Semenjak
ibuku pergi, menghilang entah ke mana, banyak perubahan pada diri ayahku. Sikapnya
berubah jadi pemurung dan tak berselera lagi berbagi cerita. Ia hanya mengobrol
untuk hal-hal penting. Fisiknya pun jadi tak terurus. Ia abai dengan
penampilannya. Hingga rambut di sekitar wajahnya, tumbuh subur tanpa pernah
dirapikan.
Sepintas,
aku bisa memahami perubahan ayahku. Sebagai suami yang bertanggung jawab, wajar
jika ia berduka kala ditinggal pergi sang istri. Apalagi, kutahu, kepergian sosok yang ia cintai,
terjadi tanpa sebab yang jelas. Tentu butuh waktu yang lama untuk benar-benar
menghapus rangkaian kenangan di benaknya. Bahkan tak ada jaminan kalau ia akan
kembali hidup normal, seperti sedia kala.
Melihat
keadaan ayahku, jelas membuatku prihatin. Karena itu, kasih sayangku padanya, semakin
bertumbuh, di saat rasa benciku pada sosok ibu, juga semakin bertumbuh. Sebisa
mungkin, aku meredakan pilu hatinya dengan sejumlah perhatian, meski ia sering
kali menunjukkan ketidaksenangannya tiap kali aku khawatir secara berlebihan.
Sungguh, tak
habis-habis kekagumanku pada sosok ayah. Walaupun telah disakiti, ia selalu
meminta agar aku tak membenci perempuan yang menghianatinya, ibuku. Sikapnya
memang berubah, tapi ia tak sedikit pun menampakkan kebencian atas ibuku yang
telah pergi. Bahkan ia tampak menyalahkan dirinya sendiri atas perpisahan itu.
Di
tengah kekalutan hatinya, ayahku masih dengan kebiasaan yang sama. Ia tetap suka mengabiskan waktu di rumah seorang
diri. Hanya duduk merenung di hadapan tumpukan kertas dan laptop. Bermesraan
dengan buku-buku di ruang bacanya yang sempit, atau mengetik sesuatu
di laptop yang tak kutahu apa.
Karena sosok ayah, hidup
tanpa seorang ibu, kurasa bukan sebuah masalah. Keberadaan ayah,
sudah cukup bagiku. Apalagi, kasih sayangnya padaku, tak pernah berubah-ubah.
Meski hanya bekerja sebagai guru bahasa Indonesia berstatus honorer di sebuah
sekolah dasar, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku pun melakukan bakti yang serupa. Ringkasnya, kami berdua saling menyayangi.
Namun
atas ketidakpeduliannya pada diri sendiri, fisik ayahku pun tumbang diserang penyakit.
Keadaannya semakin memburuk dari hari ke hari. Apalagi, ia tak pernah peduli
jika aku menyarankannya berobat secara intensif di rumah sakit. Ia pasrah
saja dengan keadaan dirinya setiap waktu. Hingga, ia pun kalah. Tepat seminggu lalu, ia
meninggal kerena komplikasi penyakit.
Kini,
aku benar-benar hidup sendiri. Tapi aku tak ingin larut dalam kesedihan dan kesepian yang
mendalam. Sebagaimana pesan ayahku, sedih dan sepi hanyalah hasil dari ketidakcerdasan
kita memanfaatkan waktu. Karena itu, aku pun melakoni kebiasaan ayahku dahulu: menghabiskan
waktu dengan buku-buku di ruang baca yang sempit, hingga lupa waktu
Kala
tengah asyik membaca novel, sebuah kiriman pun sampai di rumahku. Awalnya
kukira itu adalah kiriman untuk ayahku. Tapi setelah kuperiksa identitas sosok
yang dituju, di sana tertulis jelas namaku. Maka kusibaklah bingkisan itu.
Ternyata, isinya adalah buku, sebuah novel berjudul Rumah Kita. Dan betapa kegetnya aku,
sebab di sampul novel itu, tertulis terang nama ayahku: Dorman Sumanji Aka.
Bersama
rasa penasaran yang menggebu, kubacalah surat yang menyertai kiriman
novel itu. Kueja pada sepenggal isi surat: Novel karya almarhum ayah Anda, telah menjadi novel terlaris tiga bulan
ini. Kami dari penerbit, berharap anda bisa berbagi kisah tentang proses kreatif
almarhum.
Dengan
ketakjuban yang semakin meninggi pada sosok ayah, segera saja kulahap
kata-kata gubahannya. Aku penasaran juga mengetahui apa yang selama ini ia
tulis di dalam kesedihan dan kesendiriannya, setelah ibuku pergi tanpa pamit. Dan
beberapa jam kemudian, kutahulah, karyanya itu berkisah tentang kehidupan kami
sekeluarga. Setidaknya, aku bisa meyakini itu dari petunjuk yang terpampang di
sampul novel: true story.
Betapa mengagumkannya kisah gubahan ayahku. Aku tak menyangka kalau ia bisa
merangkai kata dan cerita semenarik itu. Tapi apa yang ia ceritakan, jauh
berbeda dari yang kuketahui selama ini. Banyak rahasia baru yang terungkap di
dalamnya. Dan kenyataan itu membuatku merasa bingung harus meyakini cerita
hidupku dari mana.
Ringkasnya,
ia berkisah tentang seorang lelaki yang ditinggal pergi istrinya. Alasannya
pelik. Sang suami berkeras untuk mengungkap satu rahasia besar pada sang anak, sedangkan
sang istri menolak. Rahasia besar itu tentang status seorang anak dalam
keluarga mereka, yang sebenarnya bukan siapa-siapa; hanya anak adopsi. Terjadilah
percekcokan yang berujung pada kepergian sang istri, seorang perempuan yang tak
bisa mengandung anak sendiri.
Kini,
aku merasa dilema. Bimbang, di antara hadir atau tidak pada acara bedah novel
karangan ayahku sendiri. Aku bingung sendiri harus berkisah apa, di saat banyak
rahasia yang masih belum kuketahui, apalagi kuyakini, tentang hubungan ayah dan
ibuku, juga hubungan mereka denganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar