Sedikit demi sedikit, menjadi
bukit. Pepatah ini pantas menggambarkan kesadaranku setelah
beberapa kali mengantarkan Ibuku ke pasar tradisional untuk membeli segala
macam kebutuhan dapur. Kesadaran itu timbul setelah aku menyaksikan kegigihannya
melakukan tawar-menawar setiap kali membeli barang tertentu. Ia berusaha
semaksimal mungkin untuk menghemat pengeluaran.
Upaya
tawar-menawar yang dilakukan Ibu di pasar, rupanya tak sia-sia. Dari kejelian
menawar harga barang, jumlah pengeluaran dapat ditekan. Barang kebutuhan pun
terbeli dengan kualitas yang baik, tentunya. Kemungkinan itu dapat terjadi
karena di pasar tradisional, terdapat banyak penjual untuk barang yang sama. Persaingan
harga terjadi antar penjual. Keadaan itu memberi berkah tersendiri bagi pembeli.
Menyaksikan
kecerdasan ibu berbelanja di pasar tradisional, memberikan pelajaran berharga
bahwa usaha seopimal mungkin harus dilakukan untuk menghemat pengeluaran. Hemat
meski hitungannya tak seberapa. Tak perlu merisaukan capek-capek menenteng
barang dan berkeliling ke sana-ke mari, demi mendapatkan harga yang
menguntungkan. Akhirnya, penting berpikir-pikir kembali setiap kali hendak membelanjakan
uang.
Entah
hanya aku, atau orang lain juga, tanpa disadari banyak pengeluaran yang
dilakukan untuk hal yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya, didorong rasa malas,
perbedaan harga makanan, tak dipermasalahkan hanya karena alasan praktisnya.
Termasuk juga melakukan mengeluarkan rutin untuk membeli paket data internet
yang sebenarnya tak dibutuhkan. Kebiasaan “ringan tangan” itu, tentu bertolak
belakang dengan kegigihan tawar-menawar yang dilakukan ibu-ibu di pasar
tradisional pada umumnya, demi berhemat.
Sikap
boros yang masa bodo selama ini, sebenarnya, akibat dari ketidakpahaman betapa biaya
hidup begitu sulit untuk didapatkan. Tak dipahami bahwa jumlah yang banyak, terkumpul
secara sedikit demi sedikit, dengan jerih payah. Kalau kenyataan itu telah
dipahami, pasti akan membuat nurani perhitungan dalam melakukan pengeluaran,
sebab menyadari bahwa pada sedikit nilai nominal pun, ada waktu dan tenaga yang
telah dikorbankan. Jika sadar diri belum melakukan apa-apa untuk menghasilkan pendapatan
sendiri, maka sudah seharusnya melakukan penghematan sebisa mungkin.
Peristiwa
Ibu ke pasar tradisional, dan perilaku boros tanpa sadar diri, mungkin telah
menjadi kebiasaan, bahkan sudah terasa lucu jika dipersoalkan. Namun, jika
direfleksikan, ternyata banyak masalah di sana. Ternyata, ego pribadi selama
ini, telah menutup mata hati untuk memahami keadaan. Akhirnya, keseringan menuntut
biaya untuk pemenuhan kesenangan semu, tanpa pernah memahami bahwa pengeluaran
untuk pemenuhan kebutuhan primer saja, penuh dengan pengorbanan. Maka, sudah
waktunya memahami, mengalah, dan menghargai perjuangan pada seberapa pun “pundi-pundi
kehidupan” yang ada, daripada memaksakan kehendak untuk hal yang tidak penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar