Angga
merasa tak ada yang berubah dengan taman kampus itu. Suasananya masih seperti empat
tahun yang lalu. Pepohonannya masih rimbun dan menyejukkan. Orang-orang masih semarak berolahraga. Mereka berlari-lari
kecil atau bersepeda. Angga pun memilih bersepeda. Dari dulu, ia memang lebih suka
begitu.
Sebenarnya,
Angga pernah berjanji pada dirinya untuk tidak kembali ke tempat itu. Terlalu
banyak kenangan yang seharusnya tak perlu ia ingat-ingat lagi. Masa lalunya penuh
rasa, entah pahit atau manis. Di situlah, dahulu, ia pertama kali bertemu dengan wanita dambaannya. Setelah pertemuan itu, banyak pagi yang mereka
lewati bersama, dengan bersepeda beriringan.
Tiga
tahun berlalu, ia tetap tak berhasil melupakan masa lalunya. Separuh hatinya seolah masih mengharapkan kesempatan untuk kembali memiliki sang pujaan. Itu membuatnya
menyerah. Karena itu, kini, ia mencoba bersahabat dengan
kenangan. Meyakinkan diri bahwa kebersamaan tak bisa dipaksakan, tapi
kemungkinan untuk bersama, harus diperjuangkan.
Angga
terus mengayuh pedal sepedanya. Menoleh pada setiap titik yang merekam
kenangannya. Mencoba menemukan bayang-bayang wajah manis pujaannya di
segala sisi. Mengingat-ingat detail wajah imut gadis itu kala
merekahkan senyuman terindah yang menggemaskan dengan secuil lesung pipi pada pipi kanannya yang tembam. Sebuah pemandangan yang dahulu membuat Angga selalu suka memancing tawanya agar gambaran sempurna itu, tampak di wajahnya.
Namun sontak,
lamunan Angga buyar. Pandangannya tersita pada satu wajah yang jauh, pada seorang wanita yang tengah asyik bersepeda. Jelas, itu bukan bentukan
khayalnya. Wajah itu nyata, mirip wanita impiannya. Kenyataan itu
membuatnya tersentak. Ia pun terus memandangi wajah itu lekat-lekat, hingga menyadari kesamaannya. Cantiknya masih seperti yang dulu, bahkan terlihat lebih muda. Beda
dengan dirinya sendiri yang makin tua dengan berewok yang lebat.
Angga
pun membuntutinya. Kali ini, ia berencana tak menampakkan keberadaannya,
apalagi menyapa dan mengobrol dengannya. Belum saatnya, pikirnya. Ia takut emosi
wanita itu jadi tak terkendali. Untuk sekarang, ia hanya ingin mengetahui tempat tinggal wanita impiannya
itu. Kelak, ketika mereka benar-benar telah berdamai dengan masa lalu, dan terbuka ruang mewujudkan kebersamaan, ia tahu jelas ke
mana harus menuju.
Seiring
bergulirnya detik yang seirama putaran roda, terbersitlah di benak Angga perihal masa kala ia
pergi tanpa pamit. Ia meninggalkan wanita pujaannya itu tanpa kabar. Selama empat tahun lebih, ia beranjak ke kota lain
untuk melanjutkan kuliahnya. Orang tuanya memaksa. Ia pun pasrah tak memenuhi
permintaan sang pujaan agar mereka segera menikah. Akibatnya, hubungan mereka berakhir tanpa kata perpisahan.
Dan
tiba-tiba, rencana Angga berubah 180 derajat. Sebuah boneka doraemon yang tampak serupa dengan hadiah darinya untuk sang
pujaannya dahulu, terjatuh dari saku celana wanita itu. Jatuh dengan gemerencing serangkain kunci yang tak disadari sang wanita yang pendengarannya
tersumpal earphone. Dengan berbagai pertimbangan, Angga pun memungut benda itu untuk ia kembalikan. Ia lantas mengebut laju sepedanya untuk mengejar sang wanita.
Sampai
akhirnya, wanita itu berhenti di sebuah rumah. Angga pun segera menghampiri dan menyampaikan maksudnya sebelum pemilik wajah manis
itu kebingunan mencari kuncinya.
“Hai,”
sapa Angga saat wanita itu baru saja memarkirkan sepedanya.
Yang
terlihat, sama sekali tak ada raut keheranan di wajah sang wanita, seakan mereka
belum pernah saling mengenal. “Ya.
Ada apa? Kamu siapa?”
Pertanyaan
itu membuat Angga terkejut. Betapa tidak, kebersamaan mereka yang tampak
mengesankan, ternyata tak sedikit pun membekas di memori sang wanita.
“Oh, aku bukan siapa-siapa,” balasnya, kagok. "Maaf, mengganggu. Tadi, aku menemukan kunci ini di jalan. Kuyakin ini milikmu.”
Sang wanita lalu mendekati Angga dengan tingkah yang polos. Tak sedikit pun terlihat gugup
sebagaimana Angga.
“Ya, ini punyaku,” tutur sang wanita. “Maksudku, punya kakakku,” tambahnya segera.
“Kakakmu?
Jadi...?” respons Angga, bingung, dan seperti tanpa kendali.
“Kamu mengenal kakakku?” tanya balik sang wanita dengan ekspresi datar.
“Tidak.
Sama sekali tidak. Aku hanya tak mengerti, bagaimana bisa seorang adik membawa
kunci milik kakaknya,” jawab Angga, berusaha menghindari kemelut.
“Oh, begitu. Ya, sepertinya memang aku saja yang merasa-rasa pernah melihatmu sebelumnya,” tanggap sang wanita.
“Ya,
kita memang suka merasa-rasa,” kata Angga, sekenanya, dengan perasaan dan pikiran yang makin tak keruan. "Kalau begitu, aku permisi.”
“Ya. Terima kasih,” pungkas wanita itu, lantas melemparkan senyuman yang sungguh tak asing bagi Angga.
Angga
hanya kuasa membalas dengan anggukan.
Setelah
itu, Angga pun lekas mengayuh pedal sepedanya. Ia berupaya pergi dengan kecepatan tinggi. Ia ingin segera menjauhi
sosok itu. Ia jelas tak kuasa melihat gambaran wajah pujaan hatinya pada wajah wanita itu.
***
Sekian hari berlalu, Angga lantas memberanikan diri menelepon seseorang yang amat ia rindukan. Sosok itu tak lain adalah Nia, wanita dambaannya di masa lalu.
Beruntung, sebab saat menemukan boneka doraemon tempo hari, ia lekas mencatat nomor telepon yang
tertera di salah satu aksesoris rangkaian gantungan kunci tersebut.
“Halo,
ini dengan siapa?” Suara seorang wanita bertanya.
“Bisa
bicara dengan Nia?” Angga balik bertanya.
“Iya,
dengan saya sendiri. Ini siapa?” balas sang wanita.
Angga
tak mampu berkata-kata. Lidahnya kelu.
Segera,
dalam hitungan detik, Angga mendengar tangisan seorang anak pecah di ujung
telepon.
Dengan patah hati, Angga memutuskan sambungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar