengelak atas keabaian ataupun kesalahnnya dalam penataan
pembangunan, bak peribahasa lempar batu sembunyi tangan.
Hanya Masalah Keberpihakan
Penggusuran
seharusnya tidak perlu terjadi jika saja pemerintah menumpukan keberpihakannya kepada masyarakat,
utamanya yang memiliki kemampuan ekomomi menengah ke bawah. Apalagi sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa korban penggusuran, kebanyakan adalah mereka
yang tidak punya cukup modal untuk membangun rumah yang layak dan legal
menurut aturan hukum. Mereka akhirnya mendirikan hunian sekadar untuk bertahan
hidup. Mirisnya, mereka nyatanya tergusur dari tanah mereka sendiri. Urbanisasi tak terkendali menggerus kehidupan mereka, tapi pemerintah tak peduli.
Keberpihakan
pemerintah dalam soal penggusuran, acap kali bertepuk sebelah tangan. Pemerintah
sama sekali tidak mempersoalkan pembangunan gedung megah yang berorientasi pada
bisnis. Padahal secara nyata, gedung-gedung tersebut juga berperan besar terhadap kesemrawutan
kota. Gedung bertingkat nan berderet seakan lebih indah dibandingkan
pohon-pohon rindang. Beton-beton pelataran lebih diutamakan ketimbang memperbanyak daerah resapan air. Saat pembangunan dirasa jelas menggangu keseimbangan
lingkungan, semisal terjadi banjir, masyarakat yang terluntah-luntah mencari tempat tinggal, menjadi
sasaran penggusuran. Di sisi lain, gedung megah tetap berdiri kokoh, bahkan merambat dan beranak-pinak.
Dalam
melegalkan proses penggusuran, pemerintah sering kali berlindung di bawah kredo
demi kepentingan umum. UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, pun
dijadikan tameng . Terlebih, jelas pada Pasal 5 dan Pasal 8 UU tersebut,
ditekankan bahwa pihak yang berhak atas tanah, yaitu
yang menguasai atau memiliki, wajib melepaskan tahannya untuk kepentingan umum.
Padahal sejatinya, lahirnya UU tersebut berusaha menjembatani kepentingan
individu dan kebutuhan pembangunan secara seimbang. Tapi akhirnya, jika yang memegang kendali
pemerintahan tidak punya keberpihakan secara adil, mau tak mau, masyarakat kecil
harus rela tergusur atas nama pembangunan, kapan saja dan entah untuk siapa.
Tindakan penggusuran paksa untuk pembangunan demi peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang notabene hanya
menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat, jelas bertentangan
dengan konstitusi. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika kita telisik
lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, hak mengusai negara di antaranya adalah hak untuk mengatur
peruntukan dan mengatur hubungan hukum antara orang tengan objek tertentu.
Atas dasar hak mengusasi negara, pemerintah sebagai penyelenggara
negara, memiliki kekuasaan untuk memutuskan mengenai penetapan hak atas tanah
maupun pelepasannya. Hak pemerintahlah untuk menentukan apakah pemukiman di
lahan tertentu harus digusur karena tidak punya dasar legalitas kepemilikan,
ataukah mereka difasilitasi untuk memiliki hubungan hukum atas tanah tersebut
melalui proses pendaftaran tanah. Pemerintahlah yang menentukan apakah kawasan
yang dicap kumuh cukup dibenahi dan ditata, ataukah harus digusur. Sampai, hak
pemerintahlah untuk menentukan pihak mana yang akan dikorbankan (baca: digusur)
untuk pengadaan lahan demi kepentingan umum yang sebenar-benarnya, apakah melulu
rumah-rumah masyarakat kecil, ataukah gedung bertingkat dan deretan rumah
toko orang-orang berduit dan berdasi.
Masalah penggusuran sebenarnya hanyalah masalah keberpihakan.
Keberpihakan kepada masyarakat kecil, ataukah keberpihakan kepada para memilik
modal. Keberpihakan pada pembangunan untuk kepentingan umum, ataukah
keberpihakan pada pembangunan untuk modernisasi belaka. Aturan tertulis hanyalah diktum-diktum
di atas kertas yang seharusnya tidak dijadikan alat bagi pemerintah untuk
semena-mena dalam melakukan penggusuran, tetapi sebaliknya, adalah untuk
mendukung keberpihakannya yang adil kepada masyarakat kecil. Sejatinya,
masyarakat tidak pernah memimpikan kemajuan pembangunan, jika menggerus hak-hak
dasar mereka atas rumah. Masyarakat juga tidak menginginkan pemimpin yang
sekadar tahu dan patuh pada aturan, jika ia tidak punya keberpihakan kepada penderitaan
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar