Sabtu, 11 Juni 2016

Buramnya Etik Media Online

Perkembangan media online merupakan keniscayaan seiring perkembangan teknologi komunikasi, terutama internet. Imbasnya, media berbasis cetak, audio, maupun video, turut menyajikan informasinya secara online. Kecepatan dan kemudahan penyajian, serta biaya operasional yang murah, membuat media online semakin marak. Eksistensi media konvensional, terutama media cetak, pun tergerus. Tak heran jika muncul istilah senja kala media cetak, seiring dengan perkembangan media online.

Menurut taksiran Dewan Pers, jumlah media di Indonesia saat ini, sekitar 2.338. Sebanyak 567 media cetak, 1.166 radio, 394 TV, dan 211 media siber atau media online (Berita Dewan Pers “ETIKA” Edisi September 2015, Hal 4). Dilansir pada laman detik.com, Rabu (20/1/2016), anggota Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, mengungkapkan bahwa media yang memenuhi syarat sebagai perusahaan, berjumlah 1.771. Katanya lagi, saat ini, memang ada sekitar 2.000 media online. Tetapi, yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai kelayakan sebagai perusahaan hanya sekitar 211 media online.

Pelanggaran Etik

Perkembangan media online secara cepat, bukannya tanpa masalah. Di sana-sini, timbul banyak persoalan, utamanya terkait pengabaian atau pelanggaran kode etik jurnalistik. Sisi keunggulan media online sering kali malah menjadi biang permasalahan. Kecepatan penyajian dan jumlah muatan berita, menjadi aspek vital media online, tapi tak mampu dikelola secara bijak. Taruhlah, proses verifikasi informasi, tak dilakukan secara baik, hanya demi meraup lebih banyak jumlah pembaca (viewer). 

Pengabaian proses verifikasi pada media online tentunya bertentangan dengan Kode Etik jurnalistik sebagaimana termakub dalam Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang telah disahkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008. Pada poin 1 KEJ itu, disebutkan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Ditambah lagi penegasan pada Pasal 3 KEJ bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pentingnya verifikasi informasi pada media online, juga ditegaskan kembali dalam Peraturan Dewan Pers Nomor  1/Peraturan-DP/III/2012 tentang  Pedoman Pemberitaan Media Siber. Pada poin 2 lampiran peraturan tersebut, ditegaskan bahwa persoalan verifikasi dan keberimbangan berita adalah hal yang harus diutamakan oleh media online, kecuali berita menyangkut kepentingan publik yang mendesak atau salah satu pihak tidak bisa diwawancarai. Alasan pengecualian lainnya adalah jika sumber berita pertama  jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten. Meski begitu, pada berita yang tidak memuat konfirmasi atau keberimbangan antarpihak, harus dicantumkan informasi bahwa muatan berita itu akan segera ditindaklanjuti dengan pembaruan.

Disiplin terkait verifikasi dan keberimbangan berita, sering kali diabaikan. Karena hasrat memuat berita secara cepat dalam jumlah banyak, tak pelak, berita yang belum terverifikasi dan tidak memenuhi keberimbangan (cover both side), dimuat begitu saja. Buktinya, sering muncul berita bersifat pro-kontra yang hanya memuat pendapat salah satu pihak. Sering juga ditemukan informasi sederhana yang sengaja dipenggal dalam banyak berita, hanya untuk memperbanyak jumlah berita. Tujuannya tidak lain untuk meraup jumlah viewer

Pemasalahan lain media online adalah rendahnya penghargaan pada karya jurnalistik. Sering kali, sebuah media online hanya mengutip, menyadur, bahkan memuat ulang berita di media online lain, tanpa melakukan sistem pengutipan secara baik. Hal itu tentu bertentangan dengan Poin 7 Lampiran Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber yang menegaskan bahwa media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

Kebiasaan kutip-mengutip berita media lain, tidak hanya manyangkut soal hak cipta, tetapi juga berpengaruh terhadap kreativitas media online. Media online bisa jadi tidak antusias lagi mencari informasi dari sumber primer. Atas dasar media dalam naungan sebuah grup atau perusahaan pers yang sama, ataukah karena ada perjanjian hak cipta atas konten berita, kreativitas pun terabaikan. Kebiasaan itu bisa berdampak buruk jika terus dibiarkan, sebab berita yang berseliweran di media sosial akan serupa. Tak ada informasi pembanding. Sistem checks and balances antarmedia tak jalan. Apalagi jika berita itu dilakukan tanpa verifikasi yang baik. Tentu, informasi tak valid, dapat menyebar luas. 

Yang tak kalah mencoloknya dari berbagai macam masalah media online terkait etik adalah pemuatan berita yang mengutamakan atau setidaknya menonjolkan unsur sadis dan cabul.  Diakui atau tidak, media online sering kali mengandalkan dua nilai informasi itu sebagai andalan untuk meraup jumlah penyimak. Buktinya, banyak berseliweran berita di media online yang mengutamakan sisi sadis dan cabul. Berita itu sama sekali tak punya tujuan pemberitaan yang mulia, tidak untuk hiburan, informasi, kontrol sosial, apalagi pendidikan. 

Penonjolan sisi cabul dan sadis, tampak jelas di bagian judul berita online. Jika tidak dimuat secara sensasional dengan imbuhan kata-kata seru, maka judul berita kadang diramu untuk menimbulkan rasa penasaran pembaca agar mengklik tautan berita tak senonoh itu. Tujuannya tidak lain untuk menjaring atau menjebak viewer. Pemuatan berita dengan mengutamakan unsur-unsur cabul dan sadis, dengan jelas melanggar Pasal 4 KEJ yang menyatakan bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Urgensi Penguatan Dewan Pers

Dari sekian banyak masalah etik media online, pada dasarnya, semuanya menjurus pada motif untuk memperoleh viewer yang banyak. Jumlah viewer menjadi sangat penting sebab akan menaikkan rating sebuah media online. Rating itulah yang menjadi “gula penggoda” untuk menarik para pengiklan demi memperoleh keuntungan finansial yang besar. Tentu itu tidak salah. Sikap media semacam itu, memang lazim. Namun begitu, ada KEJ dalam kerja-kerja jurnalistik, yang harus dijunjung tinggi.

Melihat perkembangan media online yang mempertuhankan viewer, hingga mengabaikan etika jurnalistik, maka upaya pengawasan penegakan KEJ dan peraturan perundang-undangan terkait pers, penting untuk dilakukan. Apalagi mengingat, media online saat ini, telah menjadi sumber utama masyarakat dalam mencari informasi. Kekeliruan penyajian berita di media online, tentu akan berdampak buruk secara luas.

Pengawasan dan penegakan KEJ pada media online, pada dasarnya menjadi tanggung jawab Dewan Pers, sebagaimana pada media cetak konvensional. Pasal 15 ayat (2) a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, telah menggariskan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Atas dasar itu, Dewan Pers, punya legalitas untuk mengambil sikap secara tegas terkait pelanggaran KEJ. 

Berkaca pada ketentuan di atas, maka Dewan Pers harus bertindak proaktif dalam penegakan KEJ. Sudah merupakan fungsinya untuk senantiasa mengamati pelaksanaan KEJ. Ketika terjadi indikasi pelanggaran KEJ, maka Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menilai. Apabila benar terjadi pelanggaran, Dewan Pers dapat mengeluarkan rekomendasi kepada organisasi wartawan atau organisasi perusahaan pers untuk memberikan sanksi kepada individu insan pers yang melanggar KEJ.

Penegakan KEJ, juga dapat dilakukan Dewan Pers secara dini melalui verifikasi yang matang terhadap organisasi wartawan atau organisasi perusahaan pers. Verifikasi organisasi itu dapat dilakukan Dewan Pers secara cermat, sesuai dengan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan dan Peraturan Dewan Pers Nomor: 3/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers. Baiknya hasil verifikasi itu, penting karena kedua organisasi tersebut adalah penyokong Dewan Pers dalam menegakkan KEJ.

Di sisi lain, mengingat keterbatasan Dewan Pers dalam melakukan pengawasan dan penegakan KEJ, maka peran sarta masyarakat menjadi penting. Setiap individu masyarakat yang menduga telah terjadi pelanggaran terhadap KEJ oleh media online, seyogianya aktif melakukan pengaduan kepada Dewan Pers, berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers. 

Sebagai tindak lanjutnya pelaporan adanya indikasi pelanggaran, berdasarkan peraturan prosedur pengaduan itu, Dewan Pers dapat menempuh mekanisme surat-menyurat, mediasi, ajudikasi. Jika mekanisme itu menemui jalan buntu, Dewan Pers dapat penerbitan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi yang memuat kewajiban kepada media teradu yang dinyatakan melakukan pelanggaran. Media itu pun dibebani kewajiban untuk memuat atau menyiarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi pada terbitannya. Namun sayangnya, sanksi lunak yang dapat dijatuhkan Dewan Pers terhadap media yang melakukan pelanggaran, tak bisa dipaksakan pelaksanaannya. Jika itu tak dihirauan media tersanksi, Dewan Pers hanya bisa mengeluarkan pernyataan terbuka. 

Menilik pada kenyataan itu, maka upaya penguatan Dewan Pers, penting untuk dilakukan. Penguatan tersebut mencakup peningkatan kinerja Dewan Pers melalui pembenahan kelembagaan untuk meningkatkan kualitas pengawasan. Selain itu, perlu juga dilakukan pengkajian mendalam akan pentingnya memperkuat kewenangan Dewan Pers. Misalnya memberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tegas secara langsung kepada organisasi atau insan pers, baik karena pelanggaran KEJ maupun pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar