Entah
ada apa, Durmin tampak berkhayal dan tersenyum-senyum sendiri. Padahal ia hanya
duduk berhadapan dengan segelas kopi hitam, di sebuah kafe modern yang tenang. Saking
terbuainya dengan angan tak terucap itu, ia baru tiga kali mengecap kopi pesanannya
yang mulai mendingin. Bahkan kue-kue cita rasa impor di hadapannya, tak
tersentuh sedari tadi.
Diam-diam,
di balik jendela kaca, Durmin terus memandang jauh ke puncak sebuah gedung dengan
penuh kekaguman. Dalam memorinya, terputar lagi sejarah panjang dari masa lampau, saat lokasi gedung itu, hanya tanah kosong nan gersang
yang tak menghidupi. Ia tak pernah menyangka, gedung megah akan berdiri di sana,
seperti sekarang.
Asyik
bermain dalam imajinasinya, membuat Durmin seakan lupa diri. Ia bahkan lupa
kalau hampir setengah jam, ia hanya duduk termenung, menunggu anaknya, Bahar, datang
menghampiri. Sebagaimana kesepakatan di awal, sebelum ia pergi menemui
seseorang dan sang anak juga pergi entah ke mana, mereka akan bertemu di sebuah
warung kopi, tapat jam 12.
Saat Durmin tersadar dan mulai gusar menunggu, Bahar yang kini menjalani semester II perkulihan, muncul juga. Tapi aneh, bukannya lekas minta maaf pada sang
ayah, ia malah lebih dulu mengungkapkan kegusarannya. Ia mengaku telah menunggu
begitu lama di kedai kopi seberang jalan, bahkan harus mondar-mandir demi
menemukan sang ayah.
Setelah
saling menyalahkan, mereka akhirnya sepaham, kalau mereka sama-sama salah paham
tentang warung kopi yang disepakati sebagai tempat pertemuan. Dan sialnya,
telepon genggam Durmin, sedang tak berdaya.
“Kenapa
kita harus minum kopi di tempat seperti ini sih, Ayah? Rasa kopi di sini dan
warung sebelah, sama saja. Harganya saja yang beda. Di sini lebih mahal,” keluh
Bahar, seakan masih kesal atas kesalahpahaman yang baru saja terjadi.
Seperti
sebelumnya, Durmin terus saja tersenyum, seperti tak ada hal yang patut
dipermasalahkan. “Apa salahnya, Nak. Kalau kita punya uang, tak apa-apa kita
bersantap di tempat yang mewah.”
Mendengar
penuturan ayahnya, Bahar semakin kesal. Ia merasa ayahnya terlalu kolot untuk
memahami sistem bisnis para pemodal besar. “Ayah, kedai modern seperti ini, tak
ubahnya penjajahan gaya baru. Kapitaslistik. Dengan jajan di sini, tanpa sadar,
kita telah membuat orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin,”
terangnya. “Dan parahnya lagi, cafe ini punya orang asing. Itu berarti kita
tidak nasionalis.”
Dengan
entang Durmin menyanggah, “Kau jangan berpikir yang tidak-tidak, Nak. Kalau
bisa enak, yang tak usah dipermasalahkan. Nikmati saja. Loh, wong yang kerja di
sini juga orang-orang kampung. Hitung-hitung kita menghidupi mereka dengan cara
berbelanja di sini.”
Sadar
kalau sang ayah tak mungkin memahami penjelasannya, Bahar pun membungkam dirinya
sendiri.
“Kau
lihat gedung di seberang?” tanya Durmin, sambil menunjuk ke arah gedung yang sedari awal ia kagumi.
Bahar
mengangguk malas. “Memangnya kenapa? Yang aku tahu, itu akan jadi pusat perbelanjaan
terbesar di kota ini. Tempat para kapitalis kelas kakap memperjualbelikan
barang-barang jarahannya dari para buruh. Tempat para penjajah itu memonopili
harga dan mengendalikan nafsu belanja masyarakat secara luas.”
Menyaksikan
sikap anaknya yang terkesan mengeyel, Durmin pun sedikit gusar. Ia jelas tak
paham dengan jalan pikiran sang anak yang selalu menganggap kemajuan kota
sebagai ancaman. Karena itu, ia ingin segera berterus terang tentang inti
maksudnya, “Nak, setahun lagi, pusat perbelanjaan itu akan dioperasikan.”
“Terus,”
ketus Bahar, menyela.
“Makanya,
kau harus menyelesaikan kuliahmu segera, agar kau dapat berkerja di sana,” kata
Durmin, diikuti senyuman penuh harap. “Kau tahu, Nak, dulu, tanah tempat gedung
itu berdiri, adalah milik kita. Tanah kita yang tak menghasilkan apa-apa. Tapi
setelah seorang pengusaha asing membelinya dengan harga tinggi sekitar tujuh
tahun lalu, keadaannya telah banyak berubah. Tak lama lagi, gedung itu akan
mempekerjakan warga sekitar sini, yang bertahun-tahun lalu, hanya jadi
pengangguran. Kita telah berbuat sesuatu untuk kebaikan mereka.”
Bahar
terenyuh mendengar penuturan ayahnya. “Apa? Terus kita dapat apa selain
menonton?”
“Nah,
kau tahu, Nak, tadi aku baru saja bertemu dengan pihak pengusaha itu.
Sebagaimana janjinya dahulu sebelum membeli tanah kita, ia siap
mempekerjakanmu, juga mempekerjakan saudara-saudaramu, kelak setelah kalian sarjana,”
tutur Durmin, semringah.
Lagi-lagi, Bahar terperanjat dengan penjelasan ayahnya. Ia menilai ayahnya terlalu lugu
membaca sistem kapitalistik di dunia modern. Tapi kali ini, ia tak ingin
menanggapi soal itu lagi, sebab hanya akan memperpanjang perdebatan yang tidak
penting dengan seseorang yang dianggapnya kolot. Dan untuk saat ini, ia belum menentapkan
sikap atas tawaran itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar