Rabu, 15 Juni 2016

Tak Ada Nilai Tanpa Kebebasan

Belakangan ini, beragam upaya pemberantasan maupun pencegahan tindakan amoral, dilakukan secara berlebihan. Didorong perasaan takut, jengkel, ataupun marah, maka segala tindakan yang bertentangan dengan norma, disikapi secara keras. Wujud nyatanya adalah penghapusan segala bentuk potensi yang memungkinkan timbulnya tindakan bernilai buruk.

Sikap melampaui batas dalam memberantas tindak pelanggaran norma, tanpa disadari, telah mengerangkeng kebebasan manusia. Padahal, kebebasan merupakan dasar untuk menilai apakah tindakan seseorang baik atau buruk, juga benar atau salah. Jika kebebasan telah tiada, maka apa dasar menimpakan sebuah nilai pada seseorang?

Sebagai ilustrasi, cermatilah sebuah kebijakan: Agar seseorang mampu menahan dirinya untuk tidak bertindak buruk, maka segala godaan negatif dilarang untuk ditampakkan padanya. Ataukah, agar seseorang tidak melakukan tindakan tak senonoh, maka segala potensi untuk melakukan tindakan itu, dilenyapkan. 

Dari contoh di atas, sekali lagi dipertanyakan, nilai apa yang bisa ditimpakan kepada seseorang yang melakukan tindakan tanpa kebebasan bertindak, atau tak pernah diuji? Semisal, tak mungkinlah menilai salah seseorang yang tak menolong orang lain saat kebakaran, jika saat kejadian, ia sedang terlelap atau terkurung. Sebaliknya, seseorang wajar dinilai buruk jika pada saat kebakaran terjadi, ia punya kebebasan dan potensi untuk memberikan pertolongan, tapi ia abai.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kebebasan adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya, dengan leluasa). Sedangkan arti nilai adalah harga; kadar; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.

Merujuk pada pengertian di atas, maka bisa dikatakan bahwa kebebasan adalah keadaan saat seseorang memiliki otoritas untuk menentukan pilihannya. Sedangkan nilai adalah tingkat capaian, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas, termasuk perihal perilaku seseorang. 

Antara kebebasan dan nilai, memiliki hubungan yang erat. Kebebasanlah yang menjadi penentu dalam memberikan tingkat atau predikat nilai pada seseorang atas perbuatannya. Kemandirian dalam bertindak, menjadi alasan kuat untuk menimpakan nilai tertentu. Alasannya karena atas dasar kebebasan, seseorang memiliki keleluasaan untuk memilih sebuah tindakan. Karena itu juga, ia pantas menanggung akibat atau bertanggung jawab atas perbuatannya itu. 

Saat seseorang melakukan tindakan tak terpuji atas dasar pilihan sendiri, maka ia layak dinilai buruk atas perbuatannya. Begitu pun sebaliknya, jika dalam keadaan bebas, seseorang memilih untuk melakukan tindakan baik, maka ia dapat dinilai baik atas perilakunya. Namun, ketika seseorang dalam keadaan tak bebas atau di bawah paksaan, maka nilai dari perbuatannya, tak boleh ditimpakan kepadanya. Alasannya karena perbuatan yang ia lakukan, di luar kehendaknya.

Sebagai gambaran: ketika nilai kejujuran pada diri seseorang ingin diukur, maka seharusnya tidak dengan menghilangkan kebebasannya untuk memilih bertindak culas, ataukah menghilangkan segala potensi untuk terjadinya tindak pencurian, seperti mengerangkengnya ataukah melenyapkan semua barang berharga di sekitarnya. Itu karena adanya kebebasan dan potensi untuk mencuri, namun ia tidak melakukannya, maka di situ letak nilai kejujuran. 

Kiranya, perlu dipahamkan kembali bahwa tekad mulia untuk mewujudkan nilai baik, tidak seharusnya dilakukan dengan menghapuskan segala potensi untuk timbulnya nilai buruk. Dua bentuk nilai tersebut, harus tetap tersaji sebagai sebuah pilihan. Tergantung pada setiap oranglah, mau mewujudkan nilai baik atau buruk dalam tindakannya. 

Yang pasti, keberadaan satu nilai, memutlakkan adanya nilai kebalikannya. Ada hitam, ada putih. Jika putih dianggap baik, dan ada keinginan untuk memutihkan segala sesuatu, maka tidak harus dengan melenyapkan hitam. Alasannya karena hilangnya hitam, sama dengan tak ada nilai bagi putih.

Hadirnya pilihan nilai, menjadi tawaran bagi setiap orang untuk memilih akan mengaktualisasikan yang mana. Maka itu, kebebasan menjadi penting, agar seseorang mampu menentukan sikapnya sendiri akan mewujudkan nilai apa melalui perbuatannya, tentu dengan kesadaran akan konsekuensinya. Kebebasanlah yang menjadi dasar logis untuk memvonis seseorang dengan nilai tertentu. 

Berangkat dari uraian sebelumnya, sama sekali tidak ada maksud untuk menyatakan bahwa potensi nilai buruk harus dipelihara, bahkan diwujudkan secara bangga. Tentu, semua potensi untuk timbulnya nilai buruk, haruslah diminalisir. Potensi kebaikanlah yang harus digenjot agar tetap dominan, sehingga setiap orang dapat dengan mudah mewujudkan nilai kebaikan dalam kehidupannya. Intinya, lingkungan harus dibenahi untuk mendukung dan memudahkan terwujudnya nilai kebaikan sebanyak mungkin.

Harus tetap disadari bahwa keburukan tidak mungkin ditumpas seratus persen dari dunia ini. Manusia tetaplah makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, tetapi juga senantiasa terilhami panggilan batin untuk kembali ke fitrahnya. Dengan begitu, maka dua sisi nilai, akan tetap abadi dan saling tarik-menarik. Saat ada kebaikan, pasti ada keburukan. Terserahlah kepada setiap orang untuk memilih nilai apa yang akan diwujudkannya. Yang pasti, ketika ia memilih melakukan tindakan tertentu, konsekuensinya berupa pelabelan nilai, bahkan penjatuhan sanksi, harus ia terima, sebab ia tahu dan telah diberikan kebebasan bertindak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar