Rabu, 01 Juni 2016

Seperti Dia

Angga merasa tak ada yang berubah dengan taman kampus itu. Suasananya masih seperti empat tahun lalu. Pepohonan rimbun yang menjulang tinggi, mampu memberikan ketenangan dan kesejukan. Orang-orang di sana-sini pun masih semarak berolahraga. Mereka berlari-lari kecil atau bersepeda. Angga lebih suka bersepeda. Dari dulu ia memang suka begitu.

Sebenarnya, Angga pernah berjanji pada dirinya untuk tidak kembali ke tempat itu. Terlalu banyak kenangan yang seharusnya tak perlu diingat-ingat lagi. Masa lalunya penuh rasa, ada pahit, ada manis. Di situlah, dahulu, ia pertama kali bertemu dengan seorang wanita dambaannya. Setelah pertemuan itu, banyak pagi yang mereka lewati bersama. Bersepeda beriringan.

Tiga tahun berlalu setelah ia mencoba melupakan kenangan, tetap tak berhasil. Perkiraannya, masih adanya kesempatan untuk kembali memiliki sang pujaan. Itu membuatnya menyerah untuk berusaha melupakan. Kini, ia mencoba bersahabat dengan kenangannya. Meyakinkan diri bahwa kebersamaan tak bisa dipaksakan. Tapi kemungkinan untuk bersama, harus diperjuangkan.

Angga terus mengayuh pedal sepedanya. Menoleh ke setiap titik yang merekam kenangannya dahulu. Mencoba menemukan bayang-bayang wajah si manis pujaannya di segala sisi. Mengingat-ingat detail wajah imut gadis idolanya itu kala merekahkan senyuman terindah. Betapa menggemaskannya secuil lesung pipi di pipi kananya yang tembam. Karena itu, dulu, Angga selalu suka membuatnya tertawa, sampai gambaran sempurna itu, tampak dari wajahnya.

Sontak, lamunan Angga buyar. Pandangannya tersita pada satu wajah yang jauh di sana. Milik seorang wanita yang tengah asyik bersepeda. Jelas, itu bukan bentukan khayalnya. Wajah itu nyata. Seperti dia, wanita impiannya. Kenyataan itu membuatnya tersentak. Matanya memandangi lekat-lekat wajah itu. Tak ada yang berubah. Cantiknya masih seperti dulu. Ia bahkan terlihat lebih muda. Beda dengan dirinya yang tampak tua dan brewokan.

Angga pun membuntutinya. Kali ini, ia tak berencana menampakkan keberadaannya, apalagi menyapa bahkan mengobrol dengannya. Belum saatnya. Ia takut emosi wanita itu jadi tak terkendali. Untuk sekarang, Angga hanya ingin  mengetahui tempat tinggal wanita impiannya itu. Kelak, ketika mereka benar-benar telah berdamai dengan masa lalu, lalu terbuka ruang mewujudkan kebersamaan atau tidak selamanya, Angga tahu jelas ke mana harus menuju.

Seiring bergulirnya detik seirama putar roda, terbersit di benak Angga masa-masa kala ia pergi tanpa pamit. Meninggalkan wanita pujaannya itu tanpa kabar.  Selama empat tahun lebih, Angga pergi ke kota lain untuk melanjutkan kuliahnya. Orang tuanya memaksa. Ia pasrah tak memenuhi permintaan sang pujaan agar mereka segera menikah. Jadinya, hubungan mereka pun berakhir tanpa kata perpisahan.

Dan tiba-tiba, rencana Angga berubah 180 derajat. Hadiahnya dahulu kepada sang pujaan, sebuah boneka doraemon, terjatuh dari saku celana wanita itu. Jatuh bersama gemerencing serangkain kunci. Si dia tak menyadarinya. Pendengarannya tersumpal earphone. Dengan segala macam pertimbangan, Angga pun memungutnya untuk dikembalikan. Sepedanya lalu dikebut untuk menghampiri si pemilik.

Sampai akhirnya, targetnya berhenti di sebuah rumah. Angga  menyampaikan maksudnya sebelum si wajah manis itu kebingunan mencari kunci.

“Hai,” sapa Angga saat wanita itu baru saja memarkir sepedanya.

Yang terlihat, sama sekali tak ada raut keheranan di wajah si wanita. Seakan mereka belum pernah saling mengenal.
“Ya. Ada apa? Anda siapa ya?”

Pertanyaan itu membuat Angga terkejut. Betapa tidak, kebersamaan mereka yang tampak mengesankan, ternyata tak sedikit pun membekas di memori si pujaan.

“Ya. Aku bukan siapa-siapa. Maaf mengganggumu. Aku menemukan kunci ini di jalan tadi. Kuyakin ini milikmu,” tutur Angga.

Dia pun mendekati Angga. Tingkahnya sangat polos. Tak sedikit pun merasa gugup sebagaimana Angga.

“Ya. Ini punyaku,” tuturnya. “Maksudku, punya kakakku,” tambahnya segera.

“Kakakmu? Jadi?” tanya Angga, seperti tanpa kendali.

“Anda mengenal kakakku?” tanya si wanita kembali. Ekspresinya datar.

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya tak mengerti, bagaimana bisa seorang adik membawa kunci milik kakaknya,” balas Angga, berusaha mengeles.

“Oh begitu. Iya, sepertinya memang aku saja yang merasa-rasa pernah melihat anda sebelumnya,” balasnya.

“Ya, kita memang suka merasa-rasa. Kalau begitu, aku balik dulu,” tutur Angga, agak segan.

“Baiklah.” Wanita itu lalu melemparkan senyuman. Seperti tak asing. Mirip senyuman wanita pujaannya dahulu. “Terima kasih,” pungkasnya.

Angga hanya kuasa menganggukkannya.

Setelah itu, ia pun mengayuh sepedanya. Berupaya lebih cepat. Ingin segera menjauhi sosok itu. Ia tak kuasa melihat gambaran wanita pujaannya di situ. Jelas seperti dia.

***

Setelah sekian hari berlalu, Angga memberanikan diri menelepon seseorang yang amat dirindukannya. Dia adalah wanita dambaannya di masa lalu, Nia. Beruntunglah, saat menemukan boneka doraemon tempo hari, ia lekas menulis nomor telepon yang tertera di salah satu aksesoris rangkaiannya.

“Halo, ini dengan siapa?” Suara wanita bertanya di ujung sana.

“Bisa bicara dengan Nia?” Angga balik bertanya.

“Iya, dengan saya sendiri. Ini siapa?” balas si wanita.

Angga tak mampu berkata-kata. Bibirnya kelu.

Segera, dalam hitungan detik, Angga mendengar tangisan seorang anak pecah di ujung telepon sana.

Sambungan telepon pun terputus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar