Senin, 27 Juni 2016

Hantu Begal Geng Motor


Aksi sadis kawanan begal geng motor, semakin mendapatkan kecaman dari masyarakat. Tindakan tegas pun diambil pihak kepolisian untuk menumpas kejahatan begal, termasuk mengadakan patrol malam dan penyisiran ke sarang-sarang geng motor. Tujuannya tentu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan begal yang jelas merupakan tindak pidana, khususnya berdasarkan Pasal 365 KUHP, terkait pencurian dengan kekerasan.

Tidak tanggung-tanggung, seruan untuk menindak tegas para begal, juga meluncur dari mulut Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal Hadi Prasojo. Ia menginstruksikan kepada jajarannya agar menembak para begal jika melakukan perlawanan terhadap aparat. Ketegasan itu merupakan buntut dari meninggalnya anggota Kopassus Prajurit Satu Galang Suryawan, di Kota Bandung, Ahad dinihari, 5 Juni 2016. Pelakunya diduga kuat adalah kawanan geng motor.

Baru-baru ini, sikap tegas juga diluntarkan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Ia  membangun sistem koordinasi antara pemerintah, Pangdam, dan Kapolda untuk menuntaskan aksi begal, khususnya di Kota Makassar. Bahkan, ia melontarkan keinginannya agar kawanan begal ditumpas habis. Keresahan itu akhirnya dijawab Panglima Kodam (Pangdam) VII Wirabuana, Agus Surya Bakti dengan kesiapan untuk membantu Kapolda, bahkan siap menurunkan prajuritnya jika dibutuhkan.

Tegas, Jangan Kebablasan

Tindakan tegas, bahkan “keras”, kepada begal geng motor, tentu merupakan angin segar bagi masyarakat yang selama ini dihantui hantu geng motor. Namun di samping itu, perlu dipastikan bahwa pemberantasan begal, tetap sesuai prosedur. Hal ini penting untuk memberikan jaminan bahwa upaya penegakan hukum tidak dilakukan secara membabi buta, hingga menimbulkan masalah baru. Jangan sampai penuntasan begal geng motor malah menjadi hantu baru bagi masyarakat, akibat khawatir menjadi objek salah sasaran.

Di sisi lain, mengingat persoalan begal geng motor menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat, pemberantasannya harus menjadi tanggung jawab utama aparat kepolisian. Kehadiran prajurit TNI,  harus dianggap sebagai penyokong, dan tetap di bawah koordinasi pihak kepolisian. Pentingnya penempatan kekuatan itu sesuai fungsinya, tidak lain untuk menjaga wibawa negara, khususnya untuk mengembalikan muruah lembaga penegak hukum, kepolisian. Jika daya dan upaya institusi kepolisian dikerahkan secara baik, maka penuntasan begal bukanlah persoalan besar. Langkah taktis itu tentu membutuhkan instruksi secara kelembagaan, sebagaimana terjadi di tubuh TNI.

Penumpasan begal geng motor secara tidak terkoordinasi dan tak sesuai prosedur, malah akan membuat keadaan semakin runyam. Selain akan membuat pelaksanaannya tidak berjalan efektif dan efisien, perlawanan terhadap geng motor secara berlebihan, bisa jadi penanda bahwa aparat kepolisian telah kalah. Di sisi lain, kenyataan itu dapat menjadi kebanggaan bagi para oknum begal geng motor, sebab merasa telah berhasil mengganggu ketertiban masyarakat, bahkan mengancam pertahanan negara. Intinya, ketegasan dalam pemberantasan geng motor tetaplah diperlukan, tetapi jangan sampai kebablasan. 

Hindari Pengadilan Jalanan

Sikap main hakim sendiri terhadap pelaku pembegalan yang saring terjadi, tidak lain sebagai wujud rasa kesal dan amarah masyarakat. Pelampiasan itu, sangat sulit dihindari seiring menumpuknya kegusaran masyarakat terhadap pelaku begal. Tidak sedikit pelaku begal dimassa masyarakat sampai luka berat, bahkan meregang nyawa. Kejadian itu bahkan sering dipertontonkan, sampai menggugah kemirisan kita, betapa rasa kemanusiaan sedikit demi sedikit terkikis karena dendam yang menumpuk. 

Melawan pelanggaran hukum dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti pengadilan jalanan, jelas tindakan yang salah. Meski di satu sisi, tindakan begal meresahkan masyarakat dan melanggar hukum, namun mengeroyok pelaku begal juga adalah pelanggaran hukum yang diancam pidana sesuai Pasal 351 KUHP tentang pengeroyokan. Jika tidak dilakukan pencegahan terhadap tindakan main hakim sendiri, jelas akan membuat hukum terus terpojok dan diabaikan.

Tidak ada cara efektif untuk menghindari pengadilan jalanan, selain dengan mewujudkan kembali penegakan hukum yang gagah dan berwibawa. Penegakan hukum harus dilakukan secara konprehensif, dengan menggunakan upaya pencegahan dan penindakan secara tepat. Jika aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban masyarakat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka pengadilan jalanan tak akan terjadi.

Penegakan hukum terhadap pelaku begal geng motor, harus juga berlaku bagi pelaku pengeroyokan terduga begal, bahkan kepada aparat yang melakukan penegakan hukum yang tidak sesuai prosedur. Hukum harus tegas kepada siapa pun, sesuai kesalahannya. Hal ini penting sebab penegakan hukum tak seharusnya tak sebatas pemberantasan aksi begal, tetapi juga untuk menjaga sisi kemanusiaan setiap orang agar tidak luntur akibat dendam pada hantu begal geng motor. 

Memelihara Generasi Muda

Pelaku begal geng motor kebanyakan masih kategori usia pemuda bahkan remaja. Kenyataan ini tentu memiriskan, mengingat di tangan generasi mudalah, kejayaan bangsa ditumpukan. Untuk itu, memandang masalah ini dari sisi lain, bahwa pelaku begal, juga merupakan korban dari kerasnya hidup di zaman modern, juga perlu dipertimbangkan. Perspektif ini perlu digunakan, agar pemberantasan begal, tidak lagi fokus sekadar pada pemberian efek jera kepada pelaku begal yang nota bene pemuda dan remaja, tetapi juga mengutamakan upaya pencegahan.

Upaya memelihara generasi muda, menjadi penting untuk segera dilakukan. Memelihara berarti melindungi dari melakukan tindakan negatif, semisal terlibat dalam aksi pembegalan. Upaya melindungi berarti menghindarkan generasi muda dari kungkungan lingkungan yang memaksa, atau setidaknya, memberi sugesti kepada mereka untuk melakukan aksi pembegalan. Ruang lingkup perlindungan ini misalnya memberantas penyalahgunaan miras dan narkotika, juga pergaulan bebas.

Melindungi generasi muda dari tayangan-tayangan yang mempertontonkan contoh yang tak baik, juga perlu dilakukan. Sinetron Anak Jalanan yang belakangan tenar di tengah masyarakat, misalnya. Jelas, sinetron ini ditujukan untuk menyasar para penonton berusia muda dengan mempertontonkan adegan yang dianggap “keren” bagi ukuran anak labil. Imbasnya, usia remaja dan pemuda yang masih pada tahap pencarian jati diri, terpengaruh. Anggapan ini sejalan dengan keluarnya teguran kedua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap tayangan sinetron itu tanggal 12 Februari 2016, setelah terguran pertama 11 Januari 2016. Alasannya, sinetron  tersebut memuat adegan pekelahian dan pengeroyokan oleh geng motor, balap-balapan di jalan raya, penggunaan kata-kata kasar, sampai adegan berciuman pipi antarlawan jenis. 

Di sisi lain, upaya memelihara generasi muda juga berarti mewadahi, yaitu menyediakan lingkungan yang baik agar mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan positif. Larut dalam kegiatan positif, akan membuat para generasi muda tak berpikir untuk melakukan tindakan yang bersifat negatif. Aktualisasi diri, dapat mereka lakukan secara baik dan positif. Bentuk nyata dari mewadahi generasi muda adalah menyediakan lingkungan kreativitas, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Wujudnya dapat dengan mengadakan kegiatan keagamaan, olahraga, dan seni secara semarak dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar