Rabu, 31 Mei 2017

Yang Terjual

Entah ada apa, Durmin tampak berkhayal dan tersenyum-senyum sendiri. Padahal ia hanya duduk berhadapan dengan segelas kopi hitam, di sebuah kafe modern yang tenang. Saking terbuainya dengan angan tak terucap itu, ia baru tiga kali mengecap kopi pesanannya yang mulai mendingin. Bahkan kue-kue cita rasa impor di hadapannya, tak tersentuh sedari tadi.
 
Diam-diam, di balik jendela kaca, Durmin terus memandang jauh ke puncak sebuah gedung dengan penuh kekaguman. Dalam memorinya, terputar lagi sejarah panjang dari masa lampau, saat lokasi gedung itu, hanya tanah kosong nan gersang yang tak menghidupi. Ia tak pernah menyangka, gedung megah akan berdiri di sana, seperti sekarang.

Asyik bermain dalam imajinasinya, membuat Durmin seakan lupa diri. Ia bahkan lupa kalau hampir setengah jam, ia hanya duduk termenung, menunggu anaknya, Bahar, datang menghampiri. Sebagaimana kesepakatan di awal, sebelum ia pergi menemui seseorang dan sang anak juga pergi entah ke mana, mereka akan bertemu di sebuah warung kopi, tapat jam 12. 

Saat Durmin tersadar dan mulai gusar menunggu, Bahar yang kini menjalani semester II perkulihan, muncul juga. Tapi aneh, bukannya lekas minta maaf pada sang ayah, ia malah lebih dulu mengungkapkan kegusarannya. Ia mengaku telah menunggu begitu lama di kedai kopi seberang jalan, bahkan harus mondar-mandir demi menemukan sang ayah.

Setelah saling menyalahkan, mereka akhirnya sepaham, kalau mereka sama-sama salah paham tentang warung kopi yang disepakati sebagai tempat pertemuan. Dan sialnya, telepon genggam Durmin, sedang tak berdaya.

“Kenapa kita harus minum kopi di tempat seperti ini sih, Ayah? Rasa kopi di sini dan warung sebelah, sama saja. Harganya saja yang beda. Di sini lebih mahal,” keluh Bahar, seakan masih kesal atas kesalahpahaman yang baru saja terjadi.

Seperti sebelumnya, Durmin terus saja tersenyum, seperti tak ada hal yang patut dipermasalahkan. “Apa salahnya, Nak. Kalau kita punya uang, tak apa-apa kita bersantap di tempat yang mewah.”

Mendengar penuturan ayahnya, Bahar semakin kesal. Ia merasa ayahnya terlalu kolot untuk memahami sistem bisnis para pemodal besar. “Ayah, kedai modern seperti ini, tak ubahnya penjajahan gaya baru. Kapitaslistik. Dengan jajan di sini, tanpa sadar, kita telah membuat orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin,” terangnya. “Dan parahnya lagi, cafe ini punya orang asing. Itu berarti kita tidak nasionalis.”

Dengan entang Durmin menyanggah, “Kau jangan berpikir yang tidak-tidak, Nak. Kalau bisa enak, yang tak usah dipermasalahkan. Nikmati saja. Loh, wong yang kerja di sini juga orang-orang kampung. Hitung-hitung kita menghidupi mereka dengan cara berbelanja di sini.”

Sadar kalau sang ayah tak mungkin memahami penjelasannya, Bahar pun membungkam dirinya sendiri.

“Kau lihat gedung di seberang?” tanya Durmin, sambil menunjuk ke arah gedung yang sedari awal ia kagumi.

Bahar mengangguk malas. “Memangnya kenapa? Yang aku tahu, itu akan jadi pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Tempat para kapitalis kelas kakap memperjualbelikan barang-barang jarahannya dari para buruh. Tempat para penjajah itu memonopili harga dan mengendalikan nafsu belanja masyarakat secara luas.”

Menyaksikan sikap anaknya yang terkesan mengeyel, Durmin pun sedikit gusar. Ia jelas tak paham dengan jalan pikiran sang anak yang selalu menganggap kemajuan kota sebagai ancaman. Karena itu, ia ingin segera berterus terang tentang inti maksudnya, “Nak, setahun lagi, pusat perbelanjaan itu akan dioperasikan.”

“Terus,” ketus Bahar, menyela.

“Makanya, kau harus menyelesaikan kuliahmu segera, agar kau dapat berkerja di sana,” kata Durmin, diikuti senyuman penuh harap. “Kau tahu, Nak, dulu, tanah tempat gedung itu berdiri, adalah milik kita. Tanah kita yang tak menghasilkan apa-apa. Tapi setelah seorang pengusaha asing membelinya dengan harga tinggi sekitar tujuh tahun lalu, keadaannya telah banyak berubah. Tak lama lagi, gedung itu akan mempekerjakan warga sekitar sini, yang bertahun-tahun lalu, hanya jadi pengangguran. Kita telah berbuat sesuatu untuk kebaikan mereka.”

Bahar terenyuh mendengar penuturan ayahnya. “Apa? Terus kita dapat apa selain menonton?”

“Nah, kau tahu, Nak, tadi aku baru saja bertemu dengan pihak pengusaha itu. Sebagaimana janjinya dahulu sebelum membeli tanah kita, ia siap mempekerjakanmu, juga mempekerjakan saudara-saudaramu, kelak setelah kalian sarjana,” tutur Durmin, semringah.

Lagi-lagi, Bahar terperanjat dengan penjelasan ayahnya. Ia menilai ayahnya terlalu lugu membaca sistem kapitalistik di dunia modern. Tapi kali ini, ia tak ingin menanggapi soal itu lagi, sebab hanya akan memperpanjang perdebatan yang tidak penting dengan seseorang yang dianggapnya kolot. Dan untuk saat ini, ia belum menentapkan sikap atas tawaran itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar