Minggu, 19 Juni 2016

Untuk Hati yang Tak Pernah Kusinggahi

Sangat jarang orang yang benar-benar memendam, merahasiakan masalahnya, sampai teredam sendiri. Seprivasi apa pun sebuah masalah, pasti akan didendangkan juga pada telinga segelintir orang yang diangap bisa menjaga aib. 

Itu sama denganku. Aku memendam perasaan pada seorang wanita, sekampusku. Telah lama aku menahan diri untuk tidak menyatakannya dengan segala pertimbangan dan prinsipku. Itu tentu masalah pelik. Tak ada solusinya. Tapi, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku bukanlah pemendam sejati. Karena itu, aku pernah menceritakan perasaanku itu pada sahabat baikku sendiri, Bima.

Nama wanita pujaanku adalah Yuka.  Itu cocok untuknya yang bermata sipit dan berkulit terang. Jelas, rupanya sangat menggemaskan. Tapi hebatnya, ia bukanlah sosok yang celamitan, manja, dan cerewet. Sebaliknya malah, ia terlihat tenang, tegas, dan pendiam. 

Dia orang yang tertutup. Mungkin karena itu juga, sampai sekarang, ia tak pernah dekat dengan seorang lelaki lebih dari sekadar teman biasa. Padahal, kalau saja ia ingin membuka diri, sedikit saja, atau malah mengobral dirinya, aku yakin, banyak lelaki yang akan memperebutkannya secara membabi buta.

Sampai akhirnya, datang hari saat perasaan terpendamku seakan diketahuinya, tetapi dengan cara yang salah. Aku tak mengerti apa-apa, sampai Yuka dan sahabatnya, Rana, mendatangiku secara tiba-tiba.

“Hai Rion, lelaki macam apa kau ini? Kau pikir temanku ini wanita gampangan! Itu tulisanmu kan?” bentak Rana yang berwatak tomboy. Wajahnya tampak menyeringai. 

Yuka di sampingnya, hanya menunduk. Sesekali ia menengadah dan memandang ke arahku yang tengah mati kutu.

Pandanganku gelap. Detak jantungku mengencang. Dengan sangat kaku, kuterima secarik kertas yang disodorkan Rana. Kubaca lamat-lamat. Ada kata-kata cinta tertulis di dalamnya. Ya, itu adalah puisi tentang pengakuan seorang pengagum rahasia.

“Bukan aku yang menulisnya. Sumpah! Aku tak akan bisa merangkai kata seperti ini,” tuturku padanya. Berusaha mengiba.

“Ah, sudahlah. Kau akui atau tidak, yang pasti itu karanganmu. Aku punya saksi,” selanya. “Aku tak ingin mempermalukanmu kali ini. Tapi lain kali jika kau ulangi lagi, aku tak akan segan-segan,” ancamnya, lalu beranjak pergi.

Seperti mati rasa, aku hanya berdiri mematung. Tak ada dayaku membalas kata-katanya.

Baru beberapa langkah, ia berbalik. “Satu lagi, belajarlah menghargai perempuan!” pungkasnya. Tegas.

Sore itu seperti kiamat bagiku. Setelahnya, aku benar-benar mati gaya setiap kali bertemu dengan Yuka. Memang bukan aku pelakunya, tapi rasa malu padanya, tetap ada. Mungkin karena sangkaan bahwa aku menyukainya, memang benar. 

Entah siapa penulis puisi itu. Bima membantah keras-keras jika aku menyangkanya, meski segala cara telah kucoba. Aku pasrah menuduhnya terus. Untuk memperbaiki keadaan, jika ada waktu yang tepat, akan kutemui dan kutegaskan pada Yuka, bahwa puisi itu bukan gubahanku. Semoga itu bisa membersihkan nama baikku dan menegaskan bahwa aku bukan lelaki pengumbar perasaan palsu.

Sebenarnya, aku tak pernah berencana mengungkapkan perasaanku pada Yuka. Banyak pertimbanganku. Dia wanita rupawan, cerdas, dan tampak berasal dari keluarga kaya, terhormat dan terpandang. Sedangkan aku, sebaliknya, atau paling tidak, tak mungkin setara, apalagi melampauinya. 

Tidak hanya itu. Alasan besarku untuk menjadi pemendam selamanya, karena kutahu, ia akan dijodohkan dengan seseorang. Kurasa, itu kebijakan tepat orang tuanya, agar ia tidak menjatuhkan hatinya pada pilihan yang salah, dan malah membuat martabat dia dan keluarganya, turun kasta.

Pengetahuanku bahwa Yuka akan dijodohkan, sebenarnya hasil penelusuranku secara sembunyi-sembunyi. Entahlah, apakah perjodohan itu hanya konklusi sesatku, atau memang benar-benar akan terjadi. Yang pasti, aku menyimpulkannya dari serangkaian puisi gubahannya di akun media sosial miliknya, atau di terbitan-terbitan mahasiswa di kampus. Tertulis di sana, betapa ia menanti waktu perjodohan yang telah ditetapkan itu.

Tak pernah kupermasalahkan semua kenyataan itu. Malah, aku berdoa agar ia segera mengikatkan cintanya pada seseorang. Dengan begitu, ada alasan wajib bagiku untuk tidak mengharapkanya lagi. 

Aku tak akan merasa kehilangan kesempatan, sampai tergesa-gesa menuturkan perasaanku padanya. Kalau pun ada kemungkinan perasaanku bersambut, aku tak mau mewujudkannya. Takutku jika suatu saat, ia dicintai orang lain, tapi aku berbekas di hatinya. Itu tentu bentuk ketidakadilanku padanya, terutama pada cinta sejatinya nanti. Jadi, kuputuskan untuk tidak menyinggahi hatinya, sampai kapanpun.

***

Tiga tahun berlalu setelah aku memperoleh gelar sarjana, aku pun bekerja di sebuah perusahaan swasta. Karena kemapanan telah kuraih, perasaan terpendamku pada Yuka, bersemi kembali. Apalagi kemungkinan kecil itu masih ada. Dia belum menikah juga. Padahal, setahuku, perjodohan seharusnya segera dilangsungkan jika tak ada halangan, agar calon mempelai tak berpaling ke lain hati. 

Aku  pun menceritakan deru parasaanku pada tong penampung beban hidupku, Bima. Dia tetap sahabat baik yang kukuh menjaga rahasiaku. Aku pun mengajaknya bertemu di sebuah cafĂ© untuk membicarakan maksudku.

“Bim, bagaimana pendapatmu jika aku melamar Yuka, apakah ada kemungkinan aku diterima?” tanyaku padanya, setelah lelah berbasa-basi.

“Aku kan dari dulu selalu mendukungmu untuk mencobanya. Aku yakin, jika kau melakukan cara-cara terhormat untuk mendapatkannya, kemungkinan untukmu diterima selalu terbuka,” balasnya, seperti yang kuharapkan.

“Lalu, bagaimana dengan puisi yang dituduhkan padaku? Bagaimana tentang perjodohan dalam puisi-puisinya?” tanyaku lagi.

“Aku tak yakin dia dijodohkan. Coba lihat, sampai sekarang, pernikahan itu tak dilangsungkan. Perlu kau tahu bahwa bahasa puisi itu menipu. Puisi hanya tempat persembunyian orang-orang yang tak berani jujur. Jadi, aku ingin kau mewujudkan maksudmu. Cukuplah empat tahun kau jadi pemendam,” balasnya.

Saran Bima membuat perasaanku dilanda kebimbangan. Dilema, antara mencintai angan-angan, atau mencoba ketidakpastian.

***

Tak lewat akhir tahun, aku memberanikan diri melaksanakan saran Bima. Hari itu sungguh menegangkan. Aku meminang Yuka. Dan akhirnya, jawaban yang kuterima adalah yang sangat kuragukan: Lamaranku diterima! Kami pun menikah tidak berselang lama setelah itu. 

Empat hari setelah menikah, aku mencoba mengulik kembali jalan berliku yang kami lalui, sampai akhirnya cinta itu menjadi nyata.

Saat ini, kami sedang bersantai di pelataran rumah kami yang sederhana. Duduk berdampingan, menyeruput kopi, sambil menunggu mentari meninggi.

“Kau tahu, aku bukanlah penulis puisi yang kau tuduhkan dahulu? Kenapa bisa kau menuduhku?” Aku memulai percakapan. 

 Ia  lalu menarik kepalanya dari bahuku. “Jadi sampai sekarang kau belum tahu siapa penulis puisi itu?” 

“Mana bisa aku tahu. Yang pasti bukan aku. Seharusnya kau tahu,” balasku.

“Aku!” tegasnya.

“Apa?” tanyaku, spontan.

“Ya, aku yang menulis puisi itu, dan sengaja berbohong pada Rana kalau kaulah, lelaki culun, yang menulisnya untukku. Aku pura-pura protes. Aku yakin ia akan segera melabrakmu,” jelasnya, santai, seperti merasa itu bukan kenyataan yang menjengkelkan bagiku. 

“Jadi, kau tahu kalau aku menyukaimu sejak itu?” tanyaku lagi, semakin penasaran.

“Iyalah. Rahasiamu terkuak dari sumber terpercaya, Bima. Kau tahu sendiri kalau ia dan Rana adalah teman baik. Dari Rana, aku tahu kau memendam perasaan padaku,” tuturnya, seperti sengaja mempermainkanku. Membuatku semakin geregetan.

Aku tak menduga, ternyata Bima tak bisa dipercaya. Sepertinya benar bahwa tak ada penjaga rahasia yang bisa diandalkan.

“Tentang puisi itu, sebenarnya aku hanya ingin kau bersikap tegas. Aku mau kau tak memendam parasaanmu terus-menerus. Aku berharap kau memintaku untuk berhubungan secara bermartabat, atau sekalian tidak,” sambungnya lagi. “Apa kau tak merasa berdosa meningalkan aku dengan pengharapan yang menggantung bersamamu sekian tahun?” Ia balik bertanya. Raut wajahnya tampak mengibakan.

“Jadi, sejak saat itu, kau mengharapkanku juga,” tanyaku, lagi.

Dia hanya mengangguk. Senyuman manisnya mulai merekah. Ada keharuan yang tersirat di wajahnya.
Aku merasa bersalah. “Maafkan aku,” tuturku, sambil menggenggam tangannya. “Aku mendiamkanmu, bukan berarti tak peduli. Aku cuma tak yakin kau mendambakanku juga.”

“Apa hanya karena itu,” tanyanya. Butiran air mata, jatuh di pipinya.

“Sesungguhnya, aku tak percaya diri mewujudkan perasaanku padamu. Kasta sosial-ekonomi keluarga kita berbeda. Aku yakin, orang tuamu pasti menolakku, dan kau pasti dijodohkan dengan orang lain, seperti yang kau tuliskan di puisi-puisimu,” jujurku.

Bola matanya mulai berair. “Aku memang telah dijodohkan, dengan seseorang yang kini menjadi cinta sejatiku. Bukankah memang, dalam rahasia-Nya, Tuhan telah menjodohkan kita?”

Aku tersenyum mendengar perkataannya. Terasa damai. Kupandangi dalam-dalam bola matanya, sambil membelai rambutnya yang menjuntai. “Ya, karena tentang rahasia perjodohan itulah, aku bertahan memendam perasaanku sekian lama. Aku tak ingin menjadi seseorang yang menyinggahi hatimu, lalu meninggalkanmu begitu saja. Aku tak ingin ada luka di hatimu karenaku, lalu kelak, kau hidup dengan cinta sejatimu yang entah siapa,” kataku. “Dan sampai sekarang, aku memang tak pernah menyinggahi hatimu, tapi aku menetap di sana, selamanya. Kuharap begitu.”

Akhirnya, ia pun menyandarkan tubuhnya padaku. Menangis bahagia dalam pelukanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar