Rona
bahagia, tak henti-hentinya terpancar dari wajah Liana. Dua hari lagi, ia akan mengakhiri
masa lajangnya. Menikah dengan Rinto, seorang lelaki yang telah lama menduda. Tak
sedikit pun ia memedulikan bisik-bisik tetangga yang terus mencibir
keputusannya. Malah, gadis desa yang cantik jelita itu, dengan senang hati
menerima pinangan seorang lelaki berusia kepala tiga, yang lebih tua 15 tahun
darinya.
Pantaslah
jika dikatakan Liana tengah dibutakan cinta. Diserang sebuah perasaan yang tak
bersandar pada kekaguman tampilan fisik semata, melainkan pada laku bajik yang
tak ternilai. Begitulah kenyataanya. Apalagi, semua orang tahu, hati Liana
luluh pada Rinto seusai lelaki penyendiri itu melakukan sesuatu yang sangat
berharga untuknya: menyelamatkan nyawanya.
Dua bulan lalu, kisah heroik itu terjadi. Tepatnya, di satu sore yang hampir berlalu.
Kala itu, Liana tengah menuruni bukit seusai mengurus ladang sayur-mayur milik
ibunya yang telah menjanda. Dan tepat di tengah jalan setapak, seorang lelaki bertubuh
gempal dan bertopeng, mencegatnya dengan tangan kosong. Sontak saja, Liana dibuat
kaget dan takut, hingga tak ada pilihan lain selain menghindar.
Di
antara semak-semak, di bawah cahaya mentari yang mulai remang, Liana pun berlari
sekencang-kencangnya. Sebisa mungkin menjauh dari jangkauan si lelaki
misterius, dan sampai di tengah perkampungan, segera. Namun tak sampai dua puluh
meter, kakinya malah tersandung akar pepohonon. Ia terjatuh. Lelaki bertopeng
itu pun, berdiri tepat di depannya.
Dalam
kondisi terpojok, Liana mencoba membela diri. Dengan sigap, ia bangkit lalu
menerjang si lelaki misterius dengan sebilah pisau. Serangannya berhasil mengenai
lengan kiri si petopeng. Menyobek lengan bajunya, hingga tampaklah oleh Liana,
sebuah tato bergambar bunga yang telah terhiasi luka yang dangkal.
Atas
tindakan Liana, lelaki itu pun, nekat bertindak beringas. Tanpa aba-aba,
dihantamnya bagian leher Liana dengan secabang kayu, hingga tak sadarkan
diri. Entah apa yang terjadi setelahnya, Liana tak tahu. Sampai akhirnya, ia tersadar
berada di dalam sebuah rumah kecil, yang menyendiri di kaki bukit.
Hingga pada
malam hari itu, di bawah terpaan cahaya pelita, Liana jadi kaget dan penuh tanda
tanya atas apa yang disaksikannya. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa, lelaki
pendiam yang selama ini berpapasan dengannya di tengah jalan kala mendaki bukit
menuju kebun, tiba-tiba berdiri di hadapannya.
“Apa
yang hendak kau lakukan?” tanya Liana, ketakutan.
Lelaki
itu, berjalan mendekat pada Liana. “Tenanglah. Aku tak bermaksud jahat padamu.
Minumlah,” katanya, sambil menyodorkan segelas air putih.
Liana
bergeser jauh, menuju ke sudut ruangan. Jelas saja ia masih ketakutan dan tak
paham apa yang telah dialaminya. “Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa berada
di sini?”
Lelaki
itu berdeham. “Kau pasti sudah lupa. Tadi sore, ada seorang lelaki yang hendak
berlaku bejat padamu,” katanya, sambil merekahkan satu senyuman yang terkesan kaku
dan dipaksakan. “Untunglah, aku datang menyelamatkanmu tepat waktu.”
Diam-diam,
Liana kembali menyusun rangkaian peristiwa di memorinya. Dalam sekejap, ia
mulai mengingat kejadian itu. Perlahan-lahan, rasa takutnya pun menghilang,
terhapus oleh laku lugu dan sopan seorang lelaki di hadapannya, yang kemudian
ia tahu bernama Rinto.
Berawal
dari peristiwa itulah, kisah cinta Liana, bermula. Hari demi hari, ia semakin
seiring berpapasan dan mengobrol pendek dengan Rinto di kaki bukit. Dan seiring
waktu, Liana merasa semakin jatuh hati. Begitu pun sebaliknya. Hingga dua bulan
setelah peristiwa dramatis itu, Rinto datang meminangnya.
Dan
menjelang hari pernikahan mereka esok lusa, pagi ini, Liana dan ibunya
berkunjung ke rumah kecil Rinto. Mereka hendak berbicang dengan lelaki buruh
tani itu, perihal persiapan pernikahan yang akan dihelat di tengah kampung, di
kediaman Liana. Membahas tentang tamu-tamu yang akan diundang, juga tentang
hidangan yang tepat untuk acara nanti.
Setelah
menempuh perjalanan sekitar 15 menit, Liana dan ibunya pun, tiba di pekarangan
rumah kecil Rinto. Sesampainya di sana, dalam hitungan detik, Liana masih sempat
melihat lengan kekar calon suaminya yang tengah membelah kayu kering untuk
perapian. Lengan yang diyakini Liana, persis dengan yang dilihatnya di hari
yang tragis dua bulan lalu.
Kedatangan
Liana dan ibunya yang tiba-tiba, sontak membuat Rinto kaget setengah mati.
Calon suami Liana yang tengah bertelanjang dada itu pun, bergegas masuk ke
dalam rumah. Bermaksud membereskan penampilannya. Dan tanpa menunggu waktu
lama, ia kemudian muncul dan menyambut tamu pentingnya dengan setelan yang
pantas.
Tak
sampai satu jam, perbincangan pun terjadi sedikit alot antara ibu Liana dengan
Rinto. Mereka berbagi pendapat tentang sanak saudara yang akan jadi penyambut
tamu pada acara pernikahan nanti. Sedangkan pada sisi yang lain, dengan sikap
yang tak seperti biasanya, Liana hanya tertunduk di samping sang ibu, dengan
raut wajah yang entah apa maknanya.
Sampai
perbincangan usai, sikap Liana masih saja sama. Murung.
Hari
pun berganti.
Tepat
sehari sebelum acara pernikahan, terjadilah hal yang tidak diduga-duga. Tanpa
pamit, Liana pergi entah ke mana. Tak ada yang tahu keberadaanya. Bahkan tepat
di hari pernikahannya, Liana tak kunjung datang. Ia menghilang dengan membawa rahasia
besar yang diketahuinya seorang diri, mungkin juga Rinto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar