Sangat
jarang orang yang benar-benar memendam, merahasiakan masalahnya, sampai teredam
sendiri. Seprivasi apa pun sebuah masalah, pasti akan didendangkan juga pada
telinga segelintir orang yang diangap bisa menjaga aib.
Itu
sama denganku. Aku memendam perasaan pada seorang wanita, sekampusku. Telah
lama aku menahan diri untuk tidak menyatakannya dengan segala pertimbangan dan
prinsipku. Itu tentu masalah pelik. Tak ada solusinya. Tapi, seperti yang
kukatakan sebelumnya, aku bukanlah pemendam sejati. Karena itu, aku pernah
menceritakan perasaanku itu pada sahabat baikku sendiri, Bima.
Nama
wanita pujaanku adalah Yuka. Itu cocok
untuknya yang bermata sipit dan berkulit terang. Jelas, rupanya sangat menggemaskan.
Tapi hebatnya, ia bukanlah sosok yang celamitan,
manja, dan cerewet. Sebaliknya malah, ia terlihat tenang, tegas, dan pendiam.
Dia
orang yang tertutup. Mungkin karena itu juga, sampai sekarang, ia tak pernah dekat
dengan seorang lelaki lebih dari sekadar teman biasa. Padahal, kalau saja ia
ingin membuka diri, sedikit saja, atau malah mengobral dirinya, aku yakin,
banyak lelaki yang akan memperebutkannya secara membabi buta.
Sampai
akhirnya, datang hari saat perasaan terpendamku seakan diketahuinya, tetapi
dengan cara yang salah. Aku tak mengerti apa-apa, sampai Yuka dan sahabatnya, Rana,
mendatangiku secara tiba-tiba.
“Hai
Rion, lelaki macam apa kau ini? Kau pikir temanku ini wanita gampangan! Itu
tulisanmu kan?” bentak Rana yang berwatak tomboy.
Wajahnya tampak menyeringai.
Yuka
di sampingnya, hanya menunduk. Sesekali ia menengadah dan memandang ke arahku
yang tengah mati kutu.
Pandanganku
gelap. Detak jantungku mengencang. Dengan sangat kaku, kuterima secarik kertas
yang disodorkan Rana. Kubaca lamat-lamat. Ada kata-kata cinta tertulis di
dalamnya. Ya, itu adalah puisi tentang pengakuan seorang pengagum rahasia.
“Bukan
aku yang menulisnya. Sumpah! Aku tak akan bisa merangkai kata seperti ini,”
tuturku padanya. Berusaha mengiba.
“Ah,
sudahlah. Kau akui atau tidak, yang pasti itu karanganmu. Aku punya saksi,”
selanya. “Aku tak ingin mempermalukanmu kali ini. Tapi lain kali jika kau
ulangi lagi, aku tak akan segan-segan,” ancamnya, lalu beranjak pergi.
Seperti
mati rasa, aku hanya berdiri mematung. Tak ada dayaku membalas kata-katanya.
Baru
beberapa langkah, ia berbalik. “Satu lagi, belajarlah menghargai perempuan!”
pungkasnya. Tegas.
Sore
itu seperti kiamat bagiku. Setelahnya, aku benar-benar mati gaya setiap kali
bertemu dengan Yuka. Memang bukan aku pelakunya, tapi rasa malu padanya, tetap
ada. Mungkin karena sangkaan bahwa aku menyukainya, memang benar.
Entah
siapa penulis puisi itu. Bima membantah keras-keras jika aku menyangkanya, meski
segala cara telah kucoba. Aku pasrah menuduhnya terus. Untuk memperbaiki
keadaan, jika ada waktu yang tepat, akan kutemui dan kutegaskan pada Yuka, bahwa
puisi itu bukan gubahanku. Semoga itu bisa membersihkan nama baikku dan
menegaskan bahwa aku bukan lelaki pengumbar perasaan palsu.
Sebenarnya,
aku tak pernah berencana mengungkapkan perasaanku pada Yuka. Banyak
pertimbanganku. Dia wanita rupawan, cerdas, dan tampak berasal dari keluarga
kaya, terhormat dan terpandang. Sedangkan aku, sebaliknya, atau paling tidak, tak
mungkin setara, apalagi melampauinya.
Tidak
hanya itu. Alasan besarku untuk menjadi pemendam selamanya, karena kutahu, ia
akan dijodohkan dengan seseorang. Kurasa, itu kebijakan tepat orang tuanya,
agar ia tidak menjatuhkan hatinya pada pilihan yang salah, dan malah membuat
martabat dia dan keluarganya, turun kasta.
Pengetahuanku
bahwa Yuka akan dijodohkan, sebenarnya hasil penelusuranku secara
sembunyi-sembunyi. Entahlah, apakah perjodohan itu hanya konklusi sesatku, atau
memang benar-benar akan terjadi. Yang pasti, aku menyimpulkannya dari
serangkaian puisi gubahannya di akun media sosial miliknya, atau di
terbitan-terbitan mahasiswa di kampus. Tertulis di sana, betapa ia menanti
waktu perjodohan yang telah ditetapkan itu.
Tak
pernah kupermasalahkan semua kenyataan itu. Malah, aku berdoa agar ia segera mengikatkan
cintanya pada seseorang. Dengan begitu, ada alasan wajib bagiku untuk tidak
mengharapkanya lagi.
Aku
tak akan merasa kehilangan kesempatan, sampai tergesa-gesa menuturkan
perasaanku padanya. Kalau pun ada kemungkinan perasaanku bersambut, aku tak mau
mewujudkannya. Takutku jika suatu saat, ia dicintai orang lain, tapi aku
berbekas di hatinya. Itu tentu bentuk ketidakadilanku padanya, terutama pada cinta
sejatinya nanti. Jadi, kuputuskan untuk tidak menyinggahi hatinya, sampai
kapanpun.
***
Tiga
tahun berlalu setelah aku memperoleh gelar sarjana, aku pun bekerja di sebuah
perusahaan swasta. Karena kemapanan telah kuraih, perasaan terpendamku pada
Yuka, bersemi kembali. Apalagi kemungkinan kecil itu masih ada. Dia belum
menikah juga. Padahal, setahuku, perjodohan seharusnya segera dilangsungkan
jika tak ada halangan, agar calon mempelai tak berpaling ke lain hati.
Aku
pun menceritakan deru parasaanku pada tong
penampung beban hidupku, Bima. Dia tetap sahabat baik yang kukuh menjaga
rahasiaku. Aku pun mengajaknya bertemu di sebuah café untuk membicarakan
maksudku.
“Bim,
bagaimana pendapatmu jika aku melamar Yuka, apakah ada kemungkinan aku
diterima?” tanyaku padanya, setelah lelah berbasa-basi.
“Aku
kan dari dulu selalu mendukungmu untuk mencobanya. Aku yakin, jika kau
melakukan cara-cara terhormat untuk mendapatkannya, kemungkinan untukmu diterima
selalu terbuka,” balasnya, seperti yang kuharapkan.
“Lalu,
bagaimana dengan puisi yang dituduhkan padaku? Bagaimana tentang perjodohan
dalam puisi-puisinya?” tanyaku lagi.
“Aku
tak yakin dia dijodohkan. Coba lihat, sampai sekarang, pernikahan itu tak
dilangsungkan. Perlu kau tahu bahwa bahasa puisi itu menipu. Puisi hanya tempat
persembunyian orang-orang yang tak berani jujur. Jadi, aku ingin kau mewujudkan
maksudmu. Cukuplah empat tahun kau jadi pemendam,” balasnya.
Saran
Bima membuat perasaanku dilanda kebimbangan. Dilema, antara mencintai
angan-angan, atau mencoba ketidakpastian.
***
Tak
lewat akhir tahun, aku memberanikan diri melaksanakan saran Bima. Hari itu
sungguh menegangkan. Aku meminang Yuka. Dan akhirnya, jawaban yang kuterima
adalah yang sangat kuragukan: Lamaranku diterima! Kami pun menikah tidak
berselang lama setelah itu.
Empat
hari setelah menikah, aku mencoba mengulik kembali jalan berliku yang kami
lalui, sampai akhirnya cinta itu menjadi nyata.
Saat
ini, kami sedang bersantai di pelataran rumah kami yang sederhana. Duduk
berdampingan, menyeruput kopi, sambil menunggu mentari meninggi.
“Kau
tahu, aku bukanlah penulis puisi yang kau tuduhkan dahulu? Kenapa bisa kau menuduhku?”
Aku memulai percakapan.
Ia lalu
menarik kepalanya dari bahuku. “Jadi sampai sekarang kau belum tahu siapa
penulis puisi itu?”
“Mana
bisa aku tahu. Yang pasti bukan aku. Seharusnya kau tahu,” balasku.
“Aku!”
tegasnya.
“Apa?”
tanyaku, spontan.
“Ya,
aku yang menulis puisi itu, dan sengaja berbohong pada Rana kalau kaulah,
lelaki culun, yang menulisnya untukku. Aku pura-pura protes. Aku yakin ia akan
segera melabrakmu,” jelasnya, santai, seperti merasa itu bukan kenyataan yang
menjengkelkan bagiku.
“Jadi,
kau tahu kalau aku menyukaimu sejak itu?” tanyaku lagi, semakin penasaran.
“Iyalah.
Rahasiamu terkuak dari sumber terpercaya, Bima. Kau tahu sendiri kalau ia dan
Rana adalah teman baik. Dari Rana, aku tahu kau memendam perasaan padaku,”
tuturnya, seperti sengaja mempermainkanku. Membuatku semakin geregetan.
Aku
tak menduga, ternyata Bima tak bisa dipercaya. Sepertinya benar bahwa tak ada
penjaga rahasia yang bisa diandalkan.
“Tentang
puisi itu, sebenarnya aku hanya ingin kau bersikap tegas. Aku mau kau tak
memendam parasaanmu terus-menerus. Aku berharap kau memintaku untuk berhubungan
secara bermartabat, atau sekalian tidak,” sambungnya lagi. “Apa kau tak merasa
berdosa meningalkan aku dengan pengharapan yang menggantung bersamamu sekian
tahun?” Ia balik bertanya. Raut wajahnya tampak mengibakan.
“Jadi,
sejak saat itu, kau mengharapkanku juga,” tanyaku, lagi.
Dia
hanya mengangguk. Senyuman manisnya mulai merekah. Ada keharuan yang tersirat di
wajahnya.
Aku
merasa bersalah. “Maafkan aku,” tuturku, sambil menggenggam tangannya. “Aku mendiamkanmu,
bukan berarti tak peduli. Aku cuma tak yakin kau mendambakanku juga.”
“Apa
hanya karena itu,” tanyanya. Butiran air mata, jatuh di pipinya.
“Sesungguhnya,
aku tak percaya diri mewujudkan perasaanku padamu. Kasta sosial-ekonomi keluarga
kita berbeda. Aku yakin, orang tuamu pasti menolakku, dan kau pasti dijodohkan
dengan orang lain, seperti yang kau tuliskan di puisi-puisimu,” jujurku.
Bola
matanya mulai berair. “Aku memang telah dijodohkan, dengan seseorang yang kini
menjadi cinta sejatiku. Bukankah memang, dalam rahasia-Nya, Tuhan telah
menjodohkan kita?”
Aku
tersenyum mendengar perkataannya. Terasa damai. Kupandangi dalam-dalam bola
matanya, sambil membelai rambutnya yang menjuntai. “Ya, karena tentang rahasia
perjodohan itulah, aku bertahan memendam perasaanku sekian lama. Aku tak ingin menjadi
seseorang yang menyinggahi hatimu, lalu meninggalkanmu begitu saja. Aku tak ingin
ada luka di hatimu karenaku, lalu kelak, kau hidup dengan cinta sejatimu yang entah
siapa,” kataku. “Dan sampai sekarang, aku memang tak pernah menyinggahi hatimu,
tapi aku menetap di sana, selamanya. Kuharap begitu.”
Akhirnya, ia pun menyandarkan tubuhnya padaku. Menangis bahagia dalam pelukanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar