Rabu, 22 Juni 2016

Klaim dan Dikotomi

Pastilah setiap orang pernah terpaksa tak menjadi dirinya sendiri, agar tak dicap sebagai kelompok tertentu. Apalagi, pada banyak kasus, sering timbul penilaian atas pola pikir dan perilaku seseorang, hanya karena dianggap serupa dengan kelompok tertentu. Seseorang yang berperilaku dengan kualifikasi yang dapat diidentifikasikan pada satu kelompok, akan dicap sebagai anggota kelompok tersebut. Padahal, saat berperilaku, orang itu sama sekali tak memperuntukkan tindakannya untuk meniru kelompok tertentu. Dasar tindakannya hanyalah rasio dan perasaan yang jernih secara pribadi. Keadaan ini tentu menimbulkan dilema.

Memang sudah menjadi kelaziman jika setiap kelompok memiliki ciri-ciri sebagai identitasnya. Tujuannya adalah untuk menjaga martabat kelompok, pembeda dari kelompok lain, serta pegangan berperilaku seluruh anggota kelompok. Namun, kebutuhan tersebut nyatanya dapat menimbulkan pertentangan antarkelompok akibat sikap klaim-mengklaim aspek tertentu sebagai bagian dari identitas kelompok. Aspek itu mencakup unsur budaya secara luas, baik terkait cara pikir, pola perilaku, tradisi, maupun produk kesenian.

Kepentingan satu kelompok untuk memiliki identitas yang berbeda dengan kelompok lain, memberi dorongan kuat atas maraknya aktivitas klaim-mengklaim. Ujung-ujungnya, jurang pembeda atau pemisah antarkelompok, semakin senjang. Aspek budaya tertentu dianggap melekat pada satu kelompok, sehingga kelompok lain dilarang untuk mengklaim aspek serupa. Dipaksakan berbeda. Jika mengklaim identitas yang telah diklaim, maka predikat sebagai kelompok tak jelas dapat saja menimpa kelompok bersangkutan.

Akhir dari sikap klaim-mengklaim adalah monopoli. Monopoli berarti kepemilikan tunggal yang mengimplikasikan pihak lain tak berhak mengganggu-gugat. Aspek tertentu dianggap sebagai kepunyaan eksklusif satu kelompok yang lebih dulu mengklaim, menegaskan, atau yang telah berhasil memenangkan sengketa aspek tertentu sebagi identitasnya. Jadinya, ketika klaim telah berubah jadi monopoli, maka diupayakan agar tindakan merecoki, apalagi merebut aspek yang telah diklaim, senantiasa diberangus. 

Upaya monopoli di satu sisi, dan larangan bagi kelompok lain untuk mengklaim ulang, akan berujung pada keadaan dikotomi. Dua perbedaan akhirnya tak bisa lagi didamaikan karena berangkat dari paradigma pecah bela. Semua harus berdasarkan hukum hitam-putih. Ketika putih telah dianggap kepunyaan satu kelompok, maka kelompok lainnya harus mendapatkan warna lain, termasuk lawannya, hitam. Maka, jelaslah bahwa pertentangan dalam kondisi dikotomi, tidak akan menemui jalan keluar, bahkan semakin meruncing.

Dikotomi adalah pertentangan. Lambat-laun, tali penghubung yang dulunya menjadi perekat antarkelompok, pun bisa jadi terputus total. Jalan kembali menuju keadaan semula, saat pertentangan belum terjadi, pun menjadi gelap. Pintu untuk kembali pada kehidupan saat segala aspek budaya menjadi milik bersama, telah tertutup. Setiap orang dipaksa memilih satu di antara banyak kelompok, dengan disertai kewajiban mempertahankan dan mewujudkan identitas kelompok pilihannya. 

Keadaan dikotomi dengan segala dampak buruknya, penting untuk diberantas. Sikap klaim-mengkalim aspek budaya, sampai berujung pada dikotomi kelompok, harus dicairkan. Untuk itu, penting untuk memberikan pencerahan bahwa tak ada satu kelompok pun yang berwenang memonopoli aspek kebudayaan tertentu. Segala aspek budaya, selalu terbuka bagi setiap orang dalam kelompok mana pun, untuk memperlajari, memahami, dan mengamalkannya. 

Tentu tidak ada salahnya setiap orang menggali, mengonsepkan, dan menegakkan identitas kelompoknya. Identitas tetaplah perlu untuk sebagai jati diri kelompok yang efektif sebagai alat pemersatu dalam mewujudkan tujuan kelompok. Masalah terjadi ketika kebebasan berpikir dan bertindak individu dalam satu kelompok, dikerangkeng demi menjaga muruah dan identitas kelompok. Bertindak berbeda berarti makar, dianggap tak sejalan dengan visi-misi kelompok, bahkan dicap sebagai penumpang gelap dari kelompok lain. Jika begitu, maka dikotomi jelas membuat anggota kelompok tidak lagi menjadi manusia merdeka, tetapi menjadi “robot” demi identitas dan ego kelompok.

Demi melawan paradigma dikotomi atas dasar perbedaan  identitas kelompok, maka kepemilikan atas semua aspek budaya, harus dikembalikan kepada tataran individu, tidak boleh dimonopoli oleh kelompok tertentu. Dengan bagitu, setiap orang dari kelompok mana pun, akan mampu keluar dari penjara dikotomi. Mereka akan leluasa menunaikan nilai-nilai yang dianggapnya baik secara individu, meski itu dipandang bertentangan dengan identitas kelomponya. Terlebih, kadang-kadang, setiap anggota kelompok memang harus tampil sebagai individu yang merdeka dari jeratan kelompoknya, agar nilai-nilai luhur bisa ditemukan dan diperjuangkannya secara bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar