Suasana lengang. Udara dingin di
bawah langit yang gelap. Aku duduk menepi di sebuah halte. Berlindung dari
guyuran hujan yang datang tiba-tiba. Hanya duduk, menatap titik-titik air yang
menghujam jalan beraspal. Tak ada siapa-siapa. Mungkin semua orang tengah singgah
berteduh, pada persimpangan masing-masing. Menikmati hujan yang menjebak.
Meresapi sepi, seperti yang kurasakan.
Hingga akhirnya, kejutan datang.
Di tengah derai hujan, kulihat seseorang perempuan dengan rok panjang dan jaket
tebal, berjalan di bawah payung. Ia menuju ke arahku. Langkahnya hati-hati,
menghindari aliran air yang mencapai mata kaki. Dan, dari jarak sepuluh meter,
kuterawang wajahnya baik-baik. Aku mengenalinya. Dia adalah teman sekampusku.
Setelah sampai, ia bergegas
melipat payung, kemudian menepis-nepis air hujan yang menyerap di jaket
hitamnya. Sejenak, bola matanya menatapku, sambil tersenyum. Ada kesan ia juga
mengenaliku. Aku bisa membacanya. Lalu, tanpa berkata-kata, ia duduk dengan
segan. Hanya termenung, menunggu hujan reda, entah sampai kapan, seperti yang
kulakukan.
Kehadirannya jelas membuat
perasaanku tak keruan. Itu karena sudah sejak lama, aku mengaguminya secara
diam-diam. Upaya penguntitan pun rela kulakukan, sekadar untuk mengetahu
identitas dasarnya. Dan hasilnya, kutahu kalau ia bernama Dini, tepatnya Rahmita Andini. Informasi itu kuperoleh dari
daftar hadir di satu kelas mata kuliah, yang kami program bersama.
Berbekal nama lengkapnyalah, aku
mulai menjerumuskan diri dalam serangkaian rutinitas bodoh. Kuketik namanya di
mesin pencari internet, hingga kutemukan semua bilik-bilik kehidupannya. Akhirnya,
aku tak bisa melewatkan hari tanpa mengecek aktivitas hidupnya di semua lini
media sosial. Aku seperti kecanduan.
Jelas, jebakan hujan kali ini,
membuat perasaanku dilematis. Aku takut jika ia mengetahui aktivitas
terselubungku selama ini, yang suka memata-matainya. Sungguh memalukan jika itu
benar-benar terjadi. Namun, aku juga tak bisa manampik, kalau ini adalah
kesempatan emasku untuk memulai pendekatan nyata padanya, tak hanya sekadar
menjadi pengagum rahasianya.
Setelah hampir sepuluh menit
saling mendiamkan, akhirnya, aku memutuskan untuk memulai sebuah percakapan.
Kupikir, akan lebih memalukan jika ia mencapku sebagai lelaki pemalu, yang tak
punya nyali memulai obrolan dengan seorang perempuan.
Kulepas earphone di telingaku, kemudian berdeham keras. Aku lalu berpaling
padanya, sambil tersenyum.
Dia pun menoleh padaku.
Membalasku dengan sesimpul senyuman.
“Dini, mau ke fakultas?” tanyaku,
sok akrab. Memberi tanda kalau aku mengingatnya sebagai teman sekelas.
Dia menggeleng. “Tidak. Aku
hendak ke gedung kesenian. Aku ada acara di sana.”
Aku mengangguk. Diam-diam, memahami
apa yang dia maksud. Aku telah mengamati
info aktivitasnya hari ini, melalui media sosial.
“Ada acara apa di sana?” tanyaku,
sekadar berbasa-basi.
“Aku ada pementasan tari adat
untuk acara organisasi kesenian yang kugeluti,” jawabnya, segan. “Kalau ada
waktu, mampirlah ke sana.”
Aku tersenyum singkat. “Terima
kasih. Kalau waktuku lowong, aku akan sempatkan menonton penampilanmu. Aku
yakin, pasti mengagumkan,” pujiku.
Dia balas tersenyum. Sangat
manis.
Lalu, kami pun terdiam. Suasana
menjadi hening.
Hujan mereda. Yang ada hanya
rintik-rintik saja.
“Dimas, aku pamit duluan. Mumpung
reda,” tuturnya, memecah keheningan.
Sungguh, aku merasa senang
mendengar ia mengeja namaku dengan tutur kata yang menggetarkan. “Biar aku
antar?” tawarku.
“Tak usah,” tolaknya seketika.
“Seseorang menjemputku di seberang jalan.”
Aku menoleh ke depan. Dan
kulihat, sesosok lelaki menunggunya dengan sikap yang mencurigakan.
“Sayang, ayo,” seru lelaki itu.
“Aku duluan ya?” pungkasnya,
kemudian beranjak dengan setengah berlari. Pergi tanpa menanti kata-kata
penutup dariku.
Perasaanku kembali membeku. Sepi.
Dingin yang kurasa, menggerogoti relung sukmaku. Setumpuk khayalanku tentangnya
pun, jadi serupa racun. Menyebar dan melumpuhkan sekujur tubuhku. Sungguh, aku
menyesal telah menghabiskan banyak waktu mengaguminya secara diam-diam.
Bersama separuh nyawa yang
tersisa, kutuntun arah jalanku pulang. Berdialog dengan diri sendiri di atas sepeda
motor yang kupandu pelan. Merenungi nasib. Lalu, dengan perasaan kalut,
kubungkam telingaku dari suara rintik hujan yang terdengar lirih. Dari earphone, mengalun indah lagu Efek Rumah Kaca, Desember, untuk
kesendirianku.
Selalu ada yang bernyanyi dan
berelegi di balik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi
gelap ini
Menanti seperti pelangi setia
menunggu hujan reda
Tiba-tiba, hujan deras kembali
mengguyur tubuhku. Aku tak peduli. Seiring waktu, aku yakin, hujan akan
berhenti dengan sendirinya. Hujan akan mengakhiri segalanya, termasuk perihku.
Dan aku yakin, di ruang yang lain, kelak, ada sosok yang akan memupuskan
lukaku.
Aku selalu suka sehabis hujan di
bulan desember
Sampai nanti ketika hujan tak
lagi meneteskan duka, menetas duka
Sampai hujan memulihkan luka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar