Aksi
sadis kawanan begal geng motor, semakin mendapatkan kecaman dari masyarakat.
Tindakan tegas pun diambil pihak kepolisian untuk menumpas kejahatan begal,
termasuk mengadakan patrol malam dan penyisiran ke sarang-sarang geng motor.
Tujuannya tentu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan begal yang jelas
merupakan tindak pidana, khususnya berdasarkan Pasal 365 KUHP, terkait
pencurian dengan kekerasan.
Tidak
tanggung-tanggung, seruan untuk menindak tegas para begal, juga meluncur dari
mulut Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal Hadi Prasojo. Ia
menginstruksikan kepada jajarannya agar menembak para begal jika melakukan
perlawanan terhadap aparat. Ketegasan itu merupakan buntut dari meninggalnya
anggota Kopassus Prajurit Satu Galang Suryawan, di Kota Bandung, Ahad dinihari,
5 Juni 2016. Pelakunya diduga kuat adalah kawanan geng motor.
Baru-baru
ini, sikap tegas juga diluntarkan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin
Limpo. Ia membangun sistem koordinasi
antara pemerintah, Pangdam, dan Kapolda untuk menuntaskan aksi begal, khususnya
di Kota Makassar. Bahkan, ia melontarkan keinginannya agar kawanan begal
ditumpas habis. Keresahan itu akhirnya dijawab Panglima Kodam (Pangdam) VII
Wirabuana, Agus Surya Bakti dengan kesiapan untuk membantu Kapolda, bahkan siap
menurunkan prajuritnya jika dibutuhkan.
Tegas, Jangan Kebablasan
Tindakan
tegas, bahkan “keras”, kepada begal geng motor, tentu merupakan angin segar
bagi masyarakat yang selama ini dihantui hantu geng motor. Namun di samping itu,
perlu dipastikan bahwa pemberantasan begal, tetap sesuai prosedur. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan bahwa upaya penegakan hukum tidak dilakukan
secara membabi buta, hingga menimbulkan masalah baru. Jangan sampai penuntasan begal
geng motor malah menjadi hantu baru bagi masyarakat, akibat khawatir menjadi
objek salah sasaran.
Di
sisi lain, mengingat persoalan begal geng motor menyangkut keamanan dan
ketertiban masyarakat, pemberantasannya harus menjadi tanggung jawab utama aparat
kepolisian. Kehadiran prajurit TNI, harus
dianggap sebagai penyokong, dan tetap di bawah koordinasi pihak kepolisian.
Pentingnya penempatan kekuatan itu sesuai fungsinya, tidak lain untuk menjaga
wibawa negara, khususnya untuk mengembalikan muruah lembaga penegak hukum,
kepolisian. Jika daya dan upaya institusi kepolisian dikerahkan secara baik,
maka penuntasan begal bukanlah persoalan besar. Langkah taktis itu tentu
membutuhkan instruksi secara kelembagaan, sebagaimana terjadi di tubuh TNI.
Penumpasan
begal geng motor secara tidak terkoordinasi dan tak sesuai prosedur, malah akan
membuat keadaan semakin runyam. Selain akan membuat pelaksanaannya tidak
berjalan efektif dan efisien, perlawanan terhadap geng motor secara berlebihan,
bisa jadi penanda bahwa aparat kepolisian telah kalah. Di sisi lain, kenyataan
itu dapat menjadi kebanggaan bagi para oknum begal geng motor, sebab merasa telah
berhasil mengganggu ketertiban masyarakat, bahkan mengancam pertahanan negara.
Intinya, ketegasan dalam pemberantasan geng motor tetaplah diperlukan, tetapi
jangan sampai kebablasan.
Hindari Pengadilan Jalanan
Sikap
main hakim sendiri terhadap pelaku pembegalan yang saring terjadi, tidak lain
sebagai wujud rasa kesal dan amarah masyarakat. Pelampiasan itu, sangat sulit
dihindari seiring menumpuknya kegusaran masyarakat terhadap pelaku begal. Tidak
sedikit pelaku begal dimassa masyarakat sampai luka berat, bahkan meregang
nyawa. Kejadian itu bahkan sering dipertontonkan, sampai menggugah kemirisan
kita, betapa rasa kemanusiaan sedikit demi sedikit terkikis karena dendam yang
menumpuk.
Melawan
pelanggaran hukum dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti pengadilan
jalanan, jelas tindakan yang salah. Meski di satu sisi, tindakan begal meresahkan
masyarakat dan melanggar hukum, namun mengeroyok pelaku begal juga adalah
pelanggaran hukum yang diancam pidana sesuai Pasal 351 KUHP tentang
pengeroyokan. Jika tidak dilakukan pencegahan terhadap tindakan main hakim
sendiri, jelas akan membuat hukum terus terpojok dan diabaikan.
Tidak
ada cara efektif untuk menghindari pengadilan jalanan, selain dengan mewujudkan
kembali penegakan hukum yang gagah dan berwibawa. Penegakan hukum harus
dilakukan secara konprehensif, dengan menggunakan upaya pencegahan dan
penindakan secara tepat. Jika aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas
keamanan dan ketertiban masyarakat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka
pengadilan jalanan tak akan terjadi.
Penegakan
hukum terhadap pelaku begal geng motor, harus juga berlaku bagi pelaku
pengeroyokan terduga begal, bahkan kepada aparat yang melakukan penegakan hukum
yang tidak sesuai prosedur. Hukum harus tegas kepada siapa pun, sesuai
kesalahannya. Hal ini penting sebab penegakan hukum tak seharusnya tak sebatas
pemberantasan aksi begal, tetapi juga untuk menjaga sisi kemanusiaan setiap
orang agar tidak luntur akibat dendam pada hantu begal geng motor.
Memelihara Generasi Muda
Pelaku
begal geng motor kebanyakan masih kategori usia pemuda bahkan remaja. Kenyataan ini tentu
memiriskan, mengingat di tangan generasi mudalah, kejayaan bangsa ditumpukan. Untuk
itu, memandang masalah ini dari sisi lain, bahwa pelaku begal, juga merupakan korban
dari kerasnya hidup di zaman modern, juga perlu dipertimbangkan. Perspektif ini
perlu digunakan, agar pemberantasan begal, tidak lagi fokus sekadar pada
pemberian efek jera kepada pelaku begal yang nota bene pemuda dan remaja, tetapi juga
mengutamakan upaya pencegahan.
Upaya
memelihara generasi muda, menjadi penting untuk segera dilakukan. Memelihara berarti melindungi
dari melakukan tindakan negatif, semisal terlibat dalam aksi pembegalan. Upaya melindungi
berarti menghindarkan generasi muda dari kungkungan lingkungan yang memaksa, atau
setidaknya, memberi sugesti kepada mereka untuk melakukan aksi pembegalan.
Ruang lingkup perlindungan ini misalnya memberantas penyalahgunaan miras dan
narkotika, juga pergaulan bebas.
Melindungi generasi muda dari tayangan-tayangan yang mempertontonkan contoh yang tak baik, juga
perlu dilakukan. Sinetron Anak Jalanan yang belakangan tenar di tengah
masyarakat, misalnya. Jelas, sinetron ini ditujukan untuk menyasar para
penonton berusia muda dengan mempertontonkan adegan yang dianggap “keren” bagi
ukuran anak labil. Imbasnya, usia remaja dan pemuda yang masih pada tahap pencarian jati
diri, terpengaruh. Anggapan ini sejalan dengan keluarnya teguran kedua Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap tayangan sinetron itu tanggal 12 Februari
2016, setelah terguran pertama 11 Januari 2016. Alasannya, sinetron tersebut memuat adegan pekelahian dan
pengeroyokan oleh geng motor, balap-balapan di jalan raya, penggunaan kata-kata
kasar, sampai adegan berciuman pipi antarlawan jenis.
Di
sisi lain, upaya memelihara generasi muda juga berarti mewadahi, yaitu menyediakan
lingkungan yang baik agar mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan positif. Larut
dalam kegiatan positif, akan membuat para generasi muda tak berpikir untuk melakukan tindakan
yang bersifat negatif. Aktualisasi diri, dapat mereka lakukan secara baik dan positif. Bentuk
nyata dari mewadahi generasi muda adalah menyediakan lingkungan kreativitas, baik di
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Wujudnya dapat dengan mengadakan
kegiatan keagamaan, olahraga, dan seni secara semarak dan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar