Kamis, 16 Juni 2016

Klaim Kebenaran Hanya Masalah Keberpihakan

Perbedaan pendapat lumrah terjadi dalam relasi sosial antarmanusia. Itu terjadi pada beragam persoalan dan ruang lingkup yang luas. Secara garis besar, silang pendapat bisa mencakup semua unsur 5W+1H, yaitu apa, siapa,di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana. Jadi, perbedaan pendapat hingga berujung pada perdebatan, pada dasarnya dimulai sejak penentuan keberpihakan, sampai pada bagaimana keberpihakan itu diwujudkan.

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, termasuk dalam persoalan berpendapat. Perbedaan itu akan semakin senjang mengingat manusia punya naluri membela diri. Pada setiap pendapat, akan selalu disertai upaya pembelaan untuk menegaskan satu pihak lebih benar dari pihak lain. Segala argumentasi logis pun dipaparkan untuk memonopoli predikat kebenaran. Sikap semacam itu akan ditempuh oleh semua pihak yang terlibat dalam perbedaan pendapat.

Dampak dari pertentangan pendapat secara sengit namun cerdas, dapat saja memunculkan kesan seakan setiap pendapat dari semua pihak adalah benar. Benar dalam artian logis. Nilai kebenaran akhirnya dipandang tak kaku, tak mesti satu, sehingga dapat saja semua pihak, benar. Pola pikir ini akan berujung pada anomali nilai, sampai membuat orang bingung dan tak berani memvonis hal yang sebelumnya dianggap benar adalah benar, dan salah adalah salah.

Setiap orang pasti pernah mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan tentang pendapat mana yang benar. Buktinya, sering terjadi orang-orang berubah pendapat setelah menjalani perdebatan panjang, ataukah memilih untuk tidak bersikap atau netral. Ringkasnya, nilai kebenaran pendapat yang diyakini seseorang, akan selalu tertawar oleh pendapat orang lain. Keteguhan pendapat seseorang tentang sesuatu, dapat saja berubah dari waktu ke waktu, beralih ke pendapat pihak lain.

Kebenaran adalah keberpihakan. Begitulah kesimpulan dari anggapan bahwa pengakuan atas kebenaran pandapat, terkait dengan suksesnya upaya meyakinkan orang lain secara logis. Kebenaran tidak dicari, tetapi sedari awal, telah melekat pada sisi keberpihakan. Segala argumentasi tentang kebenaran pun, dituturkan hanya untuk menyatakan bahwa pihak bersangkutan, benar. Demi memenangkan silang pendapat, maka alasan-alasan logis, menjadi senjata utama. Argumentasi itu, menyerang nalar, sehingga tak ada alasan lain untuk membantahnya. 

Lalu, manakah pendapat yang benar, sebab bukankah kebenaran itu hanya satu? Menjawab pertanyaan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, jika pertentangan pendapat itu, bukan pada ranah ilmu pasti, seperti matematika, melainkan terjadi di ranah ilmu sosial. Maka, mendamaikan silang pendapat itu pun, tak bisa langsung dikuantifikasikan, sebab masalahnya terletak pada kualitas pendapat. Karena itu, akhirnya, hanya ada satu cara menentukan pendapat yang benar, yaitu mencari yang paling logis dan meyakinkan. 

Tidak ada daya untuk langsung menyatakan pendapat pihak tentu tidaklah benar, dalam artian tak logis. Semua pendapat punya nilai untuk dirumuskan secara logis. Itu sejalan dengan pandangan bahwa selalu ada alasan untuk membela keberpihakan. Namun itu tidak berarti bahwa batas nilai menjadi tidak jelas, antara nilai benar dan salah. Dalam dua hal yang bertentangan, pastilah ada ada pendapat pihak tertentu yang nilai kebenarannya lebih dari pendapat pihak lain. 

Lalu, mungkinkah menyatukan pendapat? Jalan satu-satunya untuk menyatukan pendapat adalah menyatukan keberpihakan. Jika setiap orang telah menyamakan keberpihakannya, maka pendapatnya pun akan senantiasa tertuju akhir yang sama. Intinya, untuk sampai pada kesatuan pendapat dan kesatuaan aksi, maka setiap orang harus menyelesaikan pertentangannya di tataran “apa”. Setelah itu, baru beralih untuk mengatasi perbedaan kecil pada unsur pertentangan pendapat yang lain, yaitu tentang “siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana”, yang ditujukan sekadar untuk mewujudkan unsur “apa” itu. 

Formula jitu untuk menyatukan pertentangan pendapat tentang unsur “apa” atau untuk menyatukan keberpihakan, tidak lain adalah melibatkan hati nurani. Hanya dengan cara itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar