Andro
merajuk. Mobil mainan hilang entah ke mana. Padahal, mobil itu baru saja
dihadiahkan orang tuanya, saat ia berulang tahun yang ke tujuh, sebulan
lalu. Sedari tadi, ia hanya duduk di bawah pohon mangga, di depan rumahnya. Perintah
sang Ibu agar ia berhenti bersungut-sungut dan pulang makan siang, tak
dihiraukan. Mobil-mobilannya itu, harus ditemukan.
Datanglah
Suran, tetangga barunya. Keluargan Andro memang baru pindah rumah dua hari yang
lalu.
“Kamu
kenapa?” tanya Suran, anak kurus yang setahun lebih tua dari Andro. Ia datang
sambil menarik mobil-mobilannya yang dirangkai dari bahan sederhana. Badannya
terbuat dari botol air minum kemasan, sedangkan bannya dari karet alas sandal. “Perkenalkan,
namaku Suran,” tambahnya, sembari menjulurkan tangan.
Andro
bergeming. Hanya menoleh sepintas. Tak tertarik memperkenalkan dirinya juga. Ia
merasa aneh terhadap lelaki yang baru dikenalnya. “Mobil mainanku hilang. Memangnya
kau bisa bantu?” balas, cemberut.
“Hilang?”
tutur Suran, mengesankan kalau ia turut prihatin.
Andro
tampak semakin lesu.
“Kalau
begitu, ambil saja mobil mainanku ini. Aku punya dua lagi kok di rumah,” tawar Suran,
sambil menjulurkan mobil mainan itu pada Andro.
Andro
hanya melirik sekenanya. Tak berselera. “Tak usah. Mobil-mobilanmu jelek.
Punyaku kan mobil remot. Beda dengan punyamu,” balasnya.
“Tapi
kan yang penting kita bisa main,” bujuk Suran lagi.
Emosi
Andro yang belum tenang, kini melunjak. “Saya bilang tidak mau, ya tidak,”
bentaknya, sembari menepis mobil mainan sederhana yang ditawarkan Suran.
Mobil-mobilan
itu pun, terbanting. Berserakan. Joli rodanya yang terbuat dari bambu, patah.
Kedua ban depannya pun berguling ke arah yang berlawanan.
Suran
memungut rangkaian mobil-mobilannya dengan sedikit rasa kecewa.
“Aku
tak butuh teman bermain. Cari saja yang lain,” tegas Andro, lagi.
Tanpa
berkata apa-apa lagi, Suran pun berbalik. Melangkah pulang ke rumahnya. Mobil
mainan yang seharusnya ia tarik dengan tali pandu, sekarang ia tenteng.
Tak
berselang lama, Ranif, ayah Andro, datang dari kantornya. Ia segera menghampiri
sang anak yang terlihat sedang bersedih.
“Kamu
pasti mencari mobil remotmu kan?” tebak Ranif. “Maaf Nak, aku lupa memberi tahu
kalau mobilmu itu, telah kuberikan pada anak tetangga.”
“Apa?
Kenapa diberikan ke orang lain Ayah. Aku kan masih suka,” kesalnya.
“Iya.
Aku tahu Nak. Tapi mobil-mobilanmu itu kan sudah usang. Makanya, aku berikan
kepada anak tetangga sebelah. Kasihan dia. Mobil-mobilan tak canggih,” jelas
Ranif pada anaknya yang manja. “Ayah pikir, sudah waktunya kau punya mainan
baru Nak. Ini, Ayah belikan yang baru,” sambungnya lagi, kemudian menyerahkan
sebuah mobil mainan bermodel balap.
Andro
melirik sejenak. “Aku tak suka! Pokoknya, aku mau mobil-mobilanku kembali,”
tegasnya.
Kini,
Ranif jadi pusing. Bingung mencari cara menenangkan perasaan sang anak.
“Hai,
ini mobil remotku. Seseorang memberikan padaku kemarin. Kau mau?” tutur Suran.
Ia tiba-tiba muncul di berlakang Andro dan ayahnya. “Om?” refleksnya, kala
menyadari, lelaki itulah, Ranif, yang memberikan mobil remot bekas padanya
kemarin.
Ranif
tersenyum pada Suran. “Tak usah, Nak. Kan aku sudah berikan padamu,” tuturnya.
Tanpa
aba-aba, Andro pun mengambil mobil-mobilan remot yang ditenteng Suran.
“Andro!”
Ranif memperingatkan kepada sang anak kalau sikap terhadap Suran, tak baik.
“Iya
Om. Terima kasih. Tapi aku memang tak suka mobil remot. Maksudnya, aku tak tahu
bagaimana cara memainkannya,” tutur Suran. “Lagian, Andro memang butuh. Yang
penting kan, kami bisa main, bersama-sama.
Ranif
merasa haru mendengar kepolosan Suran. Sungguh berbeda sikapnya dengan Andro.
“Nah,
ini, aku baru beli mobil remot baru. Kalau mau, kau bisa belajar memainkannya,”
tutur Ranif pada Suran. “Andro, kau harus mengajar Suran! Kalian harus main
bersama-sama!”
Andro
tak menjawab. Ia masih terlihat kesal.
Suran
tampak semringah. Kini ia punya kesempatan memiliki teman sepermaian baru.
Ranif
pun meninggalkan mereka berdua. Sampai lama-lama, ia melihat kedua anak itu bermain
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar