Belakangan
ini, beragam upaya pemberantasan maupun pencegahan tindakan amoral, dilakukan
secara berlebihan. Didorong perasaan takut, jengkel, ataupun marah, maka segala
tindakan yang bertentangan dengan norma, disikapi secara keras. Wujud nyatanya
adalah penghapusan segala bentuk potensi yang memungkinkan timbulnya tindakan bernilai
buruk.
Sikap
melampaui batas dalam memberantas tindak pelanggaran norma, tanpa disadari,
telah mengerangkeng kebebasan manusia. Padahal, kebebasan merupakan dasar untuk
menilai apakah tindakan seseorang baik atau buruk, juga benar atau salah. Jika
kebebasan telah tiada, maka apa dasar menimpakan sebuah nilai pada seseorang?
Sebagai
ilustrasi, cermatilah sebuah kebijakan: Agar seseorang mampu menahan dirinya
untuk tidak bertindak buruk, maka segala godaan negatif dilarang untuk
ditampakkan padanya. Ataukah, agar seseorang tidak melakukan tindakan tak
senonoh, maka segala potensi untuk melakukan tindakan itu, dilenyapkan.
Dari
contoh di atas, sekali lagi dipertanyakan, nilai apa yang bisa ditimpakan
kepada seseorang yang melakukan tindakan tanpa kebebasan bertindak, atau tak
pernah diuji? Semisal, tak mungkinlah menilai salah seseorang yang tak menolong
orang lain saat kebakaran, jika saat kejadian, ia sedang terlelap atau terkurung.
Sebaliknya, seseorang wajar dinilai buruk jika pada saat kebakaran terjadi, ia
punya kebebasan dan potensi untuk memberikan pertolongan, tapi ia abai.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kebebasan adalah lepas sama sekali (tidak
terhalang, terganggu, dan sebagainya, sehingga dapat bergerak, berbicara,
berbuat, dan sebagainya, dengan leluasa). Sedangkan arti nilai adalah harga;
kadar; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan;
sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Merujuk
pada pengertian di atas, maka bisa dikatakan bahwa kebebasan adalah keadaan saat
seseorang memiliki otoritas untuk menentukan pilihannya. Sedangkan nilai adalah
tingkat capaian, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas, termasuk perihal perilaku
seseorang.
Antara
kebebasan dan nilai, memiliki hubungan yang erat. Kebebasanlah yang menjadi
penentu dalam memberikan tingkat atau predikat nilai pada seseorang atas
perbuatannya. Kemandirian dalam bertindak, menjadi alasan kuat untuk menimpakan
nilai tertentu. Alasannya karena atas dasar kebebasan, seseorang memiliki
keleluasaan untuk memilih sebuah tindakan. Karena itu juga, ia pantas menanggung
akibat atau bertanggung jawab atas perbuatannya itu.
Saat
seseorang melakukan tindakan tak terpuji atas dasar pilihan sendiri, maka ia
layak dinilai buruk atas perbuatannya. Begitu pun sebaliknya, jika dalam
keadaan bebas, seseorang memilih untuk melakukan tindakan baik, maka ia dapat
dinilai baik atas perilakunya. Namun, ketika seseorang dalam keadaan tak bebas atau
di bawah paksaan, maka nilai dari perbuatannya, tak boleh ditimpakan kepadanya.
Alasannya karena perbuatan yang ia lakukan, di luar kehendaknya.
Sebagai
gambaran: ketika nilai kejujuran pada diri seseorang ingin diukur, maka
seharusnya tidak dengan menghilangkan kebebasannya untuk memilih bertindak
culas, ataukah menghilangkan segala potensi untuk terjadinya tindak pencurian,
seperti mengerangkengnya ataukah melenyapkan semua barang berharga di
sekitarnya. Itu karena adanya kebebasan dan potensi untuk mencuri, namun ia
tidak melakukannya, maka di situ letak nilai kejujuran.
Kiranya,
perlu dipahamkan kembali bahwa tekad mulia untuk mewujudkan nilai baik, tidak seharusnya
dilakukan dengan menghapuskan segala potensi untuk timbulnya nilai buruk. Dua
bentuk nilai tersebut, harus tetap tersaji sebagai sebuah pilihan. Tergantung
pada setiap oranglah, mau mewujudkan nilai baik atau buruk dalam tindakannya.
Yang
pasti, keberadaan satu nilai, memutlakkan adanya nilai kebalikannya. Ada hitam,
ada putih. Jika putih dianggap baik, dan ada keinginan untuk memutihkan segala
sesuatu, maka tidak harus dengan melenyapkan hitam. Alasannya karena hilangnya
hitam, sama dengan tak ada nilai bagi putih.
Hadirnya
pilihan nilai, menjadi tawaran bagi setiap orang untuk memilih akan
mengaktualisasikan yang mana. Maka itu, kebebasan menjadi penting, agar
seseorang mampu menentukan sikapnya sendiri akan mewujudkan nilai apa melalui
perbuatannya, tentu dengan kesadaran akan konsekuensinya. Kebebasanlah yang
menjadi dasar logis untuk memvonis seseorang dengan nilai tertentu.
Berangkat
dari uraian sebelumnya, sama sekali tidak ada maksud untuk menyatakan bahwa
potensi nilai buruk harus dipelihara, bahkan diwujudkan secara bangga. Tentu, semua
potensi untuk timbulnya nilai buruk, haruslah diminalisir. Potensi kebaikanlah
yang harus digenjot agar tetap dominan, sehingga setiap orang dapat dengan
mudah mewujudkan nilai kebaikan dalam kehidupannya. Intinya, lingkungan harus dibenahi
untuk mendukung dan memudahkan terwujudnya nilai kebaikan sebanyak mungkin.
Harus tetap disadari bahwa
keburukan tidak mungkin ditumpas seratus persen dari dunia ini. Manusia
tetaplah makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, tetapi juga
senantiasa terilhami panggilan batin untuk kembali ke fitrahnya. Dengan begitu,
maka dua sisi nilai, akan tetap abadi dan saling tarik-menarik. Saat ada
kebaikan, pasti ada keburukan. Terserahlah kepada setiap orang untuk memilih
nilai apa yang akan diwujudkannya. Yang pasti, ketika ia memilih melakukan
tindakan tertentu, konsekuensinya berupa pelabelan nilai, bahkan penjatuhan
sanksi, harus ia terima, sebab ia tahu dan telah diberikan kebebasan bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar