Perkembangan media online merupakan
keniscayaan seiring perkembangan teknologi komunikasi, terutama internet.
Imbasnya, media berbasis cetak, audio, maupun video, turut menyajikan informasinya
secara online. Kecepatan dan kemudahan penyajian, serta biaya operasional yang
murah, membuat media online semakin marak. Eksistensi media konvensional,
terutama media cetak, pun tergerus. Tak heran jika muncul istilah senja kala media cetak, seiring dengan
perkembangan media online.
Menurut taksiran Dewan Pers, jumlah media di
Indonesia saat ini, sekitar 2.338. Sebanyak 567 media cetak, 1.166 radio, 394
TV, dan 211 media siber atau media online (Berita Dewan Pers “ETIKA” Edisi September
2015, Hal 4). Dilansir pada laman detik.com,
Rabu (20/1/2016), anggota Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, mengungkapkan
bahwa media yang memenuhi syarat sebagai perusahaan, berjumlah 1.771. Katanya
lagi, saat ini, memang ada sekitar 2.000 media online. Tetapi, yang sesuai
dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai kelayakan sebagai perusahaan hanya
sekitar 211 media online.
Pelanggaran
Etik
Perkembangan media online secara cepat, bukannya
tanpa masalah. Di sana-sini, timbul banyak persoalan, utamanya terkait
pengabaian atau pelanggaran kode etik jurnalistik. Sisi keunggulan media online
sering kali malah menjadi biang permasalahan. Kecepatan penyajian dan jumlah
muatan berita, menjadi aspek vital media online, tapi tak mampu dikelola secara
bijak. Taruhlah, proses verifikasi informasi, tak dilakukan secara baik, hanya demi
meraup lebih banyak jumlah pembaca (viewer).
Pengabaian proses verifikasi pada media
online tentunya bertentangan dengan Kode Etik jurnalistik sebagaimana termakub
dalam Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik
Jurnalistik (KEJ), yang telah disahkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor:
6/Peraturan-DP/V/2008. Pada poin 1 KEJ itu, disebutkan bahwa wartawan Indonesia
bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak
beritikad buruk. Ditambah lagi penegasan pada Pasal 3 KEJ bahwa wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Pentingnya verifikasi informasi pada media
online, juga ditegaskan kembali dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber. Pada poin 2 lampiran
peraturan tersebut, ditegaskan bahwa persoalan verifikasi dan keberimbangan
berita adalah hal yang harus diutamakan oleh media online, kecuali berita
menyangkut kepentingan publik yang mendesak atau salah satu pihak tidak bisa
diwawancarai. Alasan pengecualian lainnya adalah jika sumber berita pertama jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan
kompeten. Meski begitu, pada berita yang tidak memuat konfirmasi atau
keberimbangan antarpihak, harus dicantumkan informasi bahwa muatan berita itu
akan segera ditindaklanjuti dengan pembaruan.
Disiplin terkait verifikasi dan keberimbangan
berita, sering kali diabaikan. Karena hasrat memuat berita secara cepat dalam
jumlah banyak, tak pelak, berita yang belum terverifikasi dan tidak memenuhi
keberimbangan (cover both side),
dimuat begitu saja. Buktinya, sering muncul berita bersifat pro-kontra yang
hanya memuat pendapat salah satu pihak. Sering juga ditemukan informasi
sederhana yang sengaja dipenggal dalam banyak berita, hanya untuk memperbanyak
jumlah berita. Tujuannya tidak lain untuk meraup jumlah viewer.
Pemasalahan lain media online adalah
rendahnya penghargaan pada karya jurnalistik. Sering kali, sebuah media online
hanya mengutip, menyadur, bahkan memuat ulang berita di media online lain,
tanpa melakukan sistem pengutipan secara baik. Hal itu tentu bertentangan
dengan Poin 7 Lampiran Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Media
Siber yang menegaskan bahwa media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kebiasaan kutip-mengutip berita media lain, tidak
hanya manyangkut soal hak cipta, tetapi juga berpengaruh terhadap kreativitas
media online. Media online bisa jadi tidak antusias lagi mencari informasi dari
sumber primer. Atas dasar media dalam naungan sebuah grup atau perusahaan pers
yang sama, ataukah karena ada perjanjian hak cipta atas konten berita, kreativitas
pun terabaikan. Kebiasaan itu bisa berdampak buruk jika terus dibiarkan, sebab
berita yang berseliweran di media sosial akan serupa. Tak ada informasi
pembanding. Sistem checks and balances
antarmedia tak jalan. Apalagi jika berita itu dilakukan tanpa verifikasi yang
baik. Tentu, informasi tak valid, dapat menyebar luas.
Yang tak kalah mencoloknya dari berbagai
macam masalah media online terkait etik adalah pemuatan berita yang
mengutamakan atau setidaknya menonjolkan unsur sadis dan cabul. Diakui atau tidak, media online sering kali
mengandalkan dua nilai informasi itu sebagai andalan untuk meraup jumlah
penyimak. Buktinya, banyak berseliweran berita di media online yang
mengutamakan sisi sadis dan cabul. Berita itu sama sekali tak punya tujuan
pemberitaan yang mulia, tidak untuk hiburan, informasi, kontrol sosial, apalagi
pendidikan.
Penonjolan sisi cabul dan sadis, tampak jelas
di bagian judul berita online. Jika tidak dimuat secara sensasional dengan
imbuhan kata-kata seru, maka judul berita kadang diramu untuk menimbulkan rasa
penasaran pembaca agar mengklik tautan berita tak senonoh itu. Tujuannya tidak
lain untuk menjaring atau menjebak viewer.
Pemuatan berita dengan mengutamakan unsur-unsur cabul dan sadis, dengan jelas
melanggar Pasal 4 KEJ yang menyatakan bahwa wartawan Indonesia tidak membuat
berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Urgensi
Penguatan Dewan Pers
Dari sekian banyak masalah etik media online,
pada dasarnya, semuanya menjurus pada motif untuk memperoleh viewer yang banyak. Jumlah viewer menjadi sangat penting sebab akan
menaikkan rating sebuah media online.
Rating itulah yang menjadi “gula
penggoda” untuk menarik para pengiklan demi memperoleh keuntungan finansial
yang besar. Tentu itu tidak salah. Sikap media semacam itu, memang lazim. Namun
begitu, ada KEJ dalam kerja-kerja jurnalistik, yang harus dijunjung tinggi.
Melihat perkembangan media online yang
mempertuhankan viewer, hingga
mengabaikan etika jurnalistik, maka upaya pengawasan penegakan KEJ dan
peraturan perundang-undangan terkait pers, penting untuk dilakukan. Apalagi mengingat,
media online saat ini, telah menjadi sumber utama masyarakat dalam mencari
informasi. Kekeliruan penyajian berita di media online, tentu akan berdampak
buruk secara luas.
Pengawasan dan penegakan KEJ pada media
online, pada dasarnya menjadi tanggung jawab Dewan Pers, sebagaimana pada media
cetak konvensional. Pasal 15 ayat (2) a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,
telah menggariskan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Atas dasar itu, Dewan Pers, punya
legalitas untuk mengambil sikap secara tegas terkait pelanggaran KEJ.
Berkaca pada ketentuan di atas, maka Dewan
Pers harus bertindak proaktif dalam penegakan KEJ. Sudah merupakan fungsinya untuk
senantiasa mengamati pelaksanaan KEJ. Ketika terjadi indikasi pelanggaran KEJ,
maka Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menilai. Apabila benar terjadi pelanggaran,
Dewan Pers dapat mengeluarkan rekomendasi kepada organisasi wartawan atau
organisasi perusahaan pers untuk memberikan sanksi kepada individu insan pers
yang melanggar KEJ.
Penegakan KEJ, juga dapat dilakukan Dewan
Pers secara dini melalui verifikasi yang matang terhadap organisasi wartawan
atau organisasi perusahaan pers. Verifikasi organisasi itu dapat dilakukan
Dewan Pers secara cermat, sesuai dengan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor
04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan dan Peraturan Dewan Pers
Nomor: 3/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers.
Baiknya hasil verifikasi itu, penting karena kedua organisasi tersebut adalah
penyokong Dewan Pers dalam menegakkan KEJ.
Di sisi lain, mengingat keterbatasan Dewan
Pers dalam melakukan pengawasan dan penegakan KEJ, maka peran sarta masyarakat
menjadi penting. Setiap individu masyarakat yang menduga telah terjadi
pelanggaran terhadap KEJ oleh media online, seyogianya aktif melakukan
pengaduan kepada Dewan Pers, berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor
3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers.
Sebagai tindak lanjutnya pelaporan adanya
indikasi pelanggaran, berdasarkan peraturan prosedur pengaduan itu, Dewan Pers dapat
menempuh mekanisme surat-menyurat, mediasi, ajudikasi. Jika mekanisme itu
menemui jalan buntu, Dewan Pers dapat penerbitan Pernyataan Penilaian dan
Rekomendasi yang memuat kewajiban kepada media teradu yang dinyatakan melakukan
pelanggaran. Media itu pun dibebani kewajiban untuk memuat atau menyiarkan
Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi pada terbitannya. Namun sayangnya, sanksi lunak
yang dapat dijatuhkan Dewan Pers terhadap media yang melakukan pelanggaran, tak
bisa dipaksakan pelaksanaannya. Jika itu tak dihirauan media tersanksi, Dewan
Pers hanya bisa mengeluarkan pernyataan terbuka.
Menilik pada kenyataan itu, maka upaya
penguatan Dewan Pers, penting untuk dilakukan. Penguatan tersebut mencakup
peningkatan kinerja Dewan Pers melalui pembenahan kelembagaan untuk
meningkatkan kualitas pengawasan. Selain itu, perlu juga dilakukan pengkajian
mendalam akan pentingnya memperkuat kewenangan Dewan Pers. Misalnya memberikan
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tegas secara langsung kepada organisasi
atau insan pers, baik karena pelanggaran KEJ maupun pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar