Minggu, 03 Juli 2016

Sedikit-Sedikit adalah Banyak

Sedikit demi sedikit, menjadi bukit. Pepatah ini pantas menggambarkan kesadaranku setelah beberapa kali mengantarkan Ibuku ke pasar tradisional untuk membeli segala macam kebutuhan dapur. Kesadaran itu timbul setelah aku menyaksikan kegigihannya melakukan tawar-menawar setiap kali membeli barang tertentu. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menghemat pengeluaran. 
 
Upaya tawar-menawar yang dilakukan Ibu di pasar, rupanya tak sia-sia. Dari kejelian menawar harga barang, jumlah pengeluaran dapat ditekan. Barang kebutuhan pun terbeli dengan kualitas yang baik, tentunya. Kemungkinan itu dapat terjadi karena di pasar tradisional, terdapat banyak penjual untuk barang yang sama. Persaingan harga terjadi antar penjual. Keadaan itu memberi berkah tersendiri bagi pembeli.

Menyaksikan kecerdasan ibu berbelanja di pasar tradisional, memberikan pelajaran berharga bahwa usaha seopimal mungkin harus dilakukan untuk menghemat pengeluaran. Hemat meski hitungannya tak seberapa. Tak perlu merisaukan capek-capek menenteng barang dan berkeliling ke sana-ke mari, demi mendapatkan harga yang menguntungkan. Akhirnya, penting berpikir-pikir kembali setiap kali hendak membelanjakan uang.

Entah hanya aku, atau orang lain juga, tanpa disadari banyak pengeluaran yang dilakukan untuk hal yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya, didorong rasa malas, perbedaan harga makanan, tak dipermasalahkan hanya karena alasan praktisnya. Termasuk juga melakukan mengeluarkan rutin untuk membeli paket data internet yang sebenarnya tak dibutuhkan. Kebiasaan “ringan tangan” itu, tentu bertolak belakang dengan kegigihan tawar-menawar yang dilakukan ibu-ibu di pasar tradisional pada umumnya, demi berhemat.

Sikap boros yang masa bodo selama ini, sebenarnya, akibat dari ketidakpahaman betapa biaya hidup begitu sulit untuk didapatkan. Tak dipahami bahwa jumlah yang banyak, terkumpul secara sedikit demi sedikit, dengan jerih payah. Kalau kenyataan itu telah dipahami, pasti akan membuat nurani perhitungan dalam melakukan pengeluaran, sebab menyadari bahwa pada sedikit nilai nominal pun, ada waktu dan tenaga yang telah dikorbankan. Jika sadar diri belum melakukan apa-apa untuk menghasilkan pendapatan sendiri, maka sudah seharusnya melakukan penghematan sebisa mungkin. 

Peristiwa Ibu ke pasar tradisional, dan perilaku boros tanpa sadar diri, mungkin telah menjadi kebiasaan, bahkan sudah terasa lucu jika dipersoalkan. Namun, jika direfleksikan, ternyata banyak masalah di sana. Ternyata, ego pribadi selama ini, telah menutup mata hati untuk memahami keadaan. Akhirnya, keseringan menuntut biaya untuk pemenuhan kesenangan semu, tanpa pernah memahami bahwa pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan primer saja, penuh dengan pengorbanan. Maka, sudah waktunya memahami, mengalah, dan menghargai perjuangan pada seberapa pun “pundi-pundi kehidupan” yang ada, daripada memaksakan kehendak untuk hal yang tidak penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar